
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Dini hari sekitar pukul 03.40 WITA pada tanggal 17 Desember 2025, Kota Samarinda masih terlelap ketika Guswantri membawa putranya, Alvaro, masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Hermina Samarinda.
Wajah anaknya pucat, tubuhnya pun lemas, sesekali meringis menahan sakit kepala hebat yang disertai mual dan muntah sejak tengah malam. Harapan Guswantri sederhana, hanya agar anaknya segera ditangani.
Namun yang ia dapatkan justru penjelasan bahwa kondisi Alvaro dinilai belum masuk kategori gawat darurat dan tidak bisa dilayani menggunakan BPJS Kesehatan.
Keluhan Alvaro ini sebenarnya sudah muncul sejak pukul 23.15 Wita. Awalnya, sakit kepala itu tidak disampaikan secara jelas. Guswantri bahkan masih sempat mengajak anaknya itu untuk beristirahat.
Tetapi kondisinya justru memburuk, Alvaro tidak bisa tidur. Sakit kepala semakin hebat, disertai mual hingga muntah berulang kali.
Sekitar pukul 03.00 Wita, anak laki-laki berusia 15 tahun tersebut terbangun sambil menangis kesakitan dan membangunkan ibunya. Panik dan khawatir, Guswantri memutuskan untuk membawa anaknya ke rumah sakit terdekat.
“Jam tiga pagi anak saya muntah-muntah dan sakit kepala hebat. Kelihatan sangat tidak nyaman dan kesakitan. Saya pikir ke rumah sakit pasti bisa langsung ditangani,” ujarnya, Rabu (24/12/2025).
Namun setibanya di RS Hermina Samarinda, Guswantri mengaku justru diarahkan untuk membawa Alvaro ke fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas atau dokter praktik.
Pihak rumah sakit menilai keluhan muntah dan sakit kepala hebat yang dialami Alvaro belum memenuhi kriteria kegawatdaruratan versi BPJS Kesehatan.
“Mereka bilang belum darurat, jadi BPJS tidak bisa dipakai. Katanya kalau mau ditangani bisa lewat jalur umum atau reguler,” katanya.
Penjelasan tersebut membuat Guswantri keberatan. Ia bahkan sempat meminta surat pernyataan tertulis soal penolakan pelayanan BPJS yang dialaminya, untuk dijadikan bahan evaluasi dan pengaduan. Namun permintaan itu tidak dikabulkan.
“Saya minta surat pernyataan supaya jelas alasan mereka menolak dan bisa saya jadikan bahan evaluasi. Tapi pihak rumah sakit tidak mau memberikan,” jelasnya.
Menurutnya, pihak rumah sakit Hermina hanya berdalih bahwa kebijakan tersebut merupakan aturan nasional yang diterapkan di seluruh rumah sakit.
Ia menegaskan persoalan ini bukan soal biaya, karena dirinya mampu jika harus membayar secara reguler. Namun ia khawatir jika kondisi serupa dialami masyarakat yang tidak memiliki kemampuan finansial.
“Ini kan kasihan kalau yang mengalami justru masyarakat yang tidak siap untuk jalur reguler. Masa harus menahan sakit sampai pagi supaya bisa ke puskesmas,” tuturnya.
Untuk menguji pernyataan tersebut, Guswantri kemudian membawa Alvaro ke Rumah Sakit Korpri Samarinda pada waktu yang sama, tanpa ada penanganan apa pun sebelumnya.
Hasilnya berbanding terbalik. Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Korpri Samarinda, atau sekarang disebut sebagai RSUD Salehudin Aji Muhammad Salehuddin (AMS) II, Alvaro pun justru diterima dan langsung mendapatkan penanganan medis menggunakan BPJS.
Setelah pemeriksaan, dokter menyatakan Alvaro mengalami sakit maag yang memicu keluhan sakit kepala, mual, dan muntah.
“Di RS Korpri langsung ditangani, tidak ada perdebatan soal darurat atau tidak. Pakai BPJS juga tetap dilayani,” terangnya.
Klarifikasi RS Hermina
Menanggapi persoalan tersebut pada Senin sore (29/12/2025), Manager Pelayanan Medis RS Hermina Samarinda, Muhammad Fauzan Riffany, memberikan penjelasan resmi terkait mekanisme pelayanan BPJS Kesehatan di Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Pada prinsipnya pihak rumah sakit terbuka terhadap klarifikasi. Namun, ia menyampaikan bahwa rekam medis pasien tidak dapat dibuka secara bebas kepada publik, kecuali kepada pihak keluarga pasien yang bersangkutan.
“Rekam medis itu tidak bisa kami buka untuk semua orang, kecuali dari keluarga pasien. Itu poin pertama,” ungkapnya.
Ia kemudian menjelaskan bahwa kebijakan pelayanan BPJS Kesehatan di IGD bukan kebijakan internal RS Hermina Samarinda semata, melainkan mengacu pada regulasi nasional yang berlaku di seluruh Indonesia.
Salah satunya adalah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang mengatur diagnosa dan kriteria kegawatdaruratan.
“Untuk 144 diagnosa yang bisa ditanggung BPJS Kesehatan itu sudah diatur dalam Permenkes. Itu bisa dicek, dan di IGD kami juga sudah ada papan informasi yang mencantumkan hal tersebut,” paparnya.
Berdasarkan hasil wawancara internal dengan dokter jaga, Fauzan pun menyebutkan bahwa kondisi Alvaro saat diperiksa, sudah melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, dinilai tidak masuk kategori gawat darurat.
“Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, arahnya itu memang tidak ke gawat darurat. Secara regulasi, kondisi seperti itu tidak bisa di-cover oleh BPJS di IGD, tetapi ditangani di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP),” imbuhnya.
Kebijakan tersebut bukanlah hal baru dan sudah lama diterapkan. RS Hermina, lanjut Fauzan, hanya menjalankan sistem triase kegawatdaruratan sesuai ketentuan yang berlaku.
Fauzan kemudian merujuk pada Permenkes Nomor 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan serta Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2018 Pasal 6 Ayat 2, yang mengatur lima kriteria kondisi gawat darurat.
Kelima kriteria tersebut meliputi, kondisi yang mengancam nyawa atau membahayakan diri, orang lain, atau lingkungan. Kedua, gangguan pada jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiga, penurunan kesadaran. Lalu keempat, gangguan hemodinamik. Kelima, kondisi yang memerlukan tindakan medis segera.
“Dari lima indikator tersebut, pasien ini tidak masuk kriteria gawat darurat. Diagnosanya juga termasuk ke dalam 144 penyakit yang wajib dilayani di FKTP dan tidak bisa dirujuk ke IGD rumah sakit,” ulasnya.
Terkait perbedaan penanganan antara RS Hermina dan RSUD Korpri Samarinda, Fauzan menilai perlu ada klarifikasi lebih lanjut dari BPJS Kesehatan agar informasi yang diterima publik menjadi berimbang.
“Saya berharap ada konfirmasi juga dari BPJS Kesehatan. Supaya ini berimbang, karena kami ini kan di sisi fasilitas kesehatannya, sementara BPJS sebagai verifikatornya,” harapnya.
Soal kondisi pasien yang datang dini hari ketika fasilitas kesehatan tingkat pertama belum buka, Fauzan mengatakan pihaknya telah menanyakan hal tersebut kepada BPJS Kesehatan. Namun, menurutnya, BPJS tidak memberikan pengecualian waktu layanan sebagai dasar kegawatdaruratan.
“Faktanya, di banyak daerah sudah ada faskes yang buka 24 jam. BPJS bisa dipakai di klinik atau faskes mana pun yang buka 24 jam, tidak harus faskes terdaftar tertentu,” bebernya.
Ia mencontohkan klinik di kawasan Islamic Center Samarinda yang beroperasi selama 24 jam dan dapat melayani pasien BPJS.
“Selama masuk kriteria, jadi itu dikecualikan, memang rujukannya ke faskes tingkat satu. Itu sesuai regulasi,” katanya.
Saat disinggung terkait perbedaan perlakuan antara rumah sakit swasta dan rumah sakit daerah, Fauzan menegaskan bahwa tidak ada pembedaan perlakuan berdasarkan status rumah sakit.
“Aturannya sama. Ini bukan karena rumah sakit swasta atau rumah sakit daerah. Kami hanya menjalankan regulasi yang ada,” tegasnya.
Ia juga meluruskan anggapan bahwa pasien tidak mendapatkan penanganan sama sekali di IGD. Menurutnya, proses pemeriksaan fisik dan triase sudah termasuk dalam bentuk penanganan medis.
“Penanganan itu tidak selalu berarti tindakan medis lanjutan. Pemeriksaan fisik dan triase juga bagian dari penanganan. Dari situlah ditentukan apakah pasien masuk gawat darurat atau tidak,” jelasnya.
Ia membenarkan juga bahwa di RS Hermina Samarinda tidak terdapat petugas dari BPJS Kesehatan yang berjaga langsung di lokasi. Namun, rumah sakit memiliki petugas JKN internal sebagai perpanjangan tangan dalam pelayanan administrasi BPJS.
“Petugas BPJS tidak stay di rumah sakit, tapi kami punya petugas JKN dari internal rumah sakit untuk membantu pelayanan,” lanjutnya.
Pandangan BPJS Kesehatan
Ditemui wartawan Niaga.Asia pada Selasa siang (30/12/2025), Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Umum dan Komunikasi (SDMUK) BPJS Kesehatan Samarinda, Samiaji angkat bicara.
Ia mengaku sudah melakukan koordinasi awal dengan rumah sakit Hermina guna mencegah terjadinya miskomunikasi informasi di tengah masyarakat.

Diterangkannya, mekanisme pelayanan yang dijaminkan BPJS Kesehatan sepenuhnya mengacu pada regulasi pemerintah, bukan kebijakan internal BPJS semata.
“Perlu kami garis bawahi, untuk pelayanan itu rules-nya sebenarnya bukan BPJS. BPJS kan posisinya dalam JKN ini sebagai operator. Regulatornya adalah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan,” ujarnya.
Lalu terkait penentuan kegawatdaruratan, ia menegaskan bahwa dasar hukumnya jelas tertuang dalam Permenkes. BPJS Kesehatan, kata dia, tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apakah suatu kondisi masuk kategori gawat darurat atau tidak.
“Yang menentukan kondisi gawat darurat itu adalah dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) di IGD. Karena dokterlah yang punya kompetensi untuk menilai apakah kondisi tersebut emergensi atau tidak,” jelasnya.
Dia kembali menegaskan bahwa layanan di IGD memang diperuntukkan bagi kondisi-kondisi emergensi. Apabila memang hasil assesmen medis menyatakan pasien tidak masuk dalam kategori gawat darurat, maka pelayanan itu tidak dijaminkan oleh BPJS.
“Kita harus satu frekuensi dulu, pelayanan yang bukan gawat darurat memang bukan menjadi pelayanan yang dijaminkan oleh BPJS Kesehatan. Aturannya sudah jelas,” katanya.
Disinggung soal perbedaan penanganan antara RS Hermina Samarinda dan RSUD AMS Samarinda, ia menyatakan hal itu masih perlu ditelusuri lebih lanjut secara administratif dan medis.
“Kalau ketentuannya A, maka baik rumah sakit A maupun rumah sakit B seharusnya sama. Tapi kita belum tahu apakah pelayanan di RS Korpri itu nantinya ditagihkan ke BPJS atau tidak,” terangnya.
Dijelaskannya, pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit sebenarnya belum tentu semua itu dijaminkan BPJS. Apabila secara rekam medis dan indikasi dinyatakan bukan gawat darurat, maka klaim tersebut tidak akan dibayarkan oleh BPJS Kesehatan.
“Bisa saja rumah sakit Korpri melayani dengan pertimbangan kemanusiaan kan, tapi tidak ditagihkan ke BPJS. Itu mungkin saja terjadi. Tapi kami belum tahu kondisi di RS Korpri seperti apa,” paparnya.
Senada dengan itu, Staf Claim Advisor BPJS Kesehatan Samarinda, Bambang Sutedjo, menambahkan bahwa masyarakat masih banyak yang belum memahami fungsi IGD sebagai layanan khusus kondisi emergensi.
“Di masyarakat itu seringnya sedikit-sedikit ke IGD. Padahal IGD itu khusus untuk kondisi gawat darurat sesuai kriteria yang sudah diatur,” tuturnya.

Diterangkannya, bahwa setiap pasien yang datang ke IGD pada prinsipnya tetap melalui proses pemeriksaan dan observasi awal. Dokter jaga akan melakukan asesmen untuk menentukan apakah kondisi itu memenuhi kriteria kegawatdaruratan.
“Tidak mungkin pasien datang langsung ditolak. Pasti dicek dulu. Kalau setelah dicek ternyata tidak masuk kategori gawat darurat, maka diedukasi untuk kembali ke FKTP,” imbuhnya.
Regulasi yang ada saat ini tegas Bambang, memang belum mengatur pengecualian layanan BPJS ketika FKTP tutup di luar jam operasional.
“Di regulasi itu tidak ada aturan kalau FKTP tutup maka otomatis IGD harus melayani sebagai BPJS. Itu memang belum diatur,” bebernya.
Apabila pasien memilih berpindah ke rumah sakit lain, maka asesmen kegawatdaruratan akan kembali ditentukan oleh dokter jaga di rumah sakit tersebut.
“Bisa saja ada perbedaan penilaian dokter. Bisa juga rumah sakit melayani walaupun nantinya tidak ditagihkan ke BPJS. Itu kan kewenangan rumah sakit,” katanya.
Untuk memastikan kebenaran penilaian medis, Bambang menilai perlu dilakukan perbandingan rekam medis dan resume asesmen antara rumah sakit bersangkutan.
“Kalau mau benar-benar tahu, ya harus lihat resume medis dari masing-masing rumah sakit. Kita tidak bisa menilai dari luar,” tegasnya.
Kemudian soal penggunaan BPJS Kesehatan lintas FKTP, Bambang menjelaskan bahwa untuk layanan non-emergensi, peserta wajib mengakses layanan sesuai FKTP yang tertera di kartu BPJS.
Pengecualian diberikan bagi peserta yang sedang berada di luar daerah domisili, dengan batas maksimal tiga kali kunjungan dalam sebulan.
“Kalau emergency, boleh langsung ke rumah sakit mana pun. Tapi kalau tidak emergency, ya sebaiknya kembali ke FKTP,” ungkapnya.
Menutup penjelasannya, ia turut menekankan bahwa dalam kondisi darurat, penilaian medis sepenuhnya dipercayakan kepada dokter yang menangani pasien.
“Kita pahami kondisi saat itu panik, apalagi menyangkut keluarga sendiri. Tapi penentuan emergency atau tidak, itu kita percayakan ke dokter, karena itu kompetensinya,” pungkasnya.
Ia menegaskan, jika suatu kondisi dinyatakan tidak masuk kategori gawat darurat, maka pilihan pasien adalah menunggu FKTP buka atau menggunakan jalur umum, sesuai ketentuan yang berlaku saat ini.
“Tinggal tunggu FKTP-nya buka sambil koordinasi,” tutupnya.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan
Tag: BPJS-KesehatanKesehatan