
JAKARTA.NIAGA.ASIA – Kementerian Perdagangan melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) meluncurkan Sectoral Risk Assessment (SRA) Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) Tahun 2025.
Peluncuran ini merupakan bagian penting dari pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM) Tahun 2025.
Hal ini juga sebagai tindak lanjut dari komitmen Indonesia sebagai anggota ke-40 Financial Action Task Force (FATF) yang salah satu rekomendasinya yaitu penekanan akan pentingnya identifikasi, penilaian, dan pemahaman risiko TPPU dan TPPT di tingkat nasional dan sektoral.
“Sebagai tindak lanjut dari komitmen pada rekomendasi keanggotaan Indonesia pada FATF, kita berkewajiban melaksanakan penilaian risiko nasional dan sektoral. Di tingkat nasional, telah dilakukan Penilaian Risiko Indonesia terhadap TPPU,TPPT, dan PPSPM pada tahun 2021. Sebagai turunannya, setiap sektor strategis, termasuk industri PBK, perlu dilakukan penilaian risiko sektoral untuk mengidentifikasi dan memitigasi risiko secara lebih spesifik,“ jelas Kepala Bappebti, Tirta Karma Senjaya.
Sektor PBK memiliki peran penting dalam perekonomian nasional, tapi di sisi lain juga berisiko terhadap penyalahgunaan praktik pencucian uang maupun pendanaan terorisme. Oleh karena itu, SRA PBK Tahun 2025 disusun sebagai bentuk implementasi nyata dari komitmen Bappebti sebagai bagian dari Pemerintah Indonesia dalam menjaga integritas sistem keuangan dan perdagangan nasional.
“Kami berharap, SRA PBK Tahun 2025 akan memberikan manfaat nyata, memperkuat tata kelola pengawasan, meningkatkan kepatuhan, dan membawa industri PBK menuju arah yang makin sehat, transparan, berintegritas, dan berdaya saing, serta mampu mendukung upaya nasional dalam memerangi TPPU, TPPT, dan PPSPM,” tegas Tirta.
Tirta menjelaskan bahwa SRA TPPU, TPPT dan PPSPM pada sektor PBK tahun 2025 bertujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan memetakan tingkat risiko TPPU, TPPT, dan PPSPM pada sektor PBK melalui empat sisi, yaitu produk, wilayah, profil nasabah, dan saluran pengiriman.
Pedoman yang digunakan dalam penyusunan SRA TPPU, TPPT dan PPSPM pada Sektor PBK Tahun 2025 diadopsi dari international best practices berupa panduan dari International Monetary Fund dan FATF Guidance.
Kepala Biro Pengawasan PBK, Sistem Resi Gudang (SRG), dan Pasar Lelang Komoditas (PLK), Matheus Hendro Purnomo menambahkan, penyusunan SRA PBK tahun 2025 telah melalui serangkaian tahapan yang sistematis, seperti penyusunan kuesioner, pengumpulan data, analisis data, serta pembahasan yang melibatkan berbagai pihak terkait, baik internal Bappebti, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) selaku Financial Intelligence Unit, Bursa Berjangka, Pialang Berjangka, maupun Asosiasi Perdagangan Berjangka Komoditi Indonesia (Aspebtindo).
“Hasil penilaian risiko TPPU di bidang PBK menunjukkan bahwa dari sisi produk, Sistem Perdagangan Alternatif (SPA) untuk produk pertambangan dan energi memiliki tingkat risiko tinggi. Kemudian, dari sisi wilayah, Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur termasuk dalam kategori risiko tinggi. Adapun pejabat lembaga legislatif dan pemerintahan, pengusaha/wiraswasta, serta pegawai swasta merupakan profil yang memiliki tingkat risiko tinggi. Sedangkan Customer Due Diligence (CDD) Standard merupakan saluran distribusi yang memiliki tingkat risiko tinggi,” ungkap Hendro.
Adapun hasil penilaian risiko TPPT, potensi risiko tertinggi terdapat pada produk SPA dan multilateral pertambangan dan energi. Wilayah dengan tingkat risiko tinggi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali.
Dari sisi profil nasabah, pengurus atau pegawai LSM atau organisasi tidak berbadan hukum lainnya, ulama/pendeta/pimpinan organisasi dan kelompok keagamaan, pengusaha/wiraswasta, pengurus dan pegawai yayasan atau lembaga berbadan hukum lainnya termasuk ke dalam kategori risiko tinggi. Adapun CDD Standard merupakan saluran distribusi yang memiliki tingkat risiko tinggi.
Selanjutnya, risiko PPSPM pada sektor PBK secara umum tergolong rendah. Hingga saat ini, tidak ditemukan adanya keterlibatan langsung sektor PBK dalam kegiatan PPSPM. Berdasarkan hasil analisis, tidak terdapat nasabah pada sektor PBK yang berasal dari negara yang termasuk dalam black list FATF seperti Korea Utara dan Iran.
Dalam kesempatan yang lain, Sekretaris Bappebti, Ivan Fithriyanto menjelaskan bahwa Bappebti akan terus berupaya mendorong penguatan industri PBK di Indonesia. Dengan diluncurkannya SRA PBK Tahun 2025 ini, diharapkan seluruh pialang berjangka dapat memperkuat pelaksanaan program APU-PPT dan PPSPM berbasis risiko, serta menggunakan hasil SRA sebagai acuan dalam menentukan profil risiko nasabah dan merancang kebijakan mitigasi risiko yang lebih efektif.
Oleh karena itu, penyusunan SRA PBK Tahun 2025 menjadi salah satu langkah strategis dalam mendorong kepercayaanmasyarakat pada industri ini.
“Integritas pelaku usaha dapat diwujudkan dengan kebijakan yang tepat dalam menyikapi risiko industri. Dengan integritas yang kuat, kepercayaan masyarakat akan meningkat dan diharapkan dapat mendorong peningkatan transaksi PBK di Indonesia,” tutup Ivan.
Sumber: Siaran Pers Kemendag | Editor: Intoniswan
Tag: bappebti