Cerita Warga Sri Lanka Berburu Paspor di Tengah Krisis Ekonomi Negaranya

Orang-orang menunggu untuk mengambil paspor mereka di Departemen Imigrasi dan Emigrasi Sri Lanka, di tengah krisis ekonomi negara itu, di Kolombo, Sri Lanka, 8 Juni 2022. Gambar diambil 8 Juni 2022. (REUTERS/Dinuka Liyanawatte)

KOLOMBO.NIAGA.ASIA — Lenora berdiri dalam antrean yang mengular di luar kantor pusat Departemen Imigrasi dan Emigrasi Sri Lanka selama dua hari minggu lalu. Dia berharap mendapatkan paspor. Dengan itu, dia kesempatan untuk meninggalkan negaranya yang berada dalam tekanan krisis ekonomi.

Lenora, 33 tahun, adalah seorang pekerja garmen. Dia memutuskan untuk melamar pekerjaan sebagai pembantu di Kuwait setelah suaminya diberhentikan dari sebuah restoran kecil tempat dia bekerja sebagai juru masak.

“Suami saya kehilangan pekerjaannya karena tidak ada gas untuk memasak dan biaya makanan meroket. Sangat sulit untuk mencari pekerjaan dan gajinya sangat rendah,” kata Lenora, yang mengatakan bahwa dia menghasilkan sekitar 2.500 rupee Sri Lanka (USD 6,80) sehari.

“Dengan dua anak itu tidak mungkin,” ujar Lenora, dikutip niaga.asia dari laporan REUTERS, Kamis.

Jadi minggu lalu, dengan membawa baju ganti dan payung untuk menahan terik matahari, wanita mungil itu naik kereta api dari kota Nuwara Eliya, di perbukitan tengah Sri Lanka. Dia melakukan perjalanan sejauh 170 km (105 mil) ke ibu kota komersial, Kolombo, untuk menyerahkan surat-suratnya untuk pengurusan paspor pertamanya.

Dalam antrean, Lenora bergabung dengan buruh, pemilik toko, petani, pegawai negeri dan ibu rumah tangga. Di mana beberapa di antaranya berkemah semalaman, semuanya ingin melarikan diri dari krisis keuangan terburuk di Sri Lanka dalam tujuh dekade.

Dalam lima bulan pertama tahun 2022, Sri Lanka telah mengeluarkan 288.645 paspor dibandingkan dengan 91.331 pada periode yang sama tahun lalu, menurut data pemerintah.

Negara kepulauan berpenduduk 22 juta orang itu kekurangan makanan, gas untuk memasak, bahan bakar, dan obat-obatan, setelah salah urus ekonomi dan pandemi COVID-19 menghapus cadangan devisanya.

Depresiasi mata uang, inflasi lebih dari 33%, dan kekhawatiran ketidakpastian politik dan ekonomi yang berkepanjangan mendorong banyak orang untuk bermigrasi.

Pemerintah ingin mendukung lebih banyak orang yang berharap bekerja di luar negeri untuk meningkatkan pengiriman uang, yang telah berkurang setengahnya dalam beberapa bulan terakhir, menurut data bank sentral.

Orang-orang tidur di luar Departemen Imigrasi dan Emigrasi Sri Lanka di tengah krisis ekonomi negara itu, di Kolombo, Sri Lanka, 9 Juni 2022. Gambar diambil 9 Juni 2022. (REUTERS/Dinuka Liyanawatte)

‘MEREKA MARAH’

Di dalam Departemen Imigrasi dan Emigrasi, di mana orang-orang berkemas berjam-jam untuk mengambil foto dan sidik jari mereka. Seorang pejabat senior mengatakan 160 anggota staf kelelahan berusaha memenuhi permintaan paspor.

Departemen tersebut telah memperketat keamanan, memperluas jam kerja, dan melipatgandakan jumlah paspor yang dikeluarkan. Tetapi setidaknya 3.000 orang menyerahkan formulir setiap hari, kata H.P. Chandralal, yang mengawasi otorisasi sebagian besar aplikasi.

Sistem aplikasi online macet selama berbulan-bulan dan banyak pengaju paspor baru tidak bisa mendapatkan janji yang diperlukan.

“Sangat sulit berurusan dengan masyarakat karena mereka frustrasi dan tidak mengerti bahwa sistem tidak dilengkapi untuk menangani permintaan semacam ini,” kata Chandralal.

“Jadi mereka marah dan menyalahkan kami, tetapi tidak ada yang bisa kami lakukan,” jelasnya.

Urgensi bagi banyak orang yang ingin pergi diperparah baru-baru ini dengan peringatan dari Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe bahwa krisis pangan hanya beberapa bulan lagi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan Sri Lanka berisiko mengalami darurat kemanusiaan besar-besaran, dan telah meluncurkan rencana untuk memberikan USD 47,2 juta kepada 1,7 juta orang yang paling rentan di negara itu.

Dalam upaya untuk memperbaiki krisis, Sri Lanka sedang dalam pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk paket bailout, setelah menangguhkan pembayaran utang luar negeri sekitar USD 12 miliar pada bulan April.

Pemerintah Sri Lanka memperkirakan akan membutuhkan bantuan setidaknya USD 5 miliar untuk memenuhi impor penting selama sisa tahun ini.

Lenora bertekad untuk melakukan apa yang dia bisa untuk kehidupan yang lebih baik, untuk dia dan anak-anaknya.

“Saya ingin menghabiskan dua tahun di Kuwait kemudian saya yakin saya bisa mendapatkan dan menabung cukup untuk kembali,” katanya.

“Saya ingin mendidik anak perempuan saya. Itu yang terpenting,” terang Lenora.

Sumber : Kantor Berita REUTERS | Editor : Saud Rosadi

Tag: