Akademisi Unmul Minta Pemkot Samarinda Bertanggung Jawab atas RTRW yang Rugikan Warga Bukit Pinang

Lewat sejumlah unggahan di akun Instagram @korban_banjir_bukitpinang, masyarakat menunjukkan bagaimana banjir merusak rumah dan perabotan mereka. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Keluhan warga Bukit Pinang yang menuding banjir semakin menggila sejak adanya pematangan lahan pergudangan beberapa tahun lalu mendapat tanggapan serius dari akademisi dengan mengatakan Pemerintah Kota Samarinda yang harus bertanggung jawab.

Pengamat kebijakan publik FISIP Unmul, Saipul Bachtiar, menilai, sejak awal ada kesalahan dalam hal ‘Penetapan Lokasi’ kawasan tersebut di RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Samarinda..

Mengapa begitu, sebab wilayah Bukit Pinang memiliki karakter topografi berbukit dengan cekungan di bawahnya. Kondisi itu membuat air hujan mudah melimpas ke permukiman warga, sehingga rawan menimbulkan banjir.

Ketiadaan saluran pembuangan memadai pun turut memperparah keadaan karena membuat air hujan tertahan di sejumlah titik. Akibatnya, aliran air menjadi sangat lambat. Selain itu, ia juga menyoroti keberadaan drainase yang ada di tepi jalan.

“Drainasenya belum berfungsi optimal karena tidak terhubung dengan saluran pembuangan akhir seperti sungai atau danau,” ungkapnya kepada Niaga.Asia, Jumat (12/9).

Persoalan ini akhirnya semakin memperparah genangan air yang sudah tertahan di kawasan cekungan. Sehingga berdasarkan kondisi itu kata Saipul, seharusnya penetapan lokasi kompleks pergudangan didahului dengan kajian mendalam, terutama terkait tata ruang.

“Saya rasa, lokasi pergudangan seharusnya ditempatkan di dataran setelah kawasan perbukitan, bukan di Bukit Pinang yang jelas berisiko banjir,” jelasnya.

Ia menjelaskan, dataran landai jauh lebih ideal untuk pembangunan kawasan gudang skala besar karena beberapa alasan. Pertama, lebih mudah mengatur sistem drainasenya. Dimana, air hujan bisa langsung dialirkan ke sungai atau danau terdekat tanpa menumpuk di area cekungan.

Kedua, risiko banjir kemungkinan jauh lebih kecil dibandingkan kawasan perbukitan. Ketiga, lahan datar tentunya lebih sesuai untuk infrastruktur logistik yang memang membutuhkan akses jalan luas dan stabil.

“Kalau dipaksakan di Bukit Pinang, area yang berbukit seperti itu. Kita lihat saja dampaknya seperti sekarang. Warga yang dikorbankan,” terangnya.

Kasus banjir berulang di Bukit Pinang menjadi bukti lemahnya perencanaan tata ruang di Kota Samarinda. Ia menekankan pentingnya pemerintah daerah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin pembangunan pergudangan yang sudah terlanjur berdiri.

Pengamat kebijakan publik FISIP Unmul Saipul Bachtiar (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

Menurut Saipul, tanggung jawab penanganan banjir tidak bisa hanya dibebankan kepada pihak pengelola pergudangan. Pemerintah Kota Samarinda, sebagai pihak yang ikut andil dalam menetapkan kawasan tersebut untuk pergudangan, juga harus ikut bertanggung jawab.

“Jangan sampai hanya kompensasi seadanya yang diberikan kepada warga sekitar. Kerugian masyarakat akibat banjir ini jauh lebih besar, bahkan bisa mengancam keselamatan jiwa bila hujan deras turun di malam hari. Bisa-bisa air bah yang masuk ke permukiman dan menghantam rumah warga,” tegasnya.

Ia mengingatkan, banjir di Bukit Pinang tidak bisa lagi dianggap sebagai masalah musiman. Tanpa langkah yang konkret, risiko genangan di wilayah tersebut akan semakin tinggi dan meluas seiring meningkatnya curah hujan. Karena itu, pemerintah perlu menyiapkan solusi jangka pendek maupun jangka panjang.

Beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan di antaranya, mulai dari membangun saluran pembuangan yang langsung terhubung ke sungai atau danau besar, hingga membuat kolam retensi yang benar-benar mampu menampung debit hujan ekstrem.

“Kalau solusi sementara hanya mengandalkan kolam kecil atau drainase seadanya, itu tidak akan cukup. Justru bisa jadi bahaya baru ketika kolam penuh dan meluap, ujung-ujungnya warga lagi yang dirugikan,” paparnya.

Bahkan, bila persoalan banjir tidak bisa diatasi secara teknis, Saipul menilai opsi relokasi warga terdampak harus dipertimbangkan secara serius. Tentunya, dengan ganti rugi yang layak, karena mereka tinggal di rumah pribadi, bukan perumahan pemerintah.

Tak lupa, Saipul juga menyoroti lemahnya implementasi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dalam pembangunan pergudangan. Menurutnya, jika Amdal dijalankan dengan baik sejak awal, maka potensi banjir bisa diantisipasi.

“Sayangnya, yang kita lihat sekarang Amdal itu tidak benar-benar efektif. Air tetap meluap ke permukiman, dan pemerintah kota tidak boleh lari dari tanggung jawab. Kalau ada kesalahan perencanaan sebelumnya dari pemimpin terdahulu, sekaranglah saatnya diperbaiki oleh pemimpin masa kini,” pungkasnya.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan

Tag: