Rakyat Kaltim Perlu Kurangi Makan Nasi?

FOTO ASTRO

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Perlukah rakyat Kalimantan Timur  (Kaltim) mengurangi makan nasi? Dari sisi kesehatan, ekonomi, dan produksi sepertinya memang perlu rakyat Kaltim mengurangi makan nasi. Kalau tetap makan nasi, minimal tidak nambah setiap kali mana.

Dari sisi kesehatan, dapat mengurangi makan nasi, terutama nasi putih, itu bagus sebab, bermanfaat untuk  menurunkan berat badan (karena kalori berkurang), menstabilkan gula darah, meningkatkan energi lebih konsisten, serta mengurangi risiko diabetes dan penyakit jantung.

Seperti anjuran para ahli dan pejabat pemerintah, dari kebiasaan makan nasi, ganti dengan karbohidrat kompleks (beras merah, ubi, kentang, gandum utuh) dan menambah protein serta serat dari sayur/buah agar kenyang lebih lama dan nutrisi tetap terpenuhi, bukan menghilangkan karbohidrat total yang bisa menyebabkan lemas.

Rakyat Kaltim dari sisi produksi beras, juga patut mengurangi makan nasi, karena keterbatasan produksi beras lokal menyebabkan Kaltim hanya mampu memenuhi sekitar 35–40% kebutuhan beras regional, sehingga lebih dari 60% pasokan berasal dari luar pulau.  Ketergantungan ini menciptakan risiko strategis terhadap stabilitas harga dan pasokan, terutama jika terjadi gangguan pada rantai distribusi antar-pulau.

”Pola distribusi menunjukkan ketergantungan kuat pada tiga koridor logistik utama; Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai pemasok terbesar, menyumbang hingga 45% dari total impor luar pulau; Jawa Timur (Jatim) sebagai sumber signifikan; Nusa Tenggara Barat (NTB) yang turut berkontribusi dari wilayah Timur Indonesia,” ungkap Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, Dr. Yusniar Juliana, S.ST, MIDEC dalam publikasi “Analisis Isu Terkini Provinsi Kalimantan Timur 2025” bersikan Potret Petani Kaltim yang dipublikasikan 19 Desember 2025.

Dinas Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kaltim mencatat kebutuhan beras di Kaltim setiap bulannya berkisar antara 29.000 ton sampai 34.000 ton. Kalau bulan-bulan biasa kebutuhan Kaltim akan beras hanya 29.000 ton/bulan, tapi  pada bulan-bulan tertentu, saat ada hari-hari besar keagamaan seperti hari raya Idul Fitri dan lainnya kebutuhan  beras mencapai 34.000 ton.

Uang yang harus dikeluarkan rakyat Kaltim atau ditransfer keluar daerah untuk membeli beras setiap bulannya juga luar biasa besar, yakni sekitar Rp270 miliar untuk 18.000 ton. Kalau untuk kebutuhan setahun, uang untuk membeli beras keluar daerah adalah 12 x Rp270 miliar atau Rp3,240 triliun, atau setara dengan sepertiga PAD Kaltim.

Menurut Yusniar, secara agregat, produksi padi Kaltim menunjukkan tren yang  menggembirakan. Berdasarkan Survei Kerangka Sampel Area (KSA), total produksi beras pada tahun 2024 mencapai 145,21 ribu ton, meningkat 9,99% dibandingkan tahun sebelumnya.

Kenaikan ini mencerminkan efektivitas program budidaya, intensifikasi, dan dukungan teknologi yang diterapkan di tingkat daerah. Capaian ini menjadi modal penting untuk menghadapi lonjakan kebutuhan pangan seiring pembangunan IKN.

Namun, keberhasilan agregat tersebut menutupi fluktuasi kritis di  tingkat regional, khususnya pada zona penyangga utama IKN. Kutai Kartanegara (Kukar), yang selama ini menjadi lumbung pangan strategis, justru mengalami penurunan produksi padi sebesar -7,43% dalam satuan Gabah Kering Giling (GKG) pada 2024.

“Tren ini kontras dengan kinerja relatif stabil di Penajam Paser Utara (PPU) dan Paser, mengindikasikan adanya masalah struktural pada Unit Usaha Pertanian Perorangan (UTP) di wilayah penyangga IKN,” ungkapnya.

Dari sisi ekonomi, meningkatnya konsumsi akan beras memicu inflasi di Kaltim. BPS menyatakan ketergantungan pada beras pasokan beras antar pulau ini bukan hanya isu logistik, tetapi juga berdampak langsung pada dinamika harga beras.

“Data inflasi beras sepanjang 2024 menunjukkan pola yang fluktuatif: lonjakan tajam pada triwulan I diikuti oleh deflasi beruntun pada semester II. Pada tingkat provinsi, inflasi beras mencapai 5,08% pada Maret, setelah meningkat dari 0,54% (Januari) dan 3,63% (Februari),A” kata Yusniar.

Kota besar seperti Samarinda (5,59%) dan Balikpapan (5,63%) mencatat puncak inflasi tertinggi pada Maret, menandakan sensitivitas tinggi terhadap gangguan pasokan di pusat konsumsi. Sebaliknya, wilayah penyangga seperti Penajam Paser Utara (PPU) relatif lebih stabil, meski sempat mengalami kontraksi -1,50% pada April, yang menunjukkan peran penting sebagai buffer pasokan.

Memasuki semester II, tren berbalik menjadi deflasi, dengan titik terendah terjadi pada November (-0,79% di Kaltim dan -1,83% di Balikpapan).

Menurut Yusniar lagi, pola ini mengindikasikan bahwa lonjakan inflasi di awal tahun sangat terkait dengan momentum permintaan musiman dan ketergantungan distribusi antar-pulau, sementara deflasi akhir tahun perlu diwaspadai agar tidak mencerminkan penurunan daya beli petani atau gangguan pasokan lokal.

“Dengan demikian, ketergantungan pasokan antar-pulau bukan sekadar persoalan distribusi, tetapi juga faktor utama yang memengaruhi volatilitas harga beras di Kaltim,” katanya.

Fenomena ini sejalan dengan temuan Karimah Tauhid (2024) yang menegaskan bahwa distribusi beras yang tidak merata dapat menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga di wilayah tertentu, meskipun produksi nasional cukup.

Studi ini menyoroti pentingnya perbaikan mekanisme distribusi untuk memastikan ketahanan pangan yang berkelanjutan, termasuk penerapan teknologi informasi dalam sistem distribusi dan peningkatan koordinasi antar lembaga terkait.

Selain itu, Pratama et al. (2021) melalui pendekatan food miles menunjukkan bahwa karakteristik geografis Indonesia sebagai negara kepulauan menjadikan distribusi beras sebagai faktor kritis dalam menjaga stabilitas harga dan ketahanan pangan.

”Gangguan distribusi antar-pulau dapat memicu lonjakan harga di wilayah defisit, sehingga strategi distribusi berbasis jarak dan ketersediaan menjadi sangat relevan,” kutip Yusniar.

Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan

Tag: