Petani di Kaltim Sebagian Besar Terindikasi Menua dan Tidak Tamat SD

Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji saat panen raya di Mangkurawang, Tenggarong, Kutai Kartanegara. (Foto Istimewa)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Petani yang berada pada usia produktif cenderung memiliki kapasitas kerja yang lebih tinggi sehingga mampu mencapai tingkat produktivitas yang lebih optimal dibandingkan petani pada usia nonproduktif (Hasyim, 2006 dalam Ryan et al., 2018). Meskipun demikian, petani berusia lanjut memiliki keunggulan dari sisi pengalaman, terutama dalam memahami karakteristik lahan dan kondisi lapangan.

”Pada tahun 2024, mayoritas kepala rumah tangga tani di Kalimantan Timur (Kaltim) masih berada dalam kelompok usia produktif, namun mulai terlihat indikasi penuaan petani yang ditunjukkan oleh meningkatnya proporsi petani berusia 60 tahun ke atas,” ungkap Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, Yusniar Juliana dalam laporan ”Analisis Isu Terkini Provinsi Kalimantan Timur 2025” yang dipublish pada 19 Desember 2025.

Menurut BPS Kaltim, dari 205.925 rumah tangga petani, sebanyak 17,03 persen petani di Kaltim termasuk dalam kelompok usia menua, yang merupakan proporsi tertinggi dibandingkan kelompok umur lainnya. Temuan ini sejalan dengan Novia (2011) yang menyatakan bahwa meskipun petani lanjut usia cenderung mengalami keterbatasan dalam aspek pemahaman, mereka memiliki kelebihan dalam mengenali kondisi lahan usaha tani berdasarkan pengalaman yang telah dimiliki.

Kondisi usia petani memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat pendapatan yang diperoleh. Petani berusia di atas 60 tahun umumnya memiliki keterbatasan fisik sehingga lebih cepat mengalami kelelahan dan cenderung menerapkan pola usaha tani yang bersifat konservatif.

Sebaliknya, petani yang berusia lebih muda meskipun relatif kurang dari sisi pengalaman dan keterampilan, biasanya memiliki sikap yang lebih progresif, terbuka terhadap inovasi, serta lebih berani dalam mengambil risiko.

Temuan ini sejalan dengan pendapat Soekartawi (2002) yang menyatakan bahwa petani usia lanjut cenderung berhati-hati dan kurang adaptif terhadap perubahan, sedangkan petani usia muda relatif lebih kuat secara fisik, responsif terhadap inovasi, dan memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam menanggung risiko usaha tani.

Sementara usia berpengaruh terhadap kapasitas fisik, pengalaman, serta sikap petani dalam mengelola usaha tani, pendidikan menjadi faktor pelengkap yang tidak kalah penting. Pendidikan merupakan proses pembelajaran yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kapasitas individu, yang umumnya tercermin dari jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah ditempuh, mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan tinggi.

Sebagain besar tidak tamat SD

Menurut Yusniar, melalui pendidikan, petani memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengolah pengalaman, memahami dinamika lingkungan usaha, serta merespons perkembangan teknologi dan inovasi pertanian.

”Mayoritas pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh petani di Kaltim adalah SD ke bawah sebanyak 52,12 persen. SD ke bawah yang dimaksud termasuk petani yang tidak tamat SD atau petani yang memiliki pendidikan ditamatkan berupa SD sederajat,” katanya.

Selain itu, petani dengan pendidikan tertinggi SMP juga masih tergolong signifikan, yakni sebesar 19,12 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani di Kaltim relatif masih rendah.

Rendahnya proporsi petani yang menamatkan pendidikan minimal hingga SMP mengindikasikan bahwa implementasi kebijakan wajib belajar 9 tahun belum sepenuhnya tercapai pada kelompok ini.

”Sementara itu, petani dengan latar belakang pendidikan perguruan tinggi jumlahnya sangat terbatas, hanya sekitar 2,57 persen, yang mencerminkan masih minimnya akses dan partisipasi petani terhadap pendidikan menengah dan tinggi,” ungkap Yusniar.

Petani dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki cara berpikir yang lebih terbuka terhadap pembaruan, sehingga lebih mudah menerima inovasi dan lebih cepat menguasai penerapan teknologi pertanian.

Kemampuan tersebut memungkinkan pengelolaan usaha tani yang lebih berkembang dan berorientasi pada peningkatan hasil. Hal ini sejalan dengan pandangan Soekartawi (2006) yang menyatakan bahwa pendidikan berperan penting dalam membentuk pola pikir petani dalam menerima serta menerapkan ide dan inovasi baru.

Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin efisien petani dalam bekerja dan semakin rasional dalam pengambilan keputusan usaha tani. Temuan ini juga didukung oleh Novia (2011) yang mengemukakan bahwa petani berpendidikan lebih tinggi lebih mudah memahami berbagai penjelasan, menunjukkan sikap yang lebih positif, serta memiliki kecenderungan bertindak yang lebih baik.

Selain itu, petani dengan pendidikan formal yang lebih tinggi umumnya lebih aktif dalam berdiskusi, menyampaikan pendapat, dan mencari informasi terkait perkembangan di bidang pertanian.

Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan

Tag: