Biaya Subsidi dan Kompensasi BBM Subsidi Naik jadi Rp443,5 Triliun

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan bahwa tingginya harga komoditas dan energi menyebabkan adanya selisih antara asumsi harga minyak atau Indonesia crude price (ICP) yang tercantum dalam APBN, yakni US$63 per barel.

“Padahal, rata-rata harga ICP saat ini telah mencapai US$99,4 per barel,” kata Menkeu dalam rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, Kamis (19/5/2022).

Konsumsi Pertalite melonjak setelah kenaikan harga Pertamax – BBM non-subsidi – menjadi Rp12.500 hingga Rp13.000 per liter, dari sebelumnya Rp9.000-Rp9.400 per liter berlaku sejak Jumat (01/04) silam.

Harga Pertamax yang naik drastis membuat penggunanya beralih menggunakan Pertalite, yang disubsidi pemerintah, dengan harga Rp 7.650 per liter.

Akibat disparitas yang lebar antara harga Pertalite dan Pertamax, Pertamina mencatat terjadi migrasi pembelian BBM dari Pertamax ke Pertalite sebanyak 25%.

Lonjakan konsumsi Pertalite, membuat Kementerian ESDM mengajukan rencana penambahan kuota tak hanya Pertalite, tapi juga solar subsidi, pada awal April lalu.

Kuota Pertalite ditambah 5,45 juta kl menjadi 28,50 juta kl, sementara kuota solar subsidi ditambah 2,28 juta kl menjadi 17,39 juta kl.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati

Menurutnya, hal tersebut menyebabkan adanya kekurangan kebutuhan anggaran untuk subsidi BBM dan pembayaran kompensasi kepada Persero. Kebutuhan biaya subsidi akan melonjak dari Rp134 triliun menjadi Rp208,9 triliun dan kompensasi kepada persero melonjak dari Rp18,5 triliun menjadi Rp234,6 triliun. Atau untuk keduanya jadi Rp443,5 triliun.

“Pilihannya hanya dua, kalau ini [anggaran subsidi dan kompensasi] tidak dinaikkan harga BBM dan listrik naik, kalau harga BBM dan listrik tidak naik ya ini yang naik. Tidak ada in between, pilihannya hanya dua,” ujar Sri Mulyani.

Sebagai langkah antisipatif, DPR sudah menyetujui usulan Pemerintah terkait APBN Perubahan tahun 2022 yang mengakomodasi penambahan kuota Pertalite dan Solar bersubsidi untuk tahun 2022.

Namun demikian dikhawatirkan, bila tanpa pembatasan pengguna BBM bersubsidi, maka penambahan kuota BBM ini tetap akan jebol.

Namun, pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, mempertanyakan mekanisme yang dipilih pemerintah dalam kebijakan pembatasan BBM subsidi.

“Jadi artinya harus dirumuskan dulu bagaimana validasi pendataannya, jangan membuat syarat-syarat sendiri, tapi berbeda dengan pendataan-pendataan lainnya, nanti yang terjadi adalah subsidinya tetap sasaran.”

Bhima mewanti-wanti, akibat dari pandemi yang berlangsung selama dua tahun terakhir, membuat banyak masyarakat menengah “jatuh ke bawah garis kemiskinan”.

“Jadi kalau pemerintah tidak hati-hati pada verifikasi dan validasi data yang berhak, terutama dalam kondisi yang sekarang, maka yang terjadi adalah kekacauan, yang terjadi adalah chaos.

“Chaos dalam artian banyak yang daya belinya terpukul, kemudian banyak yang akhirnya mengurungkan niat untuk ekspansi bisnis, atau merekrut karyawan baru. Jadi implikasinya cukup panjang,” kata Bhima.

Lebih jauh, Bhima menganggap pemerintah semestinya melakukan penyesuaian harga BBM subsidi pada tiga – empat tahun terakhir, ketika disparitas harga antara Pertalite dan Pertamax belum selebar sekarang.

Antrean di SPBU Gunung Guntur, Selasa (5/4/2022). (Foto Niaga.Asia)

“Jadi pemerintah telah membuang tiga – empat tahun terakhir ini yang harusnya ketika harga mentah sedang rendah, disparitas Pertalite dan Pertamax sedang tipis tidak terlalu lebar seperti sekarang, itu semestinya dilakukan penyesuaian pada saat itu.” tegasnya.

Senada, pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, berkata pembatasan BBM subsidi dengan berbagai mekanisme, telah dilakukan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tapi kala itu “penghematan yang diperoleh dalam realisasinya tidak terlalu signifikan”.

“Sementara biaya yang sudah dikeluarkan tidak kecil juga. Sehingga perlu diperhatikan pemerintah, kalau memang ingin tepat sasaran semestinya mekanismenya subsidi langsung ke orang, bukan ke barang,” kata Komaidi.

Langkah pembatasan yang sedang dirumuskan pemerintah, kata Komaidi, akan menyebabkan “permasalahan turunan” di lapangan.

“Misalkan pemerintah sudah menetapkan pihak tertentu tidak diperboilehkan untuk membeli jenis tertentu, katakanlah jenis pertalite dan solar, dalam penerjemahan konsumen antara yang berhak dan tidak berhak kan masih debatable. Karena pemerintah juga mendefinisikan miskin, sangat miskin, juga cukup variatif.”

“Kalau sandainya konsumen tetap memaksa untuk membeli di SPBU, otomatis nanti ujung tombaknya teman-teman yang bertugas di sana, ini tentu potensi konflik di SPBU akan terjadi. Dan ini sebelum-sebelumnya sudah pernah terjadi. Kalau itu yang terjadi, justru kegaduhan yang akan timbul,” terang Komaidi.

Lebih jauh, Komaidi menuturkan bahwa Indonesia saat ini adalah negara nett importir BBM dengan konsumsi 1,6 juta barel per hari. Sementara produksi BBM Indonesia saat ini hanya 750 ribu barel per hari.

Praktis, ada sekitar 800 – 1 juta barel per hari yang harus diimpor Pertamina dengan harga internasional.

“Nah dari harga internasional kemudian dijual dengan harga yang ditetapkan pemerintah di harga murah, ya tentu pertaruhannya APBN. Subsidinya akan sebesar apa yang bisa ditanggung pemerintah?”

Ia mengusulkan pemerintah mengambil langkah berani melakukan “penyesuaian harga BBM subsidi” jika tidak ada ruang lagi untuk memberikan subsidi dan kompensasi di APBN.

“Sederhana saja, dilakukan penyesuaian harga dalam rentang tertentu yang masih di batas toleransi daya beli masyarkat. Itu yang harus dilakukan pemerintah.”

Komaidi tak bisa memungkiri bahwa pemerintah acapkali menempuh kebijakan yang populis dalam hal BBM subsidi, namun menurutnya “kalau ingin meraih citra positif dalam kebijakan harga BBM yang memang bahan bakunya sedang naik signifikan ya agak sulit”.

“Ya pasti citra pemerintah relatif tidak cukup positif, tapi kalau itu memang baik untuk jangka panjang, saya kira itulah risiko yang diambil pemerintah atau pemimpin, bahwa pemimpin tidak selalu akan disukai oleh yang dipimpin,” cetusnya.

**) Artikel ini bersumber dari BBC News Indonesia dan sudah tayang dengan judul; “BBM bersubsidi: Akankah pembatasan pembelian Pertalite dan solar efektif membuat subsidi tepat sasaran?

Tag: