Bima Yudhistira: ‘Narasi Omnibus Law Bolong’

aa
Massa yang tergabung dalam Aliansi Sarikat Pekerja Buruh Jawa Barat berunjuk rasa menuntut SK Gubernur tentang ketetapan UMK Jawa Barat tahun 2020 yang dianggap merugikan pekerja atau buruh.di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Senin (2/11). (Hak atas foto NOVRIAN ARBI/Antara Image caption

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Ekonom Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF), Bima Yudhistira, mengatakan omnibus law lapangan kerja tidak akan berdampak secara cepat bagi investasi Indonesia.

“Kalau omnibus law lapangan kerja selesai 2020 tapi untuk aturan teknis belum tentu selesai 2020, jadi efeknya terhadap perekonomian tidak akan dirasakan dalam jangka pendek. Baru 1-2 tahun ke depan setelah 2020 jadi tahun 2022,” katanya kepada BBC Indonesia.

Kemudian, pembahasan omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja bersifat sentralistik, dan kurang melibatkan pemda. Padahal, menurutnya, di era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kuasa atas beberapa perizinan.

“Jadi yang bolong dari narasi omnibus law ini adalah keterlibatan pemda yang masih kurang untuk memberikan masukan dan penyelarasan regulasi di dearah,” katanya.

Terakhir, menurut Bima, sejauh ini pembahasan RUU tidak melibatkan serikat pekerja. Padahal menurutnya, diperlukan perspektif dari pekerja untuk melihat masalah ketenagakerjaan. “Jangan sampai menimbulkan clash ketika tataran implementasi justru menimbulkan banyak penolakan yang akhirnya memunculkan aksi-aksi yang kontra produktif terhadap iklim investasi itu sendiri,” katanya.

Baru pertama

Sementara Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, mengatakan omnibus law adalah aturan yang kedudukannya sama dengan UU dan bertujuan untuk simplifikasi UU lainnya, artinya aturan yang diatur dalam banyak UU dihapus dan kemudian diatur hanya dalam satu UU saja.

Menurut Fajri, omnibus law adalah alat merampingkan banyak aturan menjadi satu undang-undang. Omnibus law juga akan menghapus banyak regulasi dan mengurangi jumlah regulasi.

“Untuk syarat ketiga ini khas omnibus law. Kalau syarat kedua yaitu menghapus banyak regulasi lain sebenarnya sudah banyak dilakukan di UU lain,” katanya.

Fajri menambahkan, penggunaan omnibus law baru pertama kali terjadi di era Jokowi walaupun sebenarnya beberapa undang-undang telah menggabungkan banyak aturan, seperti UU Pemilu, dan UU Penyandang Disabilitas yang menggabungkan 25 sektor, dan juga UU Perlindungan Anak.

Fajri menambahkan, omnibus law diperlukan karena Indonesia memilik banyak undang-undang yang dibentuk menggunakan pendekatan sektoral per kementerian dan lembaga sehingga hasilnya menjadi parsial dan tumpang tindih. Di sisi lain, Fajri juga mengkritisi proses pembahasan perampingan aturan tersebut.

“Pemerintah merasa ingin cepat pembentukannya, ini masih kedap dengan proses keterlibatan masyarakat. Jadi hanya ke kelompok-kelompok tertentu saja, terakhir misalkan pengusaha, lalu pemda. Nah kelompok yang tidak terpapar informasi secara maksimal akhirnya tidak tahu prosesnya seperti apa, padahal omnibus law ini akan terikat juga pada seluruh warga negara Indonesia,” katanya.

Fajri juga menegaskan bahwa aturan bukanlah obat segalanya. Regulasi hanyalah tahap pertama dari tahap lain dalam menyelesaikan masalah investasi di Indonesia. Untuk itu, pemerintah harus memiliki strategi khusus dalam melaksanakan regulasi itu.@

Tag: