
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Kelurahan Bukit Pinang, Air Putih, Kecamatan Samarinda Ulu berada dalam sistem sungai Karang Asam Besar. Kawasan ini masih rawan banjir, karena fisik sungai yang melintasinya berkelok-kelok (tidak lurus) dan di beberpa titik ada penyempitan sehingga menjadi penyebab banjir dikala musim hujan.
Untuk mengatasi banjir di Bukit Pinang, sebagian badan sungai Karang Asam Besar sudah dinormalisasi agar aliran air lebih lancar menuju hilir. Badan sungai yang sudah dinormalisasi hingga tahun 2025 sepanjang 3,025 kilometer kilometer, dari Jalan Saka hingga Perumahan Mahakam Grande. Kemudian masih ada sepanjang 800 meter yang juga direncanakan untuk dinormalisasi, tapi belum bisa dikerjakan karena terkendala permukiman warga.
Pekerjaan ini dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) melalui Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas PUPR-PERA berkolaborasi dengan Pemerintah Kota Samarinda.
“Sekitar 800 meter badan sungai belumbisa disentuh (dinormalisasi) karena terkendala keberadaan permukiman warga. Kondisi ini menciptakan penyempitan, atau biasa disebut bottle neck, yang membuat laju air tertahan sehingga banjir masih terjadi di beberapa titik Kelurahan Bukit Pinang,” kata Kepala Dinas PUPR-PERA Kaltim Aji Muhammad Fitra Firnanda melalui Kabid SDA Runandar, pada Niaga.Asia, Rabu (1/10/2025).
Normalisasi sungai di Jalan Saka merupakan bagian dari sistem Sungai Karang Asam Besar. Sebelum tahun 2021, kawasan tersebut belum pernah tersentuh normalisasi, padahal kondisinya sudah cukup memprihatinkan.
“Di Jalan Saka itu sungainya banyak tikungan. Kita ingin mempercepat aliran dengan cara ‘penyodetan’. Tapi karena di sekitarnya ada banyak permukiman, maka tidak bisa serta-merta kita lakukan. Harus diselesaikan dulu masalah sosialnya,” ujar Aji Fitra.

Kemudian terkait sisa pekerjaan normalisasi sungai sepanjang 800 meter, ia membenarkan tidak bisa dilanjutkan karena menyangkut lahan warga. PUPR-PERA Kaltim hanya bisa menuntaskan pekerjaan teknisnya, sementara persoalan pembebasan lahan dan komunikasi dengan masyarakat akan menjadi kewenangan Pemerintah Kota Samarinda.
“Penanganan banjir di sana, harus kita cari solusinya. Kalau bikin sodetan atau pelebaran, artinya tanah orang harus digunakan. Itu kan butuh proses. Tidak segampang yang terlihat. Jadi ini pekerjaan bersama, kita menangani teknis, sementara kota menangani masalah sosialnya,” jelasnya.
Aji Fitra juga mengingatkan risiko yang bisa muncul bila normalisasi dipaksakan di kawasan padat penduduk. Menurutnya, pengerjaan dengan alat berat di sekitar rumah warga sebenarnya juga sangat berisiko, baik terhadap bangunan maupun keselamatan jiwa.
“Kalau tiba-tiba setelah normalisasi ada turun hujan deras, dikhawatirkan rumah di bantaran itu bisa bergerak atau bahkan roboh. Kalau sampai terjadi hal yang tidak diinginkan, siapa yang akan bertanggung jawab? Itu kan bisa menimbulkan tuntutan masyarakat. Jadi kami sangat berhati-hati juga saat di lapangan,” terangnya.

Kemudian terkait fenomena penyempitan atau bottle neck pada alur sungai, ia mengatakan bahwa hal tersebut menjadi persoalan utama di Bukit Pinang. Air yang datangnya dari hulu dengan volume besar harus melalui saluran sempit di hilir, sehingga terhambat. Kondisi itu menyebabkan air tertahan cukup lama dan menimbulkan genangan banjir di lingkungan sekitar.
“Walau sudah kita normalkan sebagian besar alurnya, selama masih ada bottle neck, banjir tetap terjadi. Air tetap jalan, tapi memerlukan waktu lebih lama untuk surut.”
Sedimen dari pembukaan lahan
Selain masalah sosial, aktivitas pembukaan lahan di kawasan pergudangan juga diduga memperburuk kondisi sungai. Lahan terbuka itu rentan menyebabkan erosi dan sedimen masuk ke badan sungai, sehingga mempercepat pendangkalan.
“Pembukaan lahan di pergudangan itu juga jadi penyumbang sedimen. Jadi meski sudah dinormalisasi, kalau aktivitas di sekitarnya benar-benar tidak terkendali, maka hasilnya tidak maksimal,” paparnya.
Selain itu, ia menerangkan bahwa masyarakat yang buang sampah sembarangan juga bisa memperparah kondisi sungai. Sampah yang menumpuk di aliran air akan menyebabkan pendangkalan dan penyumbatan, sehingga banjir tetap terjadi meski normalisasi sudah dilakukan. Karena itu, Runandar menekankan perlunya sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.
“Masyarakat juga harus sadar, jangan buang sampah sembarangan. Semua pihak harus saling bersinergi untuk menuntaskan banjir ini,” katanya.

Meski masih terdapat kendala dalam program pengendalian banjir, ia menyebutkan bahwa hasil positif dari normalisasi yang dilakukan sebenarnya sudah dirasakan masyarakat. Menurutnya, aliran sungai di titik yang telah dinormalisasi kini lebih lancar dengan kedalaman mencapai 2–3 meter.
“Seperti di Mahakam Grande sekarang relatif aman. Air lebih lancar, genangan bisa cepat surut. Tapi karena di Jalan Saka masih ada yang sempit (bottle neck), genangan tetap ada di sekitar Bukit Pinang. Tapi dampaknya saat ini, banjirnya cepat surut,” kata Aji Fitra.
Ia menegaskan bahwa penyelesaian sisa pekerjaan sepanjang 800 meter masih menjadi pekerjaan rumah. Semua bergantung pada penyelesaian masalah sosial antara Pemerintah Kota Samarinda dengan warga bantaran sungai.
“Intinya kita sudah lakukan normalisasi bertahap, dan hasilnya mulai terlihat. Tapi sisanya yang 800 meter ini masih terkendala lahan masyarakat. Jadi solusinya memang harus dikerjakan bersama dengan Pemerintah Kota Samarinda,” tegasnya.
Sementara itu, ditemui di Kantor Kelurahan Bukit Pinang, Senin (29/9), Lurah Bukit Pinang Eko Purwanto menjelaskan bahwa pemerintah kota juga turut melakukan upaya penanganan banjir dengan dukungan pemerintah provinsi. Salah satunya melalui pembangunan drainase dan irigasi di kawasan Jalan Saka.

“Banjir besar di Bukit Pinang itu ada dua titik. Pertama di depan Masjid Asy-Syuhada. Nah di Jalan Saka penanganannya sudah dilakukan, tahun ini kita bangun drainase. Sebelumnya kita juga kerja sama dengan provinsi dan TNI untuk pengerukan sungai,” ungkapnya.
Ia menyebutkan, pengerjaan drainase di Jalan Saka sudah berjalan sekitar 1 kilometer, mulai dari titik RT 16 hingga mendekati perbatasan Kelurahan Lok Bahu. Proyek tersebut lanjut Eko, dikerjakan secara bertahap.
“Kalau di dalam Jalan Saka, itu kolaborasi antara kota dan provinsi, panjangnya kurang lebih 2 kilometer. Provinsi sudah selesaikan 1 kilometer, sekarang kota pun melanjutkan 1 kilometer lagi. Sedangkan untuk yang di luar, di depan Jalan Saka, itu dikerjakan oleh kota semuanya,” imbuhnya.
Eko sangat bersyukur pemerintah kota serta provinsi benar-benar peduli terhadap Bukit Pinang. Tak hanya dibangunnya drainase oleh kota, provinsi pun juga melakukan pengerukan sungai dengan alat berat. Pekerjaan dilakukan di beberapa titik rawan, terutama di RT 15, 16, dan 17 yang selama ini paling sering terdampak banjir.
“Kalau sekarang banjir di RT 15, 16, 17 itu cepat surut, paling lama 1 jam. Karena sungai sudah kita dalamin dan alirannya lebih lancar. Walaupun memang belum maksimal karena masih ada pekerjaan yang belum tersambung ke Sungai Langsat di belakang,” ungkapnya.
Diakui Eko, bahwa memang terdapat sejumlah kendala di lapangan, khususnya soal lahan warga. Namun menurutnya, masyarakat di Bukit Pinang relatif kooperatif dan mendukung program pengendalian banjir.
“Alhamdulillah, warga mau mengikhlaskan sebagian tanahnya untuk dibuat irigasi. Karena mereka juga sudah bosan rumahnya kebanjiran. Jadi kegiatan ini bisa berjalan karena ada dukungan masyarakat juga,” tambahnya.
Kendati demikian, ia juga menekankan bahwa penanganan banjir di Kelurahan Bukit Pinang tidak bisa hanya mengandalkan proyek teknis. Dibutuhkan juga sosialisasi, koordinasi, dan komitmen bersama masyarakat agar program bisa berlanjut.
“Harapan kami ke depan, kalau semua saluran ini sudah nyambung sampai Sungai Langsat, genangan banjir bisa berkurang dan jauh lebih maksimal. Paling tidak, airnya juga cepat turun sehingga aktivitas masyarakat dan perekonomian tidak terganggu,” pungkasnya.
Sungai Karang Asam Besar adalah sebuah sungai di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, yang panjangnya sekitar 8,53 kilometer (km) atau 8.530 meter, mengalir melalui beberapa wilayah seperti Teluk Lerong Ilir, Teluk Lerong Ulu, Karang Asam Ulu dan Karang Asam Ilir, Loa Buah, serta Air Putih (Bukit Pinang), atau melintasi Kecamatan Samarinda Ulu dan Sungai Kunjang. Lebar sungai Karang Asam Besar secara spesifik tidak ada datanya, tapi mendekati ke muaranya di Sungai Mahakam lebarnya ada berkisar 10-an meter tapi ke arah ulunya hanya berkisar 4-6 meter.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan
Tag: BanjirNormalisasi SungaiSungai Karang Asam Besar