Aktivitas Gunung Anak Krakatau Sebelum Tsunami

AA
Foto gunung Anak Krakatau yang difoto oleh fotografer Oystein Lund Andersen pada hari Sabtu (22/12) (Hak atas foto Oystein Lund Andersen Image caption)

BANDUNG.NIAGA.ASIA- Lontaran material letusan sebagian besar jatuh di sekitar tubuh G. Anak Krakatau atau kurang dari 1 km dari kawah, tetapi sejak tanggal 23 Juli teramati lontaran material pijar yang jatuh di sekitar pantai, sehingga radius bahaya G. Krakatau diperluas dari 1km menjadi 2 km dari kawah.

Aktivitas terkini, tanggal 22 Desember, seperti biasa hari-hari sebelumnya, G. Anak Krakatau terjadi letusan. Secara visual, teramati letusan dengan tinggi asap berkisar 300 – 1500 meter di atas puncak kawah. Secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm).

Hal tersebut dikatakan Kabid Mitigasi Gunung Api PVMBG, Wawan Irawan didampingi Kasubid Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat, Kristianto dan Kasubid Mitigasi Gempa Bumi & Tsunami, Ahmad Solihin di Bandung, Minggu (23/12).

“Tanggal 22 Desember, pada pukul 21.03 WIB terjadi letusan, selang beberapa lama ada info tsunami,” ungkap Wawan.  Pertanyaannya apakah tsunami tersebut ada kaitannya dengan aktivitas letusan, hal ini masih didalami, karena ada beberapa alasan untuk bisa menimbulkan tsunami :

  1. Saat rekaman getaran tremor tertinggi yang selama ini terjadi sejak bulan Juni 2018 tidak menimbulkan gelombang terhadap air laut bahkan hingga tsunami.
  2. Material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunungapi masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu.
  3. Untuk menimbulkan tsunami sebesar itu perlu ada runtuhan yg cukup masive (besar) yang masuk ke dalam kolom air laut.
  4. Dan untuk merontokan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar, ini tidak terdeksi oleh seismograph di pos pengamatan gunungapi.
  5. Masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunungapi dengan tsunami.

Menurut Wawan, Potensi Bencana Erupsi G. Krakatau, Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) menunjukkan hampir seluruh tubuh G. Anak Krakatau yang berdiameter kurang lebih 2 Km merupakan kawasan rawan bencana. Berdasarkan data-data visual dan instrumental potensi bahaya dari aktifitas G. Anak Krakatau saat ini adalah lontaran material pijar dalam radius 2 km dari pusat erupsi. Sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin.

“Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental hingga tanggal 23 Desember 2018, tingkat aktivitas G. Anak Krakatau masih tetap Level II (Waspada). Sehubungan dengan status Level II (Waspada) tersebut, direkomendasikan kepada masyarakat tidak diperbolehkan mendekati G. Krakatau dalam radius 2 km dari Kawah,” katanya menjelaskan

Masyarakat di wilayah pantai Provinsi Banten dan Lampung harap tenang dan jangan mempercayai isu-isu tentang erupsi G. Anak Krakatau yang akan menyebabkan tsunami, serta dapat melakukan kegiatan seperti biasa dengan senantiasa mengikuti arahan BPBD setempat.

Gunungapi Anak Krakatau terletak di Selat Sunda adalah gunungapi strato tipe A dan merupakan gunungapi muda yang muncul dalam kaldera, pasca erupsi paroksimal tahun 1883 dari kompleks vulkanik Krakatau. Aktivitas erupsi pasca pembentukan dimulai sejak tahun 1927, pada saat tubuh gunungapi masih di bawah permukaan laut. Tubuh Anak Krakatau muncul ke permukaan laut sejak tahun 1929.

Sejak saat itu dan hingga kini G. Anak Krakatau berada dalam fasa konstruksi (membangun tubuhnya hingga besar). Saat ini G. Anak Krakatau mempunyai elevasi tertinggi 338 meter dari muka laut (pengukuran September 2018). Karakter letusannya adalah erupsi magmatik yang berupa erupsi ekplosif lemah (strombolian) dan erupsi epusif berupa aliran lava.

Pada tahun2016 letusan terjadi pada 20 Juni 2016, sedangkan pada tahun 2017 letusan terjadi pada tanggal 19 Februari 2017 berupa letusan strombolian. Tahun 2018, kembali meletus sejak tanggal 29 Juni 2018 sampai saat ini berupa letusan strombolian.

Letusan pada tahun 2018, precursor letusan 2018 diawali dengan munculnya gempa tremor dan penigkatan jumlah gempa Hembusan dan Low Frekuensi pada tanggal 18-19 Juni 2018. Jumlah Gempa Hembusan terus meningkat dan akhirnya pada tanggal 29 Juni 2018 G. Anak Krakatau meletus. (*)