Bagaimana Lapangan Kerja akan Lebih Terbuka bagi Mantan Narapidana

aa
Sejumlah perusahaan kini justru merekrut karyawan langsung di penjara. (Hak atas foto Getty Images Image)

PARA penyedia kerja di Amerika Serikat dan Inggris mungkin akan segera memperlunak sikap mereka terhadap orang-orang yang punya catatan kriminal. Berikut alasannya. Apakah Anda tipikal orang yang berkenan memberikan kesempatan kedua bagi orang lain?

Banyak pemberi kerja di AS menyatakan mereka masuk kategori itu: kajian berskala nasional baru-baru ini menyebut setengah manajer dan pimpinan bagian personalia bersedia mempekerjakan mantan narapidana. Barangkali yang lebih mengejutkan, dua pertiga dari pakar personalia dan 80% manajer menganggap eks penghuni penjara setara bahkan lebih cakap dibandingkan mereka yang tak pernah berurusan dengan hukum.

Ini merupakan isu penting karena di banyak negara, orang-orang dengan catatan kriminal yang buruk merupakanpopulasi yang besar —dan ada pandangan umum bahwa lapangan kerja yang terbuka adalah cara terbaik mencegah mereka kembali ke dunia kejahatan.

Masalahnya, sejarah menunjukkan para mantan penghuni penjara sulit mendapatkan pekerjaan ketika mereka selesai menjalani masa pemidanaan.  Pemerintah Inggris awal tahun ini menyebut hanya 17% dari mereka yang mendapat pekerjaan tetap di perusahaan, setidaknya setahun setelah keluar dari penjara. John tengah berusaha keras mendapatkan pekerjaan di Edinburgh, Skotlandia. Dia sudah beberapa kali dihukum mendekam di penjara.

Namun pada masa pemidanaan terakhirnya –yang berakhir Februari 2016– dia mengikuti program amal bertajuk LifeLine yang kini disebut Change, Grow, Live. John pun mulai mengubah hidupnya. Dia mengatasi kebiasaannya menegak minuman beralkohol melalui terapi perilaku kognitif. John kini berkomitmen menggunakan pengalamannya itu untuk membantu orang lain yang menghadapi persoalan serupa. “Saya menjadi pekerja sosial, saya bekerja sukarela selama dua tahun,” ujarnya.

Namun John tetap tak dapat menghapus masa lalunya: kemanapun ia melamar pekerjaan, pemberi kerja mendapatkan catatan kriminal dan persoalan kesehatan mentalnya. Padahal ia mengklaim telah pulih sejak 900 hari lalu.  “Saya melakukan banyak sekali hal buruk. Anda akan berpikir mereka bakal memberi saya sedikit kelonggaran untuk memulai hidup baru. Tapi kenyataannya tidak seperti itu,” katanya.

aa
Mereka yang pernah mendekam di penjara dianggap akan lebih loyal dibandingkan orang yang bersih dari catatan kriminal. (Hak atas foto Getty Images Image)

Banyak pemberi kerja khawatir menerima mantan narapidana. Survei tahun 2006 terhadap sejumlah perusahaan di barat laut Inggris menunjukkan, 90% pemberi kerja cemas bekas pelaku kejahatan akan membahayakan pegawai atau pelanggan. Sementara 60% perusahaan di kawasan itu juga menganggap mempekerjakan mantan narapidana dapat berdampak buruk pada citra mereka.

Jonathan Spencer, Direktur Unit Riset Hukum Pidana di Universitas Manchester, memimpin survei tersebut. Ia berkata, pelaku kejahatan seksual merupakan kekhawatiran khusus perusahaan di Ingris. “Pandangan mereka, jika mantan narapidana itu kembali melakukan kejahatan, reputasi perusahaan dapat rusak,” kata Spencer.

Di sisi lain, Spencer dan rekan-rekannya menemukan 60% pemberi kerja yang telah mempekerjakan mantan narapidana sebenarnya mendapatkan impresi positif. Namun kata Spencer, itu merupakan kesan yang sulit diterima perusahaan lain yang belum pernah menerima orang bercatatan kriminal. Artinya, perusahaan belum memiliki cetak biru yang dapat mereka ikuti jika harus menerima mantan narapidana untuk pertama kalinya.

Perusahaan Virgin Trains mulai mempekerjakan kelompok orang itu pada 2013, didorong oleh pendiri mereka, Richard Branson. “Saya rasa kami tidak memiliki rencana usaha atau banyak harapan atas kebijakan itu. Kami hanya mencobanya,” kata Damien Henderson, Manajer Media dan Urusan Skotlandia di Virgin Trains. Namun proses uji coba rekrutmen itu ternyata sukses besar. Virgin Trains kini mempekerjakan 30 orang yang memiliki catatan kriminal.

Perusahaan itu juga menggelar rekrutmen rutin di penjara, di mana kandidat pekerja dapat mendiskusikan sejarah kelam mereka dan menunjukkan keinginan mereka masuk dunia kerja. “Saya tak ingin menunjukkan kesan bahwa semuanya berjalan sempurna,” kata Henderson.

Virgin Trains harus membagi perusahan mereka, terutama untuk pekerja yang merupakan mantan narapidana. Langkah ini diambil untuk isu kehadiran dan ketepatan waktu masuk yang kerap menjadi persoalan karyawan baru. “Namun kami belum bermasalah dengan perbuatan kriminal baru,” kata Henderson. Faktanya, pekerja dengan catatan hukum yang kelam justru berkembang pesat. “Kami melihat orang-orang yang sungguh hebat,” ujar Henderson.

Fenomena itu sejalan dengan kajian serupa di AS, bahwa sejumlah pemberi kerja yakin mantan narapidana terlatih bekerja lebih baik dibandingkan karyawan yang tak pernah dipenjara. Terdapat beberapa bukti sahih yang mendukung temuan tersebut.

Regulasi umum tak merekomendasikan Angkatan Darat AS mempekerjakan mantan narapidana. Namun dalam kondisi tertentu, insititusi militer itu dulu pernah merekrut bekas penjahat saat target rekrutmen mereka tak sesuai target.

aa
Terbatasnya tenaga kerja di Inggris dan AS mendorong perusahaan di negara itu melirik mantan narapidana. (Hak atas foto Getty Images Image)

Dalam penelitian yang diterbitkan awal tahun 2018, Jennifer Lundquist, guru besar sosiologi di Universitas Massachusetts-Amherst, dan beberapa koleganya, memanfaatkan undang-undang keterbukaan informasi untuk meminta dokumen tertentu. Grup peneliti itu hendak menguji peforma para eks narapidana itu dibandingkan rekan-rekan mereka yang tak pernah dijatuhi hukuman pidana.

Anggota baru tentara AS yang pernah melakukan kejahatan serius berpeluang lebih besar daripada rekan-rekan mereka yang bersih dari catatan hukum untuk naik pangkat.

Yang paling mengejutkan dari kajian itu, peneliti menemukan fakta, mantan pelaku kejahatan 32% lebih mungkin mendapatkan promosi ke pangkat sersan—kenaikan pangkat didasarkan pada penilaian yang berprinsip meritokrasi.

Lundquist menyebut tim peneliti berasumsi mantan narapidana dan tentara yang belum pernah dipenjara memiliki peforma setara, jika indikator pendidikan dan usia dihapus. “Kami terkejut mendapatkan efek positif itu, bahwa mantan narapidana benar-benar bekerja secara mumpuni,” ujarnya.

Yang banyak diyakini dalam situasi ini adalah sedikitnya peluang untuk para mantan pelaku kejahatan.  “Jika satu pemberi kerja berinvestasi pada diri anda, anda barangkali merasakan loyaliyas,” kata Lundquist.

Memang ada beberapa penelitian yang menyatakan, mantan narapidana yang masuk ke profesi tertentu akan menjalankan pekerjaan itu lebih lama dibandingkan mereka yang tak pernah dipidana.

Lundquist menduga, cara perusahaan atau institusi merekrut mantan narapidana juga berperan pada kesuksesan pegawai baru itu. Dalam konteks Angkatan Darat AS, penyaringan kandidat personel dengan catatan kriminal merupakan tahap vital. Tahap itu menjalankan proses yang disebut seleksi ‘manusia seutuhnya’ yang sangat ketat. Rekrutmen menerima mantan narapidana yang benar-benar terbaik: kandidat yang memiliki motivasi dan kemampuan untuk sukses. Lundquist dan koleganya menyebut banyak perusahaan secara otomatis menolak pelamar dengan catatan kriminal pada tahap awal rekrutmen. Padahal dengan melakukan itu, mereka melewatkan peluang mempekerjakan karyawan habat.

Henderson setuju, banyak calon karyawan mumpuni yang pernah berurusan dengan hukum. Virgin Trains merupakan bagian dari inisiatif bernama Release Scotland yang diluncurkan awal 2018 untuk mendorong lebih banyak korporasi menerima mantan narapidana. “Tujuannya mempromosikan pengalaman pemberi kerja yang telah menerima pelaku kejahatan,” kata Henderson.

Ada pula inisiatif membantu mantan narapidana mengatasi penolakan bertubi-tubi. Yang paling terkenal adalah ‘Ban the Box’, kampanye yang dimulai di AS. Inisiatif itu mendesak pemberi kerja tak meminta pelamar mencentang kotak dalam formulir jika mereka mempunyai catatan kriminal.

Wacananya, insiatif ini memberi peluang bagi bekas narapidana bertatap muka dan memberi kesan secara langsung pada penyeleksi, sebelum masa lalu mereka diungkap. Harapannya, dengan proses ini para bekas pelaku kejahatan itu memiliki lebih banyak peluang untuk diterima kerja.

Namun barangkali kajian yang ekuivalen dengan ulasan ‘manusia seutuhnya’ milik Angkatan Darat AS dapat melengkapi inisiatif tersebut. Sistem itu mungkin membantu mantan narapidana menunjukkan kemampuan dan keinginan mereka bekerja dalam metode yang dipercayai perusahaan. “Kami hanya butuh beberapa orang pandai untuk menyesuaikan sistem yang telah ada,” kata Lundquist.

Henderson berkata, sistem pengkaji pelamar itu akan diterima oleh organisasi seperti Release Scotland, yang menggarisbawahi keuntungan menerima bekas pelaku kejahatan.”Setiap orang cenderung fokus pada resiko menerima eks narapidana, tapi ini bukan cuma soal itu, tapi juga keuntungannya,” tuturnya.

Pertanyaannya, apakah kajian terkahir pada perusahaan AS yang digagas Society for Human Resource Management (SHRM) dan Charles Koch Institute (CKI) membuktikan upaya ini mengubah sikap para pemberi kerja? “Saya ingin melihat lebih banyak survei sebelum saya menyatakan ada perubahan nyata dalam sudut pandang perusahaan terhadap orang yang pernah dipenjara,” kata Lundquist.

Namun ada pula alasan ekonomis mengapa pemberi kerja di AS dan Inggris barangkali akan melunakkan sikap mereka terhadap kelompok orang ini, menurut Vikrant Reddy, peneliti senior untuk reformasi hukum pidana di CKI.

Tingkat pengangguran di dua negara itu lebih rendah dibandingkan beberapa dekade sebelumnya. Situasi itu membuat mereka berebut menemukan kandidat karyawan. Atas alasan pragmatis itu, mungkin masuk akal kalau mereka mempertimbangkan menerima mantan narapidana. “Sulit memastikan, namun sepertinya itu dugaan yang beralasan. Pemberi kerja sungguh ingin menerima karyawan baru saat ini dan anda memiliki orang-orang hebat di luar sana yang sedang mencari pekerjaan,” ujar Reddy.

Penulis: Colin Barras BBC News

Anda dapat membaca artikel ini dalam bahasa Inggris di BBC Capital dengan judul Why more ex offenders may be about to get second chance.