Cerita Biogas dan Limbah Pabrik Tahu di Desa Urutsewu

Nikmati biogas dengan memanfaatkan limbah peternakan dan usaha tahu.

CERITA tak biasa hadir di sebuah desa di lereng Merapi, yakni Desa Urutsewu, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali Jawa Tengah.

Kerja sama warganya berhasil mewujudkan desanya menjadi sebuah desa mandiri energi. Kebutuhan untuk memasak, bahkan sebagian listrik warga telah dipenuhi dari limbah yang ada di desa tersebut.

Terlihat pipa panjang yang berisikan biogas melintang di sejumlah rumah di desa yang berbatasan langsung dengan Kabupaten.Semarang di sebelah utara dan timur tersebut.

Biogas tersebut berasal dari limbah ternak ayam, sapi, hingga limbah pabrik tahu.

“Awalnya justru dari keprihatinan kami akan limbah tahu yang banyak terdapat di desa ini, saya minta inisiatif yang punya pabrik tahu untuk mengolah limbah ini dan akhirnya biogas menjadi pilihan karena hasilnya bisa dimanfaatkan untuk memasak, juga bisa dikonversi juga untuk penerangan,” ujar Kepala Desa Urutsewu Sri Haryanto kepada tim esdm.go.id ditemui di Boyolali, pekan lalu (3/11).

Salah satu pemilik pabrik tahu, Suwarno (42), yang juga adalah ketua RT 5 Dusun Gilingan, Urutsewu, berinisiatif membangun digester biogas untuk mengubah 5.000 L limbah pabrik tahu dalam sehari menjadi biogas.

“Kini bisa mengalirkan gas bagi 7 rumah di sekitar sini, juga untuk menyalakan genset emergensi dan pengadaan air bersih Pamsimas bagi 60 pelanggan bahkan sampai ke tetangga desa,” paparnya.

Mengetahui pemanfaatan gas yang dihasilkan dari limbah tahu bisa mengurangi pengeluaran untuk LPG hingga air bersih, warga desa lainnya berinisiatif memanfaatkan potensi limbah yang ada untuk kebutuhan harian mereka.

Salah satunya Rizki Emil Abdilah (23), peternak ayam di desa tersebut yang menghasilkan energi biogas dari kotoran sekitar 2.000 ayam miliknya.

“Biogas yang dihasilkan dipakai untuk menyalakan mesin penggiling jagung, serta kompor di rumah. Kalau untuk nyelep (menggiling), dua hari sebelumnya digester biogasnya dipenuhi dulu,” jelasnya.

Menurut Emil, mengubah mesin penggiling jagungnya yang semula berbahan bakar bensin menjadi tenaga biogas butuh perjuangan namun hasilnya sepadan.

Dibantu temannya, ia melakukan modifikasi mesin. Setelah beberapa kali uji coba, modifikasi tersebut membuahkan hasil. Sampai sekarang, mesin penggilng jagungnya beroperasi dengan normal dan membuatnya hemat berkali-kali lipat.

“Kalau pakai bensin Rp20 ribu untuk nyelep 400 kilogram. Kalau biogas, ya nggak usah mikir bensin lagi. Bisa ngirit Rp 20 ribu,” bebernya.

Tak hanya itu, beberapa warga kini telah menggunakan digester biogas portable sederhana di dapur mereka untuk menyalakan kompor.

“Saya rakit sendiri bersama tetangga sekitar biayanya 2 jutaan, sampah sayur dan buah tinggal saya masukkan. Hemat sekarang, nggak perlu mikir beli LPG,” ungkap Saparman (40), yang rumahnya beberapa bulan terakhir sudah menggunakan biogas dari Dana Desa.@

Tag: