Biaya Hidup di Jepang Melejit, Harga Makanan Ringan Naik 20%

Kemakmuran di Jepang stagnan dalam tiga dekade terakhir. (Foto BBC News Indonesia)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Sementara sebagian besar negara-negara di Asia menjadi lebih makmur, kemakmuran di Jepang stagnan dalam tiga dekade terakhir. Kini biaya hidup melejit, Jepang dikejutkan harga makanan ringan yang melonjak 20%.

Bagaimana perkembangan terbaru perihal tersebut di Jepang, Mariko Oi, Koresponden Bisnis Asia menuliskannya untuk BBC News Indonesia dalam gaya bertutur dan dilengkapi dengan laporan laporan tambahan Angela Henshall.

Sebagai anak yang besar di Jepang, harga beberapa barang sangat jarang mengalami kenaikan. Harga makan siang favorit saya sekitar 500 yen, atau setara Rp54.255, dan terus seperti itu sampai 2021. Hal serupa terjadi pada harga sepatu atau pakaian, hanya sedikit berubah.

Saya diajari untuk menabung, menabung dan menabung, dan berulang kali diperingatkan bahwa nilai rumah kami telah anjlok pada 1990-an, ketika pasar properti kolaps.

Kerugian finansial yang menyakitkan ini membuat orang tua saya, dan yang senasib dengan mereka, tak mampu lagi menjual rumah mereka, atau memperbaikinya.

Tapi ketika harga kebutuhan harian tak naik, orang-orang tidak secara aktif membelanjakan uang mereka.

Perusahaan, sebagai gantinya, meresponsnya dengan tidak menaikkan gaji, yang kemudian justru menurunkan permintaan konsumen dan harga barang lebih jauh lagi.

Ketika kita tak dapat kenaikan gaji, kita pun tidak terburu-buru untuk berbelanja terlalu sering.

Secara keseluruhan, hal-hal ini memperlambat pertumbuhan ekonomi negara – lingkaran setan yang telah menjebak Jepang selama beberapa dekade.

Sementara banyak bagian Asia berkembang menjadi lebih makmur, kekayaan Jepang mengalami stagnasi. Produk domestik bruto per kapita Jepang – pendapatan ekonomi per orang di negara itu – tetap berada di level yang sama sejak 1990-an.

Pada tahun 2010, China telah mengambil alih sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia.

Selama beberapa dekade, dengan sedikit keberhasilan, bank sentral negara itu telah berupaya untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi dengan membuat warga Jepang “belanja lebih banyak, investasi lebih banyak, upah lebih banyak dan harga barang naik secara bersamaan”, jelas Nobuko Kobayashi, konsultan dari EY-Parthenon.

Pada April silam, patokan harga konsumen naik 2,1%, cukup untuk membuat inflasi tahun ini diharapkan akhirnya mencapai target 2% yang ditetapkan bank sentral, setelah tiga dekade terakhir tak ada kenaikan sama sekali.

Akan tetapi, lonjakan harga itu tak ada hubungannya dengan kebijakan ekonomi dalam negeri.

Kenaikan harga sebagian besar didorong oleh biaya impor yang lebih tinggi, kenaikan harga bahan baku dan energi secara global – disebabkan oleh pandemi dan perang di Ukraina.

Kobayashi bahkan memperingatkan kenaikan harga itu bisa menandai “awal dari inflasi yang buruk, karena upah belum naik”.

Faktanya, gaji rata-rata hampir tidak mengalami kenaikan selama lebih dari tiga dekade, jadi segalanya akan semakin menyakitkan bagi pembeli.
Sementara pada era pasca-Covid ada banyak negara yang berjuang melawan kenaikan harga dan biaya hidup yang lebih tinggi, hal itu menjadi kejutan besar bagi Jepang, di mana orang telah terbiasa dengan harga stabil selama beberapa dekade.

Ketika harga camilan sehari-hari Jepang – umaibo – yang selalu dihargai 10 yen (Rp1.088) sejak mulai diproduksi 43 tahun lalu – naik sebesar 20%, hal itu memicu gelombang kejutan di seluruh negeri.

Dalam masyarakat yang terbiasa berbagi beban sosial, kenaikan harga menjadi suatu hal yang tabu bagi budaya mereka.

Sedemikian tabunya hingga Yaokin, perusahaan yang membuat camilan populer itu, harus membuat iklan kampanye yang menjelaskan mengapa pihaknya harus menaikkan harga.

Tapi kenaikan harga itu memang tak bisa dihindari. Satu per satu, mulai dari mayones dan minuman kemasan, hingga bir, harganya kini jadi lebih mahal.

Menurut databank Teikoku, harga lebih dari 10.000 makanan akan naik – dengan rata-rata 13% kenaikan – tahun ini.

Dilema bank sentral

Dan oleh karenanya, Jepang menghadapi masalah yang sangat rumit: bank sentral di seluruh dunia telah merespons kenaikan harga dengan menaikkan suku bunganya secara bertahap untuk mengontrol inflasi.

Sementara bank sentral Jepang terus mempertahankan suku bunganya di titip terendah selama bertahun-tahun.

Selain kesenjangan suku bunga yang signifikan antara Jepang dan negara-negara lain, seperti AS, nilai tukar mata uang Jepang juga melemah tajam.

Nilai tukar yen terhadap dolar baru-baru ini merosot ke posisi terendah selama 20 tahun terakhir.

Pelemahan yen berarti bahwa harga barang-barang impor – terutama minyak dan gas – lebih mahal lagi.

“Konsumen tak terbiasa dengan inflasi,” kata Takeshi Niinami, bos Suntory Holdings, yang dikenal karena memproduksi whisky Jepang, seperti Yamazaki, Hibiki dan Hakushu, serta minuman non-alkohol seperti minuman mineral dan kopi.

Perusahaan itu baru-baru ini mengumumkan kenaikan harga sebagian besar produknya sejak Oktober silam, agar memberikan waktu untuk mendiskusikan kenaikan harga ini dengan distributornya.

Niinami menyebut ini sebagai krisis rantai pasokan global, yang disebabkan oleh pandemi dan karantina wilayah di China baru-baru ini.

“Secara keseluruhan sudah diterima. Tapi masih ada tantangan dari pengecer besar,” katanya.

CEO Suntory, Takeshi Niinami, berkata kenaikan harga produk disebabkan oleh masalah rantai pasokan. (Foto BBC News Indonesia)

Salah satu alasan di balik upaya pemerintah Jepang mendorong inflasi adalah untuk mencoba mendorong upah lebih tinggi.

“Ada tekanan besar dari masyarakat dan pemerintah untuk menaikkan upah, tetapi kita perlu meningkatkan produktivitas,” kata Niinami.

“Tetapi sulit untuk meningkatkan produktivitas secara tiba-tiba. Kami memiliki begitu banyak rekan dalam satu industri, jadi kami harus berkonsolidasi.”

Niinami berkata Jepang juga perlu untuk berinvestasi di sektor baru, seperti inovasi ekonomi hijau atau layanan kesehatan untuk menstimulus ekonomi, serta menciptakan lapangan kerja baru untuk menaikkan gaji rata-rata.

Dia juga berharap pemerintah akan melakukan lebih banyak hal untuk menarik investor asing.

Tapi itu semua perlu waku dan penciptaan lapangan kerja adalah satu dari sekian banyak isu yang dihadapi Jepang selama beberapa dekade.

Satu-satunya berkah dari nilai tukar yen yang melemah, dalam jangka pendek akan ada lebih banyak wisatawan internasional masuk ke Jepang untuk membelanjakan uangnya di negara itu, kendati perbatasan baru mulai dibuka kembali setelah Covid.@

Tag: