
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Pengadilan Negeri (PN) Samarinda pada Kamis (21/8), untuk pertama kalinya mengabulkan permohonan restitusi dalam perkara pidana pembunuhan. Putusan bersejarah atas perkara Resitusi Pidana Nomor 1/Res.Pid/2025/PN Smr ini dibacakan langsung Majelis Hakim yang diketuai Agung Prasetyo.
Dalam amar putusannya, majelis hakim pun menghukum terpidana Muhammad Riadi bin Reno Anang untuk dapat membayar restitusi sebesar Rp306.303.000 kepada Febby Ayu Indah Lestari, istri almarhum Hidayat, korban pembunuhan pada November 2024 lalu.
Restitusi ini wajib dilunasi paling lambat 14 hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Jika terpidana tidak membayar, maka jaksa berwenang menyita dan melelang harta benda terpidana. Bila hasil lelang tidak mencukupi, sisa kewajiban dapat diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Juru Bicara PN Samarinda, Jemmy Tanjung Utama, menyampaikan bahwa putusan ini menandai sejarah baru di Samarinda. Sebab sejauh catatan PN Samarinda, ini merupakan putusan restitusi pertama di institusi tersebut.
“Hal ini terekam jelas dalam database kami di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP). Jadi memang belum pernah ada sebelumnya,” ujarnya.
Meskipun hakim mengabulkan sebagian besar permohonan, beberapa poin tetap ditolak. Di antaranya, permintaan agar restitusi ini dapat dibebankan pada negara jika terpidana tidak mampu membayar, serta permintaan supaya putusan bisa langsung dieksekusi meskipun masih ada upaya hukum lainnya.
Menurut Jemmy, hal itu tidak sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Restitusi dalam perkara pidana, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, merupakan kewajiban pelaku tindak pidana.
“Pasal (67 dan 71) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 yang disebutkan itu tidak ada, menurut hakimnya. Kemudian terkait dengan putusan agar bisa dilaksanakan terlebih dulu ditolak, hakim berpendapat tidak memenuhi ketentuan skema 3 tahun 2000,” jelasnya.
Kuasa hukum korban dari Laura Law Office, Tomi Pratama Gultom, menyampaikan bahwa putusan restitusi ini adalah langkah penting untuk pemenuhan hak korban, meski tidak sepenuhnya sesuai permohonan yang telah diajukan sebelumnya.
“Pada awalnya, kami mengajukan restitusi senilai Rp900 juta, lalu direvisi bersama LPSK menjadi Rp330 juta. Hakim akhirnya memutus Rp306 juta sekian. Menurut kami, ini sudah cukup adil karena di tingkat pertama perkara pidana, banyak hak-hak korban yang telah diabaikan,” terangnya.
Kata Tomi, sejak awal jaksa penuntut umum (JPU) telah mendakwa pelaku dengan pasal penganiayaan yang menyebabkan kematian (Pasal 351 KUHP), bukan pasal pembunuhan. Hal tersebut membuat pihak korban merasa keadilan tidak sepenuhnya ditegakkan.
“Makanya kami bersama LPSK mengajukan permohonan restitusi pada Juli 2025. Dan alhamdulillah, majelis hakim mengabulkan sebagian besar permohonan kami,” bebernya.
Kendati begitu, Tomi pun menilai penggantian restitusi dengan pidana kurungan enam bulan jika harta terpidana tidak mencukupi masih terlalu ringan. Menurutnya, akibat perbuatan pelaku, Febby Ayu Indah Lestari kehilangan suami saat sedang hamil lima bulan.
“Anak yang dilahirkan Febby kini tumbuh tanpa seorang ayah. Jadi jangan hanya melihat restitusi ini sebatas angka nominal, karena dampak bagi keluarga korban sangat besar,” paparnya.
Jaksa diharapkan dapat mengawal serius pelaksanaan putusan ini dan memastikan aset-aset terpidana benar-benar disita jika tidak ada itikad baik. Pasalnya, restitusi ini menjadi bentuk pengakuan negara terhadap penderitaan korban.
“Negara sudah bertindak untuk menjamin hak korban, sekarang tinggal pelaksanaannya,” tegasnya.
Sementara, Febby Ayu Indah Lestari, mengaku bersyukur majelis hakim sudah mengabulkan permohonannya meskipun tidak sepenuhnya.
“Alhamdulillah dari yang kami ajukan, katanya hakim diterima, walau ada juga yang ditolak sebagian. Saya bersyukur permohonan ini dikabulkan pengadilan,” ungkapnya.
Kendati demikian, wanita kelahiran 1999 ini pun mengaku bahwa nilai restitusi tersebut sebenarnya tidak sebanding dengan apa yang dialami keluarga kecilnya, yakni kehilangan nyawa suami yang dicintainya.
“Kalau dari kebutuhan saya, nominal segitu enggak sebanding dengan hilangnya nyawa suami saya. Apalagi saya ditinggalkan saat sedang hamil. Anak saya belum sempat melihat ayahnya, tapi sudah tidak ada,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Febby berharap putusan yang dibacakan oleh majelis hakim benar-benar dijalankan. Sebab, saat ini ia ingin melihat langsung tanggung jawab terpinda atas perbuatan yang telah dilakukannya.
“Semoga dari apa yang disampaikan Majelis Hakim bisa diterima dan dilaksanakan. Intinya saya menunggu itikad baik dari pihak terpidana,” tutupnya.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan
Tag: Hukum