
SAMARINDA.NIAGA.ASIA — Pemerintah daerah baik Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) maupun kota Samarinda terus serius menangani banjir di kota Samarinda.
Wali Kota Samarinda Andi Harun menilai, kunci penanganan bencana yaitu melalui normalisasi Sungai Karang Mumus, Sementara itu Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud menilai bahwa dalam menangani banjir, harus dilakukan pengerukan Sungai Mahakam.
Menanggapi dua sisi pandangan kepala daerah tersebut, pegiat lingkungan Kaltim, Misman, menilai langkah teknis tersebut akan sia-sia jika pemerintah abai terhadap ekosistem yang ada pada daratan meliputi bukit, lembah, rawa dan sebagainya
Menurutnya hal krusial yang diperlukan adalah memperbaiki sisi daratan tersebut serta Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam atau ruang air saat ini.
“DAS Mahakam saat ini menurut data Kementerian PU tercatat 77.423 kilometer persegi,” kata Misman, ditemui Temindung Creative Hub Samarinda, Senin 29 Desember 2025.
Diketahui, untuk batasan Wilayah Sungai (WS) Mahakam sendiri, Sebelah Barat yakni WS Barito dan WS Kapuas, Sebelah Timur WS Karangan dan Selat Makassar, Sebelah Utara WS Kayan, WS Berau Kelai dan Malaysia kemudian Sebelah Selatan yakni WS Kendilo.
Kemudian untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada pada WS Mahakam terdiri dari DAS Mahakam, DAS Donang, DAS Semboja, DAS Ajiraden, DAS Manggar, DAS Somber, DAS Wain, DAS Sanggai, DAS Maridan, DAS Riko, DAS Tunan, dan DAS Telakai yang didominasi oleh DAS Mahakam dengan luas 77 ribu km².
Wilayah yang masuk dalam DAS Mahakam sendiri yakni Samarinda, Mahakam Ulu, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Penajam Paser Utara, Paser dan Malinau.
Untuk itu, perlu diketahui dulu bagaimana kondisi daya dukung dan daya tampung lingkungan DAS Mahakam saat ini. Peruntukan DAS sendiri terdiri dari rumah tangga, perkotaan dan industri. Kemudian pertanian dan perkebunan, perikanan dan perkebunan, perhutanan,
“Kami meminta forum DAS, Gubernur Kaltim atau Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) di cek apakah 77.423 km² DAS Mahakam ini masih utuh atau tidak. Kalau itu masih tidak utuh, buat apa di keruk?” kata Misman.
Misman juga menyoroti alih fungsi lahan masif di sepanjang WS Mahakam. Menurutnya, dominasi perkebunan monokultur seperti sawit, aktivitas tambang, dan Hutan Tanaman Industri (HTI) telah merusak daya dukung lingkungan terhadap kemampuan serapan air.
“Kalau daratannya belum diperbaiki, sementara dilakukan pengerukan misalnya hari ini, lalu pada saat yang sama turun hujan maka akan kembali lagi seperti semula, maka perlu simultan keruk juga sungainya, tapi daratan juga diperbaiki,” terang Misman.
Sementara itu, terkait normalisasi Sungai Karang Mumus, Misman menilai pembangunan drainase dan pembersihan sungai hanyalah langkah penanggulangan. Untuk pencegahan, pemerintah harus berani mengintervensi pembukaan lahan di wilayah hulu yang kini banyak berubah menjadi perumahan dan perkebunan.
Secara konkret, dia menyarankan pemerintah untuk mulai mengamankan sisa-sisa lahan kritis sebelum jatuh ke tangan pengembang.
“Saran saya kalau pemerintah mau menyelamatkan lingkungan di Samarinda belilah bukit, lembah, rawa yang tersisa kalau mau menyelamatkan lingkungan,” sebut Misman.
Selain DAS, normalisasi hulu Sungai Karang Mumus (SKM) juga diperlukan selain pembuatan drainase, parit, dan pembersihan SKM sebagai bentuk penanggulangannya.
“Karena pencegahan di hulunya itu perlu diperhatikan terkait pembukaan lahan. Banyak daerah kawasan diubah menjadi perkebunan sawit, perumahan, kebun dan lainnya,” jelas Misman.
Terakhir, Misman mengingatkan bahwa ketika rawa diuruk untuk pembangunan, pemerintah harus bertanggung jawab memikirkan ke mana limpahan air akan dibuang. Tanpa adanya kompensasi ekologi yang sepadan, Samarinda diprediksi akan terus bergelut dengan masalah banjir yang tak kunjung usai.
“Jangan hanya memikirkan kompensasi ekonomi, tapi kompensasi ekologi juga perlu mendapat perhatian,” demikian Misman.
Penulis: Nur Asih Damayanti | Editor: Saud Rosadi
Tag: BanjirBanjir SamarindaMismanSungai Karang Mumus