Anak dari Keluarga Pengikut Yehuwa Tiga Tahun Berturut-turut Tidak Naik Kelas di SDN 051 Tarakan

Gedung SDN 051 Tarakan (Foto : istimewa/Niaga Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Sekolah Dasar Negeri (SDN) 051 kota Tarakan, Kalimantan Utara, membantah telah memberhentikan tiga pelajar kakak beradik dan tidak naik kelas selama 3 tahun sejak tahun 2018-2020.

“Tidak ada pemberhentian pelajar. Ketiga anak itu masih aktif bersekolah dan pelayanan yang diberikan tidak berbeda dengan lainnya,” kata Kepsek SDN 051 Tarakan, FX Hasto Budi Santoso kepada Niaga Asia, Senin (22/11).

Ketiga anak di SDN 051 Tarakan, viral setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim, dalam keterangannya menyatakan 3 dosa besar di pendidikan yang ingin dihapus yaitu kekerasan, kekerasan seksual dan intoleransi.

Membahas intoleransi, Hasto membenarkan bahwa tiga siswa kakak beradik yang gagal 3 tahun berturut-turut naik kelas dipengaruhi beberapa hal. Salah satunya adalah rendahnya nilai mata pelajaran agama dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN).

“Mereka penganut paham Saksi Yehuwa, dan menurut risalah sekolah, anak-anak ini tidak mau menghormati bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya,” sebutnya.

Meski menganut Saksi Yehuwa, pihak sekolah mengklaim tidak pernah bersikap intoleransi terhadap ketiganya.

Begitu pula pergaulan dengan guru-guru dan siswa-siswi lainnya tetap berjalan normal. Tidak pernah ada bully kepada anak di sekolah, bahkan orang tuanya ketiga siswa sangat ramah dengan pelajar ataupun guru.

Namun akibat tidak lengkapnya tugas sekolah dan sering tidak ikut belajar di kelas, siswa bersangkutan terpaksa tinggal kelas.

“Kalau ketemu di jalan pasti anak-anak itu menyapa pagi Pak, begitu pula orang tuanya baik-baik saja. Tidak ada masalah kok,” ucapnya.

Menolak hormat kepada bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya adalah keyakinan yang menurutnya harus ditaati. Pihak sekolah tidak berhak melarang dan memaksa seseorang merubah apa yang bertentangan dengan agamanya.

Sekolah pernah memberikan pembinaan dengan cara membuka pola wawasan berpikirnya. Namun upaya ini gagal karena persoalan aqidah dan kepercayaan adalah hak setiap manusia yang tidak dapat dilarang.

“Ada tiga mata pelajaran yang nilainya harus bagus yaitu bahasa Indonesia, agama dan PPKN. Mungkin ada nilai rendah sehingga tidak memenuhi syarat naik kelas,” tuturnya.

Dikatakan Hasto, ketiga siswa – siswi masih tercatat sebagai pelajar SDN 051 kelas II usia 11 tahun, Kelas IV usia 13 tahun dan kelas V usia 15 tahun. Di sekolah tidak berlaku intoleransi dan diskriminasi kepada anak.

Saat ini lanjut dia, sekolah sedang melakukan pendekatan personal untuk bagaimana menyelamatkan anak-anak dan menawarkan solusi yang baik untuk anak maupun pihak sekolah.

“Kasus-kasus semacam ini tidak boleh hanya mendengarkan satu pihak, harus fokus kita menyelamatkan anak bukan fokus ke persoalan hukumnya,” terangnya.

Hasto menambahkan, pihak keluarga siswa melaporkan permasalahan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan dalam pemeriksaan didampingi Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DPPPAKB).

“Menurut pengakuan teman-teman guru waktu masih belajar tatap muka, ketiga anak berjalan normal baik-baik saja dan itu diperkuat oleh psikolog DPPPAKB,” tutupnya.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Intoniswan

 

Tag: