Atasi Krisis Ekonomi Terburuk, Sri Lanka Perlu USD 5 Miliar

Ranil Wickremesinghe, perdana menteri yang baru diangkat tiba di sebuah kuil Buddha setelah upacara pengambilan sumpah di tengah krisis ekonomi negara itu, di Kolombo, Sri Lanka, 12 Mei 2022. (REUTERS/Dinuka Liyanawatte)

KOLOMBO.NIAGA.ASIA — Sri Lanka akan membutuhkan USD 5 miliar selama enam bulan ke depan untuk memastikan standar hidup dasar, dan sedang menegosiasikan kembali persyaratan pertukaran mata uang yuan senilai USD 1,5 miliar dengan China untuk mendanai impor penting.

Krisis ekonomi di negara itu menjadi yang terburuk dalam tujuh dekade, sehingga mengakibatkan kekurangan devisa yang berdampak pada terhentinya impor barang-barang penting seperti bahan bakar, obat-obatan dan pupuk.

Kondisi itu mengakibatkan aksi demonstrasi di jalanan hingga pergantian pemerintahan.

Untuk mengatasi gejolak itu, Sri Lanka akan membutuhkan sekitar USD 3,3 miliar untuk impor bahan bakar, USD 900 juta untuk makanan, USD 250 juta untuk gas keperluan memasak dan USD 600 juta lebih untuk pupuk tahun ini, kata Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe kepada parlemen, seperti dikutip niaga.asia dari REUTERS, Selasa.

Wickremesinghe menerangkan bank sentral memperkirakan ekonomi akan berkontraksi sebesar 3,5% pada tahun 2022.

Dia menambahkan bahwa ia juga yakin pertumbuhan dapat kembali dengan paket reformasi yang kuat, restrukturisasi utang dan dukungan internasional.

“Hanya membangun stabilitas ekonomi tidak cukup, kita harus merestrukturisasi seluruh perekonomian,” kata Wickremesinghe, yang mana saat ini tengah mengerjakan anggaran sementara untuk menyeimbangkan keuangan publik yang babak belur.

“Kita perlu mencapai stabilitas ekonomi pada akhir 2023,” ujarnya.

Negara Samudra Hindia berpenduduk 22 juta itu sedang merundingkan paket pinjaman senilai sekitar USD 3 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF), selain bantuan dari negara-negara seperti China, India, dan Jepang.

Pada hari Selasa, kabinet menyetujui batas kredit USD 55 juta dari Bank Exim India untuk mendanai 150.000 ton impor urea, dan itu menjadi persyaratan penting karena persediaan telah habis selama musim tanam saat ini.

“Petani tidak perlu khawatir tidak memiliki input untuk musim depan,” kata juru bicara kabinet Bandula Gunawardena kepada wartawan, di mana dia memperkirakan 150.000 ton urea akan dibutuhkan untuk siklus budidaya berikutnya.

Sementara inflasi pangan sebesar 57% sebagian didorong oleh harga komoditas global yang lebih tinggi, mata uang yang terdepresiasi dan produksi domestik yang rendah. Diperkirakan, hasil panen berikutnya akan berkurang setengahnya karena kekurangan pupuk.

“Perserikatan Bangsa-Bangsa akan membuat seruan publik di seluruh dunia untuk Sri Lanka pada hari Rabu, dan telah menjanjikan USD 48 juta untuk keperluan makanan, pertanian dan kesehatan,” kata Wickremesinghe.

Sri Lanka juga melakukan negosiasi ulang dengan China mengenai persyaratan swap dalam mata uang yuan senilai USD 1,5 miliar yang disepakati tahun lalu.

Persyaratan awal menyatakan bahwa swap atau pertukaran mata uang hanya dapat digunakan jika Sri Lanka mempertahankan cadangan yang setara dengan tiga bulan impor.

“Namun demikian dengan cadangan sekarang jauh di bawah level itu, Sri Lanka harus meminta China untuk mempertimbangkan kembali persyaratan dan mengizinkan pertukaran untuk dilanjutkan,” terang Wickremesinghe.

Wickremesinghe, yang juga menteri keuangan, akan mengungkap anggaran sementara bulan depan yang katanya bertujuan untuk memangkas pengeluaran pemerintah dan berupaya meningkatkan pengeluaran kesejahteraan tahunan menjadi USD 500 juta dari sekitar USD 350 juta.

Sumber : Kantor Berita REUTERS | Editor : Saud Rosadi

Tag: