Penurunan Stunting di Kaltim Masih Lambat, Bertahan di 22,2 Persen

Wakil Gubernur Seno Aji mempimpin Rapat Koordinasi Percepatan Penurunan Stunting, Selasa (18/11/2025.  (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Upaya penurunan stunting di Kalimantan Timur (Kaltim) dinilai masih lambat setelah prevalensi hanya turun tipis dari 22,8 persen pada 2021 menjadi 22,2 persen di tahun 2024. Ketertinggalan progres ini menjadi perhatian serius pemerintahan Rudy-Seno.

Wakil Gubernur Seno Aji menilai penurunan sebesar 0,6 persen dalam tiga tahun terakhir masih jauh dari ekspektasi percepatan. Maka itu, koordinasi percepatan penurunan stunting antarsektor harus dilakukan untuk menyusun langkah-langkah percepatan yang benar-benar berdampak bagi masyarakat.

“Seperti kita ketahui, Presiden melalui arahan nasional menargetkan penurunan stunting menjadi 18,8 persen pada tahun 2025. Secara nasional, angka stunting bahkan sudah turun dari 21,5 persen di 2023 menjadi 19,8 persen pada 2024. Namun bagi Kaltim, capaian kita belum bergerak signifikan,” ujarnya, usai memimpin Rapat Koordinasi Percepatan Penurunan Stunting, Selasa (18/11/2025).

Berdasarkan data,  prevalensi stunting Kaltim pada tahun 2021 berada di angka 22,8 persen, dan setelah tiga tahun hanya menjadi 22,2 persen saja. Tentunya, penurunan ini masih sangat jauh dari cukup.

“Kita harus mengakui bahwa percepatan kita belum sesuai harapan,” katanya.

Apabila ingin mengejar ketertinggalan, semua pihak perlu melakukan percepatan yang lebih agresif dan terukur. Seperti halnya tiga daerah di Provinsi Kaltim yang dinilai telah berhasil menurunkan angka stunting secara signifikan, diantaranya Kutai Kartanegara, Samarinda, dan Bontang.

“Tiga daerah ini berada jauh di bawah rata-rata prevalensi provinsi,” jelasnya.

Sumber: Rapat Koordinasi Percepatan Penurunan Stunting Kaltim 2025.

Namun demikian, masih ada daerah lainnya yang memerlukan perhatian khusus. Seperti Kutai Timur, Penajam Paser Utara dan Kutai Barat disebut menjadi wilayah dengan angka stunting yang terbilang masih tinggi dan belum menunjukkan penurunan optimal.

“Daerah ini membutuhkan strategi yang lebih tajam, fokus, dan benar-benar berbasis data. Kita tidak bisa menggunakan pendekatan yang sama untuk seluruh wilayah, karena karakteristik dan tantangannya berbeda,” terangnya.

Arah kebijakan nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting kata dia, harus menjadi pedoman yang dilakukan secara konsisten di seluruh daerah.

“Terdapat dua jenis intervensi yang menjadi kunci keberhasilan penanganan stunting, yakni intervensi spesifik dan intervensi sensitif,” tuturnya.

Intervensi spesifik berkaitan langsung dengan sektor kesehatan. Ia menjelaskan, intervensi ini mencakup pemenuhan gizi ibu hamil, dan pemberian suplementasi bagi remaja putri, pemberian ASI eksklusif, imunisasi dasar lengkap, hingga penanganan gizi buruk dan penguatan pelayanan kesehatan ibu dan anak.

Sedangkan intervensi sensitif berada di luar sektor kesehatan. Intervensi ini kata Wakil Gubernur Seno Aji, mempengaruhi kondisi gizi serta tumbuh kembang anak. Yang meliputi penyediaan sanitasi layak, akses air bersih, pendidikan, ketahanan pangan, perlindungan sosial, serta pembangunan lingkungan yang sehat.

Menurutnya, intervensi sensitif benar-benar bergantung pada komitmen kepala daerah dan perangkat pemerintah kabupaten/kota. Namun, dirinya menegaskan bahwa intervensi spesifiklah yang seharusnya menjadi prioritas utama karena berdampak langsung dan cepat menurunkan angka stunting.

“Intervensi spesifik ini bisa dilakukan melalui OPD-OPD terkait di daerah masing-masing. Namun jangan hanya aktif di atas kertas saja. Pelaksanaannya harus nyata, tepat sasaran, dan memastikan keluarga berisiko tinggi mendapat pendampingan,” tegasnya.

Ditegaskannya, percepatan penurunan angka stunting hanya dapat tercapai melalui kerja sama yang kuat antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kaltim perlu bergerak cepat serta tepat untuk menyusun langkah-langkah strategis agar dapat mengejar target nasional dan menurunkan prevalensi stunting secara signifikan dalam waktu yang tersisa.

Sinergi ini sangat penting terutama dalam memantau kondisi ibu hamil dan balita, yang merupakan kelompok paling rentan.

“Stunting mulai terjadi sejak masa kehamilan. Karena itu, kita harus mewaspadai setiap potensi risiko sejak awal. Data menunjukkan kasus terbanyak tercatat pada anak usia 0 sampai 11 bulan. Artinya, pencegahan sejak dini menjadi sangat krusial,” pungkasnya.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan | Advertorial Diskominfo Kaltim

Tag: