Aan Eko Widiarto, Saksi Ahli Dibalik Penggugat UU Cipta Kerja

Dr Aan Eko Widiarto, SH., M.Hum, Dosen Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang. (Foto Istimewa)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Dr. Aan Eko Widiarto, SH., M.Hum adalah salah satu saksi ahli dari pemohon (penggugat) UU Cipta Kerja yang  berperan penting lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dalam putusan, Kamis (25/11/2021) UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945.

Berdasarkan data yang dikumpulkan Niaga.Asia melalui google search, Aan adalah  Dosen Tetap Aktif  Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya (Unbraw) Malang, Jawa Timur. Aan menamatkan pendidikan S-1 Hukum di Unbraw tahun 1999, kemudian menyelesaikan studi S-2 tahun 2004. Aan  menyelesaikan S-3 Hukum di Universitas Padjajaran Bandung Tahun 2017.

Selain dikenal Pakar Hukum Tata Negara, Aan juga memahami dengan baik  Hukum Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Hukum Pemerintahan Daerah, Ilmu Negara, dan Hukum Acara Peradilan Konstitusi, Hukum Hak Asasi Manusia.

Dalam kesaksiannya sebagai ahli dalam sidang MK tanggal 12 Agustus 2021, Aan menempatkan MK diawal kesaksiannya berhak melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja dengan mengutip Putusan MK dalam Perkara Nomor  27/PUU-VII/2009, Perkara Nomor 92/PUU-X/2012, dan Perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019

Dengan demikian, lanjut Aan, cakupan pengujian formil yang dapat dilakukan MK atas UU Cipta Kerja meliputi; pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang (UU), baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu UU menjadi UU; pengujian atas bentuk, format, atau struktur UU; pengujian berkenaan dengan kewenangan lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan UU; dan pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.

“Pengujian formil yang merupakan pengujian atas suatu produk hukum yang didasarkan atas proses pembentukan UU. Pengujian formil akan “menjamin” dan “memastikan” perlindungan warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan negara dalam pembentukan UU dan peraturan perundang-undangan lainnya,” kata Aan.

Dr Aan Eko Widiarto, SH., M.Hum saat memberikan keterangan sebagai ahli di sidang MK, 12 Agustus 2021. (Tangkapan layar MK)

Menurut Aan, pembentukan UU diharuskan disertai dengan Nakah Akademik. Konsekuensinya adalah, sepanjang suatu RUU tak disertai dengan Naskah Akademik, maka RUU itu tidak bisa dilanjutkan pembahasannya, apa lagi disahkan menjadi UU.

“Suatu Naskah Akademik yang dibuat setelah RUU disampaikan untuk dibahas tidak dapat dibenarkan atau disebut inknstitusuional,” tegasnya.

Tahapan-tahapan pembentukan UU juga tidak dapat dibolak-balik, atau dihilangkan jenjangnya. Tahapan itu, kata Aan lagi,  berurutan/berjenjangnya, perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. UU Cipta Kerja tidak dibuat sesuai tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3)

Pembentukan UU Cipta Kerja juga tidak sesuai dengan yang diatur Pasal 96 UU 12/2011 yang memerintahkan pembentuk UU untuk menjamin partisipasiwarga negara dalam memberikan pengaturan.

“Masyarakat berhal memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ungkapnya

Aan juga menegaskan, UU Cipta Kerja tidak tepat dikatakan sebagai UU, karena bentuk, format, dan strukturnya tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Lampiran II UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

UU Cipta Kerja juga tidak tepat disebut sebagai peraturan pengganti UU, bukan UU Perubahan sebagimana diatur dalam UU 12/2011. Namun demikian dalam Batang Tubuh, bentuk formatnya adalah UU Perubahan.

“UU Cipta Kerja yang bentuknya “campuran” tidak memenuhi Bentuk, Format, atau Struktur UU sebagimana ditentukan Peraturan Pembentukan Perundang-undangan sehingga inkonstitusional,” kata Aan.

Ahli juga berpendapat, UU Cipta Kerja juga bukan termasuk peranturan pengganti UU atau tepatnya bukan termasuk jenis Perpu. Perpu adalah peraturan perundang-undagan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

UU Cipta Kerja tidak ditetapkan Presiden, namun disahkan Presiden setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPR.

“Tapi prosesnya tak sesuai UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” pungkasnya

Penulis : Intoniswan | Editor : Intoniswan       

Tag: