28 Adegan Dua Santri di Samarinda Tewaskan Gurunya

Kedua tersangka anak memeragakan adegan menganiaya korban Eko Hadi menggunakan balok, Rabu 2 Maret 2022. Rekonstruksi digelar di ruang serbaguna Polresta Samarinda (istimewa)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Polresta Samarinda hari ini merekonstruksi kasus penganiayaan yang menewaskan Eko Hadi Prasetyo (43), guru pesantren di Samarinda oleh kedua santrinya yang masih berumur 15 tahun. Ada 28 adegan diperagakan kedua anak bawah umur itu.

Rekonstruksi digelar di ruang serbaguna Polresta Samarinda sekira pukul 09.30 WITA, dan dihadiri mulai dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II Samarinda, kuasa hukum kedua tersangka, serta dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Samarinda.

Kepolisian sendiri mengupayakan percepatan penyelesaian berkas kasus itu. Mengingat kedua tersangka adalah anak di bawah umur.

“Mengingat ini adalah sistem peradilan anak, kita diberi waktu tujuh hari dan perpanjangan 8 hari. Sekarang sudah masa perpanjangan, mungkin Jumat kita sudah tahap I,” kata Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polresta Samarinda Iptu Teguh Wibowo, kepada wartawan, Rabu.

Dari kesemua adegan rekonstruksi, menurut Teguh tergambar perencanaan kedua tersangka untuk mencelakai korban. Sejauh ini belum ada pelaku lainnya.

“Ada 28 adegan rekonstruksi terkait kasus ini. Ada tambahan dari 22 (pra rekonstruksi) adegan sebelumnya,” ujar Teguh.

Kronologi Dua Santri di Samarinda Hantam Balok Gurunya Hingga Tewas

Dalam kasus itu, polisi menjerat kedua tersangka dengan pasal 340 subsider 338 subsider 170 ayat 3 KUHP.

“Ancaman 15 tahun penjara,” tegas Teguh.

Rahmatullah, Kuasa Hukum kedua tersangka menjelaskan pada dasarnya semua proses hukum terus dijalani sesuai ketentuan. Dari rekonstruksi juga gambaran kejadian tidak bisa dihindari lagi.

“Strategi kami di persidangan, agar bisa berupaya maksimal. Kan (kedua tersangka) masih di bawah umur, masa depan masih panjang. Kedepan nantinya ancaman bisa berkurang. Itu saja,” kata Rahmatullah.

“Tidak bisa untuk diversi”

Dalam kasus yang melibatkan anak, dengan status anak berhadapan dengan hukum, peradilan di Indonesia dikenal dengan istilah diversi, yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)

Pengertian diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas Kelas II Samarinda Yunita Syarifah Rahmawati menerangkan, pendampingan dilakukan terhadap kedua tersangka anak sejak awal, sebagai dasar rekomendasi untuk sidang peradilan anak.

“Kami berikan rekomendasi untuk kepentingan terbaik untuk anak ya” kata Yunita.

Namun untuk kasus penganiayaan berujung kematian guru pesantren, Eko Hadi Prasetya, tidak bisa dilakukan diversi terhadap kedua tersangka.

Dari 28 adegan rekonstruksi tergambar perencanan penganiayaan yang dilakukan kedua tersangka anak (istimewa)

Itu disampaikan Yunita usai melihat 28 adegan rekonstruksi. Sehingga kedua tersangka anak nantinya mengikuti proses peradilan di persidangan.

“Sistem peraturan memang tidak bisa untuk diversi. Arahnya memang sidang pengadilan,” terang Yunita.

“Memang niat awal bikin pingsan”

JPU Kejari Samarinda Chendi Wulansari menjelaskan dari rekonstruksi tergambar perencanaan penganiayaan yang mengakibatkan kematian Eko Hadi Prasetya. Sesuai dengan pasal 340 KUHP yang diterapkan penyidik kepolisian.

“Dari segi pasal, dari berita acara rekonstruksi, kalau untuk perencanaan ada tergambar,” kata dia.

Kendati demikian Chendi masih mempelajari dan mendalaminya.

“Memang niat awal bikin pingsan (korban Eko Hadi Prasetya) lalu mengakibatkan korban meninggal dunia. Masih kita pelajari berkasnya. Dari rekonstruksi ada unsur itu,” terang Chendi.

Penulis : Saud Rosadi | Editor : Saud Rosadi

Tag: