Aktivitas Pertambangan di Indonesia Sinergi dengan Perlindungan Lingkungan

AA
Ilustrasi: Lokasi tambang batubara yang menimbun 2 pekerja di Samarinda, Minggu (1/7/2020). (foto : istimewa)

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Pemerintah menegaskan pelaksanaan pertambangan di Indonesia sejalan dengan perlindungan lingkungan hidup. Hal ini dapat ditunjukan dengan adanya aturan reklamasi sebagai syarat perizinan pengopasian.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Sujatmiko, mengungkapkan aturan perbaikan atau penataan ulang fungsi lahan bekas tambang sudah ada sejak penambangan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia.

“Tambang kita ini sesungguhnya sejak awal dibangun 1967 sudah sangat perhatian kepada reklamasi atau pengelolaan lingkungan,” kata Sujatmiko pada acara Webinar ‘Kontribusi Alumni IPB di Tambang: Dari Reklamasi hingga Pengelolaan Lingkungan dan Sosial di Jakarta, Sabtu (10/7).

Selanjutnya, norma pengaturan lingkungan pertambangan ini berevolusi mengatur tentang sanksi administratif dan pidana melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 No.78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang dan produk turunan hukumnya pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Aturan terkini dipertegas dalam UU No 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Kalau dulu pelaku usaha tambang tidak patuh tidak ada sanksi pidana. Sejak tahun 2020 bagi mereka yang tidak mereklamasi di samping denda dan pencabutan izin juga dapat dikenakan sanksi pidana,” jelas Sujatmiko.

Menurut Sujatmiko, prinsip dasar reklamasi selalu terintergrasi pada semua tahap pertambangan dari eksplorasi sampai pascatambang. “Reklamasi tidak mungkin lepas dari perencanaan pertambang. Setiap pertambangan tidak memiliki perencanaan reklamasi yang terintegrasi pemerintah, Direktorat Jenderal Minerba tidak akan mengeluarkan izin untuk beroperasi,” tegasnya.

Dalam paparan Sujatmiko, pelaksanaan reklamasi harus dilakukan sesuai komitemen dalam dokumen lingkungan yang penyusunannya melibatkan para pemangku kepentingan.

Nantinya, reklamasi dilakukan pada area terganggu meliputi lahan bekas eksplorasio, lahan bekas tambang, lahan bekas timbunan, dan lahan bekas fasilitas penunjang. Termasuk di dalamnya kegiatan pengeloaan air tambang (limpasan permukaan dan limbah) khususnya pengendalian erosi dan sedimentasi.

Sujatmiko tak menampik selama kegiatan operasi produksi pertambangan terdapat lahan yang terganggu. Namun seiring adanya reklamasi akan mengurai permasalahan tersebut. “Tutupan vegatasi setelah pascatambang lebih baik dari sebelum tambang,” tambahnya.

Dari 10,83 juta hektar wilayah tambang di Indonesia yang memperoleh izin usaha, pemerintah hanya 248,6 ribu hektar yang dibuka untuk kegiatan pertambangan. “Lahan yang dibuka untuk operasional tambang hanya 2,2% dari total wilayah yang mendapatkan izin dan sepertiganya sudah direklamasi,” urai Sujatmiko.

Beberapa contoh keberhasilan reklamasi adalah pemanfaatan area bekas tambang (void) di PT Timah yang dijadikan sebagai wisata agro-edutourism melalui kampoeng reklamasi air jangkang. Adapula peruntukan revegetasi yang dilakukan oleh PT Newmont Minahasa menjadi kebun raya. “Bahkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) mensahkan sebagai hutan yang jauh lebih baik dibanding sebelum ditambang,” pungkas Sujatmiko.

Sumber : Humas Kementerian ESDM | Editor : Intoniswan

Tag: