BIN Menemukan “39% Mahasiswa di Indonesia Radikal”, Apa Tindak Lanjutnya?

bud
Kepala BIN Budi Gunawan mengatakan penghayatan Pancasila sebagai solusi atas radikalisme. (Hak atas foto DETIKCOM/Rachman Haryanto)

SEMARANG.NIAGA.ASIA-Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Budi Gunawan, menyatakan ‘39% mahasiswa perguruan tinggi di 15 provinsi telah terpapar radikalisme’.  Penghayatan Pancasila, kata mantan jenderal polisi itu, merupakan solusi atas penyebaran paham tersebut.

“Fokus utama diarahkan pada pembinaan dengan internalisasi atau penguatan nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat. Juga upaya defensif dan proteksi terhadap ideologi asing yang ingin mengganti Pancasila,” kata Budi di Semarang, Sabtu (28/04) pekan lalu.

Namun menurut pengamat, penyuluhan dasar negara bukanlah satu-satunya cara menanggulangi radikalisme di generasi muda. Tanpa deradikalisasi berkesinambungan, maka Pancasila dianggap akan berujung sebagai slogan semata. “Bagi anak muda, program itu harus konkret. Kalau anda merundung teman yang non-Muslim, Tionghoa, atau yang berbeda latar belakang, berarti anda tidak Pancasilais.”

“Jadi Pancasila harus diturunkan ke dalam konteks kehidupan sehari-hari. Kalau tidak hanya akan menjadi slogan seperti masa Suharto, jadi slogan-slogan besar,” kata peneliti Wahid Foundation, Alamsyah Ja’far kepada BBC Indonesia, Senin (30/04).

Berdasarkan jajak pendapat tahun 2017, Wahid Foundation -yang bergerak dalam bidang kemanusiaan dan demokrasi- menyatakan hampir 60% peserta kegiatan kerohanian Islam (rohis) di institusi pendidikan ‘siap berjihad dengan jalan kekerasan’. Survei itu digelar atas sekitar 1.626 orang di acara perkemahan rohis yang diadakan Kementerian Agama, di Cibubur, Jakarta Timur, Mei 2017.

Dalam pengumpulan data yang sama, 37% aktivis rohis mengaku sangat setuju dan 41% sisanya setuju pada wacana Indonesia menjadi negara Islam. Direktur Jenderal Pendidikan Islam di Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, pada 2016 lalu pernah mengimbau kegiatan rohis diawasi dan tak eksklusif untuk mencegah radikalisme.

walau
Walaupun pemerintah telah melarang penyebaran ideologi ISIS di Indonesia, pendukungnya diduga terus menyebarkan ajarannya dan tetap merekrut anggota baru. (Getty Images)

Alamsyah Ja’far mengatakan pandangan radikal lebih subur di perguruan tinggi negeri dibandingkan universitas berbasis agama. Meski begitu, kata dia, kampus berfalsafah agama pun tak lepas dari kegiatan yang menjurus radikalisme.

Alamsyah mencontohkan sekelompok mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang pernah mendeklarasikan dukungan untuk ISIS tahun 2016. “Mahasiswa yang masuk kategori terpapar radikalisme biasanya tidak cukup memahami ajaran agama. Tapi di sekolah atau di kampus, mereka berniat menekuni agama,” tutur Alamsyah.

‘Menyetujui konflik Suriah’

Direktur Komunikasi dan Informasi BIN, Hari Purwanto, menyebut lembaganya tahun 2017 menyebar kuisoner secara acak ke sejumlah kampus di 15 provinsi yang telah mereka awasi, baik negeri maupun swasta.

Kepada BBC Indonesia, Hari mengatakan kuisoner -yang antara lain berisi pertanyaan seputar ISIS dan perang Suriah- menjadi dasar dari perkiraan persentase mahasiswa yang terpapar radikalisme yang diungkap Budi Gunawan.  Hari mengklaim BIN akan menindaklanjuti temuan itu dengan koordinasi di antara instansi yang menangani isu agama, pendidikan, dan keamanan.

“Kami bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lain, forum rektor, badan eksekutif mahasiswa, dan UKP Pancasila, supaya simultan memberikan masukan dan mahasiswa tidak masuk lebih jauh ke radikalisme, melainkan kembali ke NKRI,” ujar Hari.

“Intinya kami ingin mereka kembali ke ibu pertiwi dengan mindset (kerangka pikir) yang tidak ekstrem dan kembali normal,” tambahnya. Dalam kajian BIN, ‘24% mahasiswa dan 23,3% pelajar menyatakan persetujuan mereka terhadap jihad dengan kekerasan’. Angka tersebut nyaris serupa dengan survei kelompok masyarakat sipil sebelumnya.

Oktober 2017 misalnya, Mata Air Fondation dan Alvara Research Center menyebut ‘23,5% mahasiswa dan 16,3% pelajar menganggap Indonesia perlu diperjuangkan menjadi negara Islam yang menerapkan hukum agama secara utuh’. Adapun, Juni 2017, Saiful Mujani Research and Consulting menemukan bahwa ‘9,2% masyarakat Indonesia setuju terhadap pendirian khilafah atau negara Islam di Indonesia’.

Hari Purwanto menuturkan BIN akan terus mengawasi kecenderungan radikal generasi muda dari waktu ke waktu, “Akan ada survei lanjutan supaya ketahuan input, output terhadap program kami.” (Abraham Utama BBC Indonesia)