Buka Perkebunan Kelapa Pandan, Oknum Pengusaha Nunukan Diduga Babat Hutan Mangrove

Kawasan hutan mangrove Desa Binusan Nunukan ditebang untuk areal perkebunan kelapa pandan  oleh oknum pengusaha. (foto Istimewa/Niaga.Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA-Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Panjiku Nunukan, melihat adanya pembiaran oleh instansi pemerintah daerah atas pembabatan dan pengrusakan hutan mangrove oleh oknum pengusaha terkenal asal Nunukan  untuk membuka perkebunan kelapa pandan di Desa Binuasan Dalam, Kecmatan Nunukan.

“Hutan mangrove di Desa Binusan Dalam Kecamatan Nunukan, dibabat untuk kepentingan pribadi oknum pengusaha,” kata Sekretaris LSM Panjiku Nunukan, Haris Arlex pada Niaga.Asia, Rabu (02/02/2022).

Arlek mengaku, temuan rusaknya  sekitar 8 hektar hutan mangrove sejak tahun 2019 hingga sekarang berada di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL). Temuannya  ini telah dilaporkan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Nunukan.

Sebagai warga yang peduli lingkungan, LSM Panjiku berharap ada tindakan tegas dari instansi pemerintah menyikapi kerusakan mangrove ataupun kawasan hutan yang dampaknya pasti akan merugikan masyarakat Nunukan.

“Kalau bukan kita siapa lagi yang peduli terhadap lingkungan ini. Kenapa kami bilang pembiaran karena pemerintah tidak bergerak menghentikan kegiatan itu,” ucapnya.

Arlek menduga pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa pandan itu adalah usaha pribadi bukan perusahaan. Cara ini adalah bagian dari akal-akalan pengusaha dalam mendapatkan lahan luas tanpa harus izin pemerintah.

Lahan yang di klaim milik pribadi oknum pengusaha tersebut diperolehnya lewat cara membeli dari beberapa masyarakat setempat. Dari ratusan hektar lahan yang dibelinya itu terdapat kawasan mangrove yang hidup liar.

Kelapa Pandan. (Foto Istimewa)

“Perlu ditelusuri jual beli lahannya, apakah boleh lahan di pesisir laut di miliki pribadi dan dijual, apalagi disana ada tanaman mangrove,” terangnya.

Dikonfirmasi terpisah, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup, DLH Nunukan, Emanuel Payong Sabon menjelaskan, pengelolaan habitat mangrove di kawasan pesisir laut yang secara aturan masuk dalam kewenangan DLH Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara).

“Kalau lokasinya berada di pasang surut tertingginya pesisir laut, kewenangan pengawasan di tingkat provinsi,” sebutnya.

Pembagian kewenangan dalam pengawasan ini yang membatasi DLH kabupaten bergerak melakukan  tindakan, namun jika kerusakaan itu dilaporkan oleh masyarakat, maka DLH kabupaten bisa melaporkan ke provinsi.

Menurut Emanuel, pembatasan kewenangan seperti ini memiliki konsekuensi tidak baik bagi daerah, sementara pemilik kewenangan yang harusnya aktif dalam pengawasan sangat jarak melaksanakan tugasnya di tiap daerah.

“Karena izin pengelolaan di provinsi, jadi kewenangan tugas pengawasan melekat disana, kabupaten hanya sebatas membantu jika ada permintaan,” terangnya.

Emanuel membenarkan lokasi mangrove di Desa Binusan Dalam berada di kawasan APL di pesisir laut. Kalau kerusakan dirasa merugikan masyarakat dan pegiat lingkungan sebaiknya melaporkan ke provinsi.

Begitu pula terhadap dugaan kerusuhan di gunung Delli Sebatik, pengerukan gunung untuk keperluan pribadi oknum masyarakat menjadi tanggung jawab provinsi, termasuk perizinan galian C dan lainnya.

“Semua izin – izin sudah ditarik ke pusat, pengawasan pasti melekat di pusat, dampaknya pasti di kita, sedangkan ruang gerak kabupaten terbatas,” ujarnya.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Rachmat Rolau

Tag: