Pembiayaan Perbankan Sektor Perumahan dan Hilirisasi Pangan Minim, BI Ungkap Alasannya

Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Samarinda Aji Sofyan Effendi (niaga.asia/Nur Asih Damayanti)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA — Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) melihat dukungan pembiayaan perbankan terhadap sektor perumahan dan hilirisasi pangan di Indonesia masih minim. Padahal, keduanya strategis dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Oleh karena itu, ISEI berkerja sama dengan Bank Indonesia, memperkuat pemahaman publik untuk turut mendukung pembiayaan yang terarah pada hilirisasi pangan dan perumahan, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi daerah berkelanjutan melalui Seminar Buku Kajian Kebijakan Publik 6.0 terkait strategi mendorong sektor perumahan, hilirisasi pangan dan perekonomin daerah melalui pembiayaan.

Ketua ISEI Cabang Samarinda Aji Sofyan Effendi menerangkan, persoalan perumahan dan pangan, merupakan kebutuhan dasar manusia yang fundamental, namun masih dihadapkan pada tantangan besar, khususnya dalam aspek pembiayaan.

Menurutnya, pembiayaan sektor hilirisasi pangan dan perumahan perlu mendapatkan perhatian khusus karena dapat memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian daerah maupun nasional, jika dikelola dengan strategi yang tepat.

“Kita menginginkan ke depan bahwa persoalan terkait pembiayaan hirilisasi pangan dan perumahan ini memberikan kontribusi positif. Masih banyak warga kita di Indonesia yang masih belum memiliki rumah layak,” kata Aji, di Aula Rektorat Universitas Mulawarman, Jalan Kuaro, Samarinda, Kamis 19 Juni 2025.

Seiring kehadiran Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kaltim, tentunya berimbas pada migrasi penduduk, sehingga berakibat terjadi lonjakan terhadap jumlah kebutuhan hunian perumahan, serta permintaan pangan di Kaltim.

“Saat ini sektor pertanian kita secara umum di Kaltim masih menjadi masalah, dan memang titik beratnya bagaimana hirilisasi pangan, pertanian, dan ketidakgantungan dengan sumber daya alam menjadi penting dan strategis yang perlu kita bahas,” ujar Aji.

Sementara Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Dhaha Praviandi Kuantan menerangkan, sektor hilirisasi pangan dan perumahan memegang peranan krusial dalam menopang perekonomian nasional. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi saat ini adalah persoalan pemyaluran pembiayaan di kedua sektor itu.

“Sistam perbankan kita (di Indonesia) tidak mudah untuk masuk ke pangan dan perumahan,” kata Dhaha.

Menurutnya tanpa adanya intervensi dari bank sentral, sektor pertanian dan perumahan cenderung memiliki risiko besar di mata perbankan.

“Kalau kita lihat tanpa adanya hilirisasi, tanpa adanya intervensi dari bank sentral, itu ada namanya mulai dari kesejahteraan dan ekonomi seluruhnya, baru (perbankan) mau masuk situ. Seperti pertanian dan perumahan ini risikonya besar,” ujar Dhaha.

Dijelaskan, jika kredit yang masuk ke sektor ini tidak memberikan keuntungan bagi bank, maka bank cenderung akan meninggalkan sektor itu, meski kedua sektor ini penting bagi perekonomian.

“Sehingga dari sisi Bank Indonesia memberikan mekanisme insentif bagi bank-bank yang mau menyalurkan ke sektor itu,” terang Dhaha.

Seminar Buku Kajian Kebijakan Publik 6.0 di Aula Rektorat Universitas Mulawarman (niaga.asia/Nur Asih Damayanti)

Terkait sektor perumahan, Dhaha melihat sektor perumahan di Indonesia memiliki Backward-Forward Linked atau ketergantungan suatu sektor ke sektor lainnya untuk pertumbuhan ekonomi begitu tinggi.

“Jadi kita mendorong bagaimana sektor perumahan ini dapat dilirik. Karena prospeknya sangat terbuka,” ungkap Dhaha.

Diterangkan Dhaha, sektor pembiayaan perumahan masih terbuka lebar, karena kesenjangan kebutuhan rumah dengan jumlah rumah yang tersedia, terutama rumah layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) atau backlog masih relatif tinggi.

Selain itu, persentase Kredit Pemilikan Rumah (KPR) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih lebih rendah dibanding negara lain.

“Backlog perumahan secara nasional sangat besar 9,9 juta. Kalau kita lihat rasio pembiayaan perbankan untuk sektor perumahan di Indonesia, masih kecil dibanding negara lain,” jelasnya.

Dhaha merinci, rasio KPR terhadap PDB tahun 2023, Indonesia 5,08 persen, India 10,09 persen, Thailand 15,16 persen, Malaysia 44,40 persen, Singapura 45,40 persen dan Hongkong 84,63 persen.

“Itu sangat jomplang, maka potensi pembiayaannya ini masih besar khususnya untuk diperbankan masih bisa ditingkatkan lagi,” sebut Dhaha.

Sementara terkait hilirisasi pangan, Pemerintah Pusat saat ini tengah fokus membangkitkan perekonomian melalui hilirisasi pangan.

“Kita tahu bahwa di hilirisasi nikel saat ini sudah sukses. Pemerintah berencana untuk melakukan hilirisasi pangan sampai ke pangan olahan agar memberikan nilai tambah,” jelasnya.

Berdasarkan survei Bank Indonesia memang untuk hilirisasi pangan saat ini baru 274 korporasi yang bergerak di bidang pangan. Dari 274 korporasi itu, 33 persen merupakan korporasi besar dan 67 lainnya korporasi kecil.

“Dari 33 korporasi besar itu, baru 63 persen yang sudah melakukan hilirisasi. Sedangnya untuk korporasi kecil masih terbatas yang bergerak di sektor hilirisasi pangan,” katanya.

Alasan terbatasnya hilirisasi di korporasi kecil ini karena terbatasnya kapasitas pengelolaan dan modal di korporasi kecil. Oleh karena itu, harapannya perbankan dapat lebih peduli terhadap sektor hilirisasi pangan dan perumahan tersebut.

“Pada korporasi kecil masih terbatas yang melakukan hilirasasi. Alasannya, dari hasil assessment (survei) kita, karena kapasitas pengelolan dan modal masih terbatas,” demikian Dhaha Praviandi Kuantan.

Penulis: Nur Asih Damayanti | Editor: Saud Rosadi | Adv Diskominfo Kaltim

Tag: