
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Samarinda tidak hanya dikenal sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), tetapi juga sebagai kota yang benar-benar tumbuh dari perjalanan panjang sejarah, perpaduan beragam budaya, serta semangat kebersamaan berbagai suku bangsa yang hidup berdampingan hingga kini.
Bagi sebagian masyarakat, Samarinda sering disebut sebagai ‘kota tanpa budaya dominan’. Namun di balik keberagaman itu, tersimpan akar historis yang sangat kuat, dimulai dari hubungan antara Kerajaan Kutai Kartanegara dan masyarakat Wajo dari Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17, tepatnya tahun 1668.
Sekitar tahun 1668, rombongan masyarakat Bugis Wajo yang meninggalkan tanah asalnya akibat konflik internal kerajaan di Sulawesi Selatan tiba di tepian Sungai Mahakam. Saat itu, mereka dipimpin oleh La Mohang Daeng Mangkona, tokoh yang kemudian dikenal sebagai pendiri Samarinda.
Rombongan ini langsung menghadap Raja Kutai Kartanegara. Setelah diterima secara resmi, mereka diberikan wilayah pemukiman di tepian sungai yang kini lebih dikenal sebagai Samarinda Seberang.
Dari sinilah, kemudian lahir nama Samarinda, atau yang awalnya dikenal ‘Samarendah’. Arti dari ‘Samarendah’, tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan yang lain. Baik pendatang maupun penduduk asli, semuanya harmonis bersama.
Dikatakan Kepala Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kota Samarinda, Muslimin, anak-anak zaman sekarang harus memahami akar sejarah tersebut sebagai dasar dalam menata identitas budaya kota saat ini.
“Jika bicara sejarah historis Samarinda, kita ini bagian dari Kutai Kartanegara. Jadi pada saat datangnya masyarakat Wajo ke Kota Samarinda, itu menghadap Raja Kutai. Maka diberilah tempat yang namanya Samarinda Seberang,” ujarnya di Ruang Kerjanya, Kantor Disporapar Samarinda jalan Dahlia, Jumat (3/10).
Ia melanjutkan, pada masa itu masyarakat Wajo turut membantu kerajaan Kutai dalam menghadapi perlawanan penjajahan Belanda. Jejak sejarah itu masih dapat ditelusuri di Samarinda Seberang, termasuk makam La Mohang Daeng Mangkona yang hingga kini dihormati masyarakat setempat.
“Raja Wajo La Mohang Daeng Mangkona ikut membantu Kerajaan Kutai melawan penjajah Belanda. Makamnya ada di situ. Dan keluarga keraton itu juga masih ada di Samarinda Seberang,” jelasnya.
Sejarah panjang hubungan Kutai dan Wajo itu masih terpelihara dalam berbagai tradisi adat hingga sekarang. Salah satunya, kebiasaan rombongan Erau dari Tenggarong yang selalu singgah di Samarinda Seberang, tepatnya di Kampung Baqa.
Tradisi ini kata Muslimin, dikenal sebagai Naga Bekenyawa, simbol persaudaraan antara Kutai dan masyarakat Samarinda. Di tempat persinggahan tersebut, para bangsawan Kutai biasanya beristirahat dan menemui sanak keluarga sebelum melanjutkan perjalanan ke Kutai Lama.
Muslimin pun turut menceritakan bahwa pada pelaksanaan Erau tahun ini, dirinya mendapat kehormatan mewakili Walikota Samarinda Andi Harun untuk melakukan prosesi tepung tawar kepada Haji Aji Pangeran Hario Soerya Adi Kesuma.
“Pada saat erau kemarin, saya memberikan tepung tawar kepada Haji Aji Pangeran Hario Soerya Adi Kesuma di Samarinda Seberang Kampung Baqa. Karena sejarahnya memang setiap ada acara erau dari Tenggarong, selalu singgah ke Samarinda Seberang. Itu bagian dari sejarah kita yang tidak boleh dilupakan,” terangnya.
Kini kata dia, Samarinda dikenal sebagai kota multietnis, dihuni oleh hampir seluruh suku di Indonesia. Data kependudukan menunjukkan bahwa suku Jawa adalah kelompok terbesar, disusul Bugis, Banjar, Kutai, dan suku-suku lainnya. Namun, perbedaan itu tak pernah menjadi sumber konflik besar.
“Kalau bicara dominan, memang Jawa paling besar di sini dari data kependudukan ya, lalu Bugis, Banjar, Kutai, dan lainnya. Tapi kita tidak pernah memperdebatkan itu. Samarinda ini menjadi kota yang penuh harmoni,” katanya.
“Ibarat musik, walaupun berbeda alat musik, tapi tetap mengeluarkan suara yang nyaman. Kalau ada kerusuhan kecil, itu biasa saja, tidak pernah sampai besar,” tambahnya.
Menurutnya, keragaman adalah kekuatan Samarinda. Di kota ini, setiap suku dapat mengekspresikan budaya mereka dengan bebas namun tetap saling menghargai.
“Karena itu, Disporapar berupaya menjaga dan menumbuhkan semangat kebersamaan itu melalui berbagai kegiatan budaya,” tegasnya.
Sejak lebih dari satu dekade, Disporapar Kota Samarinda rutin menggelar Festival Mahakam Budaya Nusantara dan Festival Adat Dayak, yang menjadi ruang pertemuan lintas suku dan budaya.
“Festival Mahakam nanti kita rencanakan November. Itu kegiatan Festival Budaya Nusantara. Semua suku akan tampil di Teras Samarinda. Dengan anggaran terbatas, kita tetap laksanakan,” bebernya.
Disporapar Samarinda akan mengundang semua pihak, mulai dari suku Dayak, Jawa, Kutai, Sulawesi, Banjar dan lain-lain untuk menampilkan budaya dan tarian mereka masing-masing.
“Ada hiburan musiknya juga nanti. Karena di Samarinda semua suku ada, semua berbaur. Ini bentuk nyata menjaga keharmonisan,” tuturnya.
Muslimin menilai, keberagaman yang hidup di Samarinda adalah modal sosial yang sangat berharga. Kota ini, katanya, adalah miniatur Indonesia, tempat seluruh suku bangsa hidup berdampingan, saling menjaga, dan saling menghormati satu sama lain.
“Samarinda ini lain, berbeda dengan yang lain. Semuanya ada di sini. Semua berjalan selaras, saling menjaga, saling menghormati. Itulah kekuatan Samarinda, miniatur Indonesia,” pungkasnya.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan
Tag: BudayaSamarinda