
JAKARTA.NIAGA.ASIA – Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni menegaskan pentingnya perubahan cara berpikir dan pendekatan struktural dalam menjaga hutan Indonesia. Menjaga hutan dengan metode lama namun mengharapkan hasil yang berbeda merupakan kekeliruan mendasar.
“Menjaga hutan dengan baik tapi dari segi metode dan struktur kita lakukan yang lama tapi berharap perubahan. Kita harus berubah, dengan kelapangan hati, saya mengajak bapak ibu sekalian,” ujar Menhut Raja Juli Antoni dalam acara Lokakarya Nasional Gerak Bersama Percepatan Penetapan 1,4 Juta Hektar Hutan Adat, Jakarta Pusat, Rabu (17/12/2025).
Ia menyoroti ketimpangan pengelolaan kawasan hutan, termasuk luasnya kawasan yang tidak sebanding dengan kapasitas pengamanan atau jumlah polisi hutan. Menhut juga menyinggung pengalamannya turun langsung melihat kondisi penebangan di Bentang Seblat, Bengkulu.
“Bagaimana illegal logging bisa kita selesaikan kalau ada 3,5 juta hektare kawasan di Aceh dan kita berharap dijaga oleh polisi hutan yang jumlahnya sangat terbatas,” ungkapnya.
Menhut mencontohkan di Bentang Seblat, yang merupakan areal yang sangat penting bagi konservasi gajah itu jika dikalkulasikan anggaran yang tersedia untuk mengelola kawasan tersebut hanya sembilan juta rupiah, dari itu penting perubahan dalam sektor kehutanan.
“Harus ada perubahan fundamental. Sektor kehutanan itu adalah sektor pilihan istilahnya. kira-kira demikian, nggak dikasih anggaran nggak apa-apa, What do you expect untuk melakukan perbaikan dengan cara yang sama, bagaimana kita ingin ekologi terjaga ekonomi tumbuh seimbang, tapi caranya masih sama. Perusahaan besar lebih mudah diizinkan dibandingkan untuk bapak-bapak sekalian 1,4 juta hektare,” ujarnya.
Dalam acara ini Menhut Raja Antoni menyerahkan SK Menteri Kehutanan penetapan status hutan adat kepada MHA Dayak Punan Uheng Kereho. Menhut menyebut percepatan penetapan hutan adat akan terus dilakukan, komitmen ini juga telah disampaikan dalam COP30.
“Saya senang sekali, saya bahagia, saya sudah umumkan di COP30, perintah presiden kita akan memberikan atau mempercepat pengakuan 1,4 juta hektare masyarakat hukum adat. Sekarang tinggal komitmen kita bersama untuk menjalankannya secara baik dan secepatnya, terimakasih temen-temen NGO, Saya datang ke Kementerian ini, saya coba berusaha belajar cepat. Saya membuka pintu Manggala sebesar besarnya,” pungkasnya.
Acara Lokakarya Nasional ini dihadiri oleh 250 peserta dari berbagai perwakilan Kementerian/Lembaga Negara, 4 Masyarakat Hutan Adat (MHA) dari Kalimantan, 2 MHA dari Sulawesi, 7 MHA dari Maluku & Papua, 5 MHA dari Jawa, dan 3 MHA dari Bali & Nusa Tenggara.
Dalam lokakarya ini, pemerintah juga melakukan konsultasi publik terhadap Rancangan Peta Jalan Percepatan Penetapan Status Hutan Adat untuk memastikan langkah ke depan yang seirama yang inclusive, kolaboratif dengan ritme gerak dan arah yang sama untuk Hutan Adat yang tangguh dan berkelanjutan.
Dalam upaya Percepatan Penetapan Status Hutan Adat, Kementerian Kehutanan telah membentuk Satgas Percepatan Penetapan Hutan Adat Nomor 144 Tahun 2025 yang mengedepankan prinsip inklusi dan kolaborasi lintas sektor.
Satgas ini menargetkan penetapan hutan adat seluas 1,4 juta hektare selama periode 2025–2029. Hingga saat ini, pengakuan hutan adat telah diberikan kepada 169 Masyarakat Hukum Adat dengan luasan ±366.955 hektare, yang memberikan manfaat bagi lebih dari 88.461 kepala keluarga.
Sumber: Siaran Pers Kementerian Kehutanan | Editor: Intoniswan
Tag: Kehutanan