106.453 Hektar Kawasan IKN Berada di Lahan Masyarakat

Presiden Joko Widodo saat bermalam di IKN Nusantara usai memimpin seremoni ritual Kendi Nusantara di titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Senin (14/3/2022). (Foto Biro Adpim Setdaprov Kaltim)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Kelompok Masyarakat Sipil Kalimantan Timur (Kaltim) mengingatkan kembali Pemerintah terkait lokasi IKN (Ibu Kota Negara) Nusantara di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) bahwa lokasi IKN Nusantara  bukan di lahan kosong, tapi di lahan masyarakat yang telah ditinggali secara turun temurun.

“Berdasarkan data Kementerian ATR /BPN tahun 2020, dari 256 ribu hektar luas IKN, sebanyak 106.453 hektar atau 41,32%  di tanah yang dikuasai masyarakat,” ungkap Buyung Marajo, salah seorang aktivis yang tergabung di Kelompok Masyarakat Sipil Kaltim, dalam rilisnya yang diterima Niaga.Asia, hari ini, Selasa (15/3/2022).

Menurut Buyung yang juga Koordinator LSM Pokja 30 Kaltim ini, hingga saat ini, belum ada penjelasan dari Pemerintah terkait nasib masyarakat yang tinggal di lahan 106.453 hektar tersebut, padahal kegiatan pembangunan di lahan IKN sudah akan dimulai.

“Apabila kegiatan di lahan IKN dimulai, masyarakat juga akan  terkena dampak penataan lahan dan kegiatan pembangunan gedung-gedung,” ujarnya.

Dampak proyek IKN terhadap masyarakat Sepaku adalah berupa limbah tambang yang akan menyebar bersamaan dengan kegiatan penataan tanah untuk calon lokasi dibangunnya gedung-gedung pemerintahan.

“Saat ini, di lokasi IKN terdapat 149 lubang tambang batubara yang masih menganga akan ditata Pemerintah. Lubang tambang ini sebagian besar disebabkan oleh operasi 25 perusahaan tambang,” kata Buyung.

Sementara suku Paser Balik, suku asli di PPU dan kini permukiman dan lahan pertaniannya masuk IKN, mengaku khawatir akan terusir dari tanah leluhurnya sendiri. Mereka menyebut patok-patok wilayah IKN Nusantara menerobos tanah adat yang mereka kerjakan secara turun temurun.

Sebagaimana dikutip BBC News Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan sejumlah NGO memperingatkan potensi konflik yang kemungkinan melibatkan 16.800 orang dari 21 masyarakat adat di sekitar IKN Nusantara.

Dahlia Yati dari Suku Paser Balik – penduduk asli setempat, mengatakan, saat ini patok-patok wilayah IKN sudah masuk perkampungan, menerobos tanah yang secara turun temurun mereka garap menjadi perkebunan.

“Lahannya orang tua, saudara. Sekitar empat hektar, ada banyak juga [lahan] saudara-saudara di sekelilingnya lahan-lahan itu,” kata Dahlia kepada BBC News Indonesia.

Lahan yang ditempatinya sekarang diperoleh turun temurun itu berstatus “segel tanah” atau penguasaan lahan berdasarkan surat bermaterai yang diketahui oleh apartur desa.

“Lahan-lahan kami jangan dirambah lah,” kata Dahlia.

Sementara, Kepala Suku Adat Paser Balik, Sabukdin memperkirakan di Kecamatan Sepaku  terdapat sekitar 5000 – 6000 hektar lahan nenek moyang, yang belum mendapat sertifikat kepemilikan.

Lahan-lahan itu disebut Sabukdin sebagai satu-satunya “penopang hidup” karena “hutan kami habis, semua, mata pencarian ini habis.”

Ia berharap sebelum pembangunan ibu kota negara benar-benar dimulai, urusan kepemilikan lahan tersebut diperjelas, dengan berharap pemerintah memberikan surat-surat kepemilikan tanah kepada masyarakat adat.

“Tanggung jawab kita hanyalah mempertahankan tempat tinggal kami. Tempat kami bercocok tanam. Jangan sampai anak cucu saya itu tidak punya tempat tinggal,” kata Sabukdin, yang juga mengkhawatirkan jika itu tak diindahkan, “maka ini akan mengundang keributan.”

Suku Paser Balik merupakan bagian dari 21 komunitas masyarakat yang telah diverifikasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dari 21 komunitas masyarakat yang berada di kawasan IKN Nusantara ini, hanya “perwakilan 1-2 orang komunitas” yang dilibatkan dalam proses pembangunan karena “secara umum belum dilibatkan”.

Deputi Sekretaris Jenderal AMAN, Erasmus Cahyadi mengatakan, 21 komunitas masyarakat melaporkan total 30.000 hektar lahan adat mereka tumpang tindih dengan izin konsesi perkebunan dan pertambangan, bahkan sebelum ada proyek IKN Nusantara.

“Tetapi, sebagian dari 30.000 [hektar] ini diprediksi, kalau kita lihat anggota AMAN yang 21 itu, sebagian itu masuk ke IKN,” kata Erasmus.

Jumlah masyarakat adat yang terverifikasi oleh AMAN setidaknya dalam satu komunitas berjumlah 200 keluarga, sehingga bisa diperkirakaan persoalan lahan ini akan melibatkan paling sedikit 16.800 jiwa.

Pilihan yang paling mungkin dilakukan, kata Erasmus, pemerintah melibatkan masyarakat adat dengan menawarkan kontrak kerja sama, bukan membeli lahan mereka.

“Kalau ganti rugi, hak atas tanahnya itu akan beralih. Tetapi kita kerja sama, atau kontrak. Maka itu tidak beralih. Masyarakat adat juga diharapkan akan mendapatkan, benefit dari proses itu,” kata Erasmus.

Jumlah masyarakat adat yang terverifikasi oleh AMAN setidaknya dalam satu komunitas berjumlah 200 keluarga, sehingga bisa diperkirakaan persoalan lahan ini akan melibatkan paling sedikit 16.800 jiwa.

Pilihan yang paling mungkin dilakukan, kata Erasmus, pemerintah melibatkan masyarakat adat dengan menawarkan kontrak kerja sama, bukan membeli lahan mereka.

“Kalau ganti rugi, hak atas tanahnya itu akan beralih. Tetapi kita kerja sama, atau kontrak. Maka itu tidak beralih. Masyarakat adat juga diharapkan akan mendapatkan, benefit dari proses itu,” kata Erasmus.

Ia juga menambahkan selama ini perwakilan masyarakat adat juga kerap diajak berdialog oleh pemerintah, meskipun sekelompok orang mengatakan ‘yang diundang hanya elit’.

Bagaimanapun, di tengah persoalan ini, Dahlia Yati dari masyarakat adat Paser Balik tak pernah bisa tidur nyenyak.

“Di zaman sekarang saja kami sudah kesusahan mencari pekerjaan. Apalagi nanti, lebih susah lagi, bagaimana cara kami membiayai anak kami sekolah. Anak-anak saya mau seperti apa. Mau tinggal di mana,” kata ibu dua anak ini.

Penulis : Intoniswan | Editor : Intoniswan

Tag: