Kepulangan SMAN 10 Samarinda seperti ‘Luka Lama yang Perlahan Terobati’

Plt Kepala SMAN 10 Samarinda Suyanto (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Setelah bertahun-tahun lamanya menempuh berbagai jalur hukum, rapat dengar pendapat dan mediasi hanya untuk menyuarakan keadilan, SMAN 10 Samarinda akhirnya kembali ke Kampus A di Jalan HAM Rifaddin.

Bagi para orang tua murid, momen ini bukan sekadar relokasi saja, melainkan bentuk pemulihan harga diri, sejarah, dan masa depan pendidikan di Samarinda Seberang.

Lela, salah satu orang tua murid SMAN 10 yang disamarkan namanya, mengaku bahwa para orang tua sudah sejak awal memahami dan menghormati keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan aset tanah di jalan HAM Riffadin adalah milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).

“Putusan MA sudah inkrah. Kami taat hukum, dan kami hanya menuntut hak anak-anak kami dipulihkan sebagaimana mestinya,” ujarnya, Rabu (25/6).

Saat penandaan 12 ruang kelas SMAN 10 di Kampus A berlangsung, wanita berusia 54 tahun tersebut mengingat kembali masa lalu. Ketika itu, siswa-siswi SMAN 10 Samarinda harus mengemasi barang-barang mereka, meninggalkan bangunan sekolah yang telah menjadi rumah kedua mereka.

Ia masih ingat jelas bagaimana saat per satu kursi dan meja diangkut keluar kelas. Para siswa dan guru hanya bisa menunduk pasrah. Orang tua pun dipaksa untuk kuat meski hati mereka runtuh. Proses pemindahan beberapa tahun lalu dinilai tidak manusiawi.

Kepulangan SMAN 10 Samarinda ke Kampus Melati Samarinda Seberang. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

“Anak-anak kami diusir. Kursi dikeluarkan dan mereka diancam, bahkan ada yang stress juga karena mau ujian tapi dipaksa untuk pindah. Ada intimidasi kalau tidak pindah, tidak naik kelas. Kami sudah minta toleransi, tapi tidak ada jalan, itu semua masih membekas,” kenang Lela.

Pengalaman pahit itu menjadi bahan bakar perjuangan. Para orang tua murid bersatu, bukan untuk melawan siapa pun, melainkan untuk membela nilai-nilai kebenaran dan pendidikan yang adil.

“Kami tidak ingin ada generasi berikutnya yang merasakan luka seperti anak-anak kami. Ini tentang meletakkan kembali sesuatu pada tempatnya,” tegasnya.

Atas dasar itu, ia menegaskan kepulangan SMAN 10 ke Kampus A Jalan HAM Rifaddin setelah sebelumnya dipaksa untuk pindah ke Education Center adalah bentuk perjuangan warga Samarinda Seberang menegakkan hak berdasarkan hukum.

“Kenapa harus kembali, karena memang MA Inkrah, kami mengikuti semua aturan hukum. Saya heran, waktu anak kami diusir dari sini, ‘mohon maaf tidak manusiawi’ dengan tidak mengikuti aturan hukum. Nah ini sudah sesuai aturan hukum, kenapa terlalu berbelit-belit. Kenapa harus dipersulit (oleh yayasan),” jelasnya.

Kembali berjuang dari titik paling dasar, para orang tua murid SMAN 10 Samarinda rupanya juga tidak tinggal diam ketika putusan hukum yang telah inkrah dinilai diabaikan. Dijelaskan Lela, pihaknya menggugat ke pengadilan demi menuntut keadilan atas putusan MA yang menurut mereka tidak dijalankan secara semestinya.

“Kita orang tua dengan pengacara sudah ke pengadilan, kita tunggu 30 hari ke depan, tidak main-main kita memperjuangkan. Kita nuntut, kenapa putusan MA dilanggar. Kalau itu saja dilanggar, siapa lagi yang harus kita hargai,” bebernya.

Lela bersama orang tua lainnya yakin bahwa perjuangan yang dilandasi kejujuran dan ketulusan pada akhirnya akan menemukan jalannya.

“Kami hanya rakyat biasa. Tapi kami juga punya hati, punya hak, dan punya keberanian untuk melawan ketidakadilan, walau itu harus menunggu bertahun-tahun,” katanya.

Fakta Sejarah dari Guru Sepuh

Guru Sepuh di SMAN 10 Samarinda, Suyanto, yang telah mengabdi sejak sekolah itu berdiri pada 1997, menyampaikan kesaksiannya sebagai bagian dari sejarah hidup sekolah.

“Saya ini guru dari awal berdirinya sekolah ini. Saya tahu persis tanah ini dulu tandus, tidak ada apa-apa. Kami membangun dari nol, siswanya dulu cuma 60 orang, semua tinggal di asrama,” terangnya.

Suyanto menyebut bahwa awalnya memang ada perjanjian kerja sama antara Pemerintah Provinsi Kaltim melalui Dinas Pendidikan dan Yayasan Melati. Namun sejatinya kata dia, pembangunan fasilitas sekolah, termasuk gedung-gedung dan asrama, sebagian besar bersumber dari APBN dan APBD.

Plt Kepala SMAN 10 Samarinda ini bahkan menyimpan bukti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang menyatakan peruntukan bangunan untuk SMAN 10. Yayasan Melati itu kata dia, tugasnya hanya menghandle sarananya. Yakni untuk melaksanakan pembangunannya saja.

“IMB-nya untuk SMAN 10. Jadi jelas, itu milik negara. Saya hanya seorang guru, ASN, yang sudah 28 tahun bersama SMAN 10. Ketika dulu kami diminta untuk pindah ke Education Center, saya ikut. Tapi hati saya berkata: iki ndak pas,” ungkapnya lirih.

Ia menuturkan bahwa kepindahan SMAN 10 ke Education Center saat itu adalah perintah atasan, meskipun secara batin dia menolak. Suyanto pun memilih untuk mengikuti proses hukum yang berjalan sambil terus berdoa agar kebenaran ditegakkan.

“Saya hanya guru biasa saat itu. Tapi saat ini saya ingin meluruskan barang yang bengkok. Kalau saya diam, saya termasuk setan bisu seperti yang dikatakan Imam An-Nawawi. Saya tidak mau jadi bagian dari itu,” tegasnya.

Ia menyambut kepulangan SMAN 10 ke Kampus A sebagai langkah yang benar, baik dari sisi hukum negara maupun moral spiritual.

“Kembalinya sekolah ini bukan karena kami hebat. Tapi karena hukum Tuhan dan negara memang sudah menyatakan ini yang benar. Saya cuman ingin menunaikan amanah sebelum pensiun,” pungkasnya dengan suara bergetar.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan | ADV Diskominfo Kaltim

Tag: