BMKG Mutakhirkan Basis Data Iklim Acuan 10 Tahun Kedepan

Banjir di kawasan Gunung Kapur di Samarinda Utara, Senin (18/10). Anomali iklim serin terjadi dalam 10 tahun terakhir (Foto : tangkapan layar)

JAKARTA.NIAGA.ASIA – Berdasarkan instruksi Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/MWO) tentang WMO collection of the Climatological Standard Normals for 1991-2020, dan telah dilaksanakannya kegiatan Penyusunan Normal Hujan periode 1991-2020, Kedeputian Bidang Klimatologi menyelenggarakan Ekspos Normal Hujan melalui pertemuan virtual/daring, yang diikuti seluruh Kepala Unit Pelaksana Teknis Bidang Klimotologi dan Pusat Klimatologi BMKG dan dibuka oleh Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, Rabu (5/1).

“Normal hujan periode tahun 1991-2020 ini menjadi titik krusial yang akan menjadi base line berbagai macam informasi yang berkaitan dengan iklim, paling tidak selama 10 tahun mendatang,” kata Dwikorita, dilansir laman BMKG.

Dwikorita menerangkan, masyarakat Indonesia saat ini sudah banyak yang merasakan peranan informasi iklim dari BMKG, terutama masyarakat yang aktivitas kehidupan serta mata pencahariaannya terkait dengan sektor pertanian, ketahanan pangan, pengurangan risiko bencana, energi, kesehatan dan air, paparnya.

Menurut Dwikorita, informasi iklim yang diberikan BMKG sebelumnya masih didasarkan oleh normal hujan periode 1981-2010. Maka dari itu, saat ini merupakan saat yang tepat untuk melakukan pemutakhiran basis data yang digunakan sebagai kondisi iklim acuan.

“Hal ini juga sesuai dengan amanat dari WMO yang mengharuskan badan meteorologi tiap negara di dunia melakukan pemutakhiran secara serempak. Berbagai macam konsekuensi logis dari penggunaan normal baru ini di antaranya dapat menggeser sudut pandang kita terhadap suatu kejadian anomali iklim,” ujar Dwikorita.

Peristiwa-peristiwa iklim ekstrim atau penyimpangan iklim dapat meningkatkan resiko kegagalan yang berpotensi merugikan masyarakat bisa dianggap menjadi hal yang biasa.

“Karena semakin sering terjadi,” lanjut Dwikorita.

Dwikorita mencontohkan, di sektor pertanian misalnya. Kondisi penyimpangan iklim seperti kekeringan yang panjang, atau sebaliknya banjir dan genangan dapat memicu terjadinya kegagalan panen. Karena sudah dianggap biasa, kemudian bisa jadi tidak dilakukan penanganan secara proporsional.

“Hal ini tentunya akan menjadi sangat berbahaya jika tidak diantisipasi secara tepat,” tambah Dwikorita.

Dijelaskan, proses penyusunan normal hujan baru ini tentunya tidak dapat terlepas dari peran penting dari pengamatan hujan di seluruh jaringan pengamatan BMKG. Baik yang masih menggunakan peralatan konvensional maupun otomatis/canggih dan modern, baik yang dikelola BMKG sendiri maupun hasil kerja sama dengan kementerian/lembaga terkait. Disinilah kolaborasi pentahelix menjadi kunci utama dan memegang peranan penting dalam peningkatan kuantitas data.

“Para pengamat, analis dan prakirawan iklim di UPT BMKG menjadi garda terdepan dalam proses quality control dan quality insurance terhadap kualitas setiap data hujan yang berikutnya masuk ke pusat database,” sebut Dwikorita.

“Jika data yang digunakan tidak memenuhi kualifikasi yang ditentukan, maka sebaik apapun proses pengolahan data yang dilakukan tetap akan menghasilkan analisis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (garbage in, garbage out),” terangnya lagi.

Tentunya, menjadi tantangan tersendiri bagi analis dan prakirawan iklim dalam menghasilkan berbagai produk informasi iklim. “Sampai saat ini inovasi dan perbaikan-perbaikan dalam proses quality control dan quality insurance untuk membuat berbagai informasi iklim masih terus berjalan dan harus selalu kita perbaharui.

“Hal ini dilakukan agar kita selalu siap menghadapi berbagai kondisi lapangan dan dinamisnya iklim baik pada skala lokal, regional maupun skala global. BMKG harus selalu siap memberikan informasi sesuai dengan tuntutan pengguna yang semakin beragam,” demikian Dwikorita.

Bukan hanya keakuratan dan kecepatan penyampaian informasi iklim yang harus selalu ditingkatkan, namun juga variasi produk layanan agar menjangkau berbagai keperluan pengguna.

“Namun tentu saja, prinsip kemudahan dijangkau (accessibility) dan kemudahan difahami (easiness) harus selalu dipertahankan agar informasi BMKG bisa dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Baik oleh masyarakat di perkotaan maupun di pedesaan, baik oleh kaum cendekia maupun masyarakat biasa,” demikian Dwikorita.

Sumber : BMKG | Editor : Saud Rosadi

Tag: