Editorial: PNS “Budak” Kepala Daerah

Ilustrasi

Jumlah total PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia per 1 September 2025 adalah 5.359.209 orang, menurut Badan Kepegawaian Negara (BKN). Jumlah ini terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Menjadi PNS adalah cita-cita banyak orang dan orang tua. Ada yang ikhlas jadi pegawai honorer puluhan tahun dengan harapan ada keajaiban dingkat jadi PNS. PNS adalah profesi mulia, karena dilabeli sebagai abdi negara, pelayan masyarakat, sekaligus penyelenggara negara.

Meski tidak banyak orang tua yang mengetahui persis kondisi kerja anaknya yang jadi PNS, tapi pada umumnya para orang tua yang anaknya sudah jadi PNS, sangat bangga akan anaknya tersebut. Sebelum tahun 2000-an atau sebelum era reformasi, dapat dikatakan PNS bekerja dalam situasi dan kondisi yang  kondusif.

Tapi setelah era reformasi, dimana kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan dalam pemilihan yang menentukan adalah uang, sebetulnya kondisi yang dihadapi PNS daerah atau PNS di lingkungan pemerintah daerah, setiap lima tahun berubah-ubah, bahkan membuat bingung banyak PNS.

PNS yang sebelumnya abdi negara dan pelayan masyarakat, dalam 25 tahun terakhir sehari-hari kini statusnya tak lebih dari ”budak” kepala daerah. PNS harus menyukseskan apa-apa yang menjadi visi dan misi kepala daerah yang secara rinci dituangkan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). PNS bulna lagi abdi negara atau pelayan masyarakat, tapi abdi dan pelayan kepala daerah.

Ketika kepala daerah yang terpilih niatnya baik, benar-benar bekerja untuk memajukan kesejahteraan rakyat, PNS masih bisa bekerja profesional dan tak melanggar kode etik PNS, tapi ketika dapat kepala daerah yang sekaligus ingin mencari materi dan membangun dinasti,  PNS mulai menghadapi posisi sulit.

Sebelum kepala daerah dipilih langsung, atau era kepemimpinan Soeharto atau zaman orde baru, mendengar PNS diadili dalam perkara korupsi, sungguh sangat jarang terdengar, tapi sekarang hampir terlihat sepanjang tahun. Setiap kepala daerah terkena OTT KPK, pasti ada saja PNS yang terlibat, atau dapat dikatakan jadi korban.

PNS yang sudah seharusnya menduduki jabatan tertentu, karena prestasi dan masa kerjanya, kini harus mengeluarkan uang dalam jumlah cukup banyak untuk menduduki jabatan yang sebenarnya adalah haknya. Bahkan atas perintah kepala daerah, ada PNS yang mau pula sebagai pengumpul uang dari rekan-rekannya sendiri yang mau jadi kepala dinas/badan.

Zaman sekarang PNS benar-benar dijadikan “budak” oleh kepala daerah. PNS yang tidak mau menuruti keinginan atau apa yang dimaui kepala daerah, dimarah-marahi, diancam-ancam akan dinonjobkan, dijadikan pejabat fungsional. PNS secara tidak langsung diperintahkan kepala daerah untuk melanggar kode etik.

PNS berubah jadi pelayan kepala daerah, bukan lagi pelayan masyarakat. PNS berubah jadi abdi kepala daerah, keluarga kepala daerah, kroni-kroni kepala daerah. PNS juga jadi abdi timses kepala daerah. PNS diperalat kepala daerah untuk mengumpulkan uang dalam jumlah tertentu atau persentase dari pagu anggaran yang ada dalam APBD, atau dari kontraktor.

Orang tua yang punya anak PNS dan sedang menduduki jabatan tertentu, semisal jadi kepala dinas, harus siap-siap mental mendengar kabar anak Anda ditangkap KPK, Kejaksaan, atau Kepolisian dalam perkara korupsi. Tapi juga pula terlalu sedih, karena bisa jadi Anda melakukan perbuatan melanggar hukum, karena menuruti perintah atasannya, bupati, walikota, atau gubernur.@

Tag: