Dari Pusat Perdagangan Heroin, Afghanistan Kini Memproduksi Sabu

Sebuah pusat rehabilitasi di Kabul merawat warga Afghanistan yang kecanduan sabu. (Foto Getty Images)

DI BAWAH sebuah jembatan yang ramai di ibu kota Afghanistan, Kabul, di antara tumpukan sampah yang berserakan dan aliran air kotor, hidup sekelompok pria tunawisma yang dilanda permasalahan narkoba.

“Ini bukan tempat yang layak bagi manusia,” kata Khudadad, seorang pria berusia 48 tahun. “Bahkan tidak layak untuk seekor anjing.”

Demikian BBC membuka laporannya yang dilengkapi dengan laporan tambahan oleh Sami Yousafzai dan Mahfouz Zubaide dan ditayangkan di BBC News Indonesia, 25 November 2020.

Khudadad kecanduan heroin dan metamfetamin – atau yang dikenal sebagai sabu – selama lima tahun terakhir. Heroin telah lama menjadi masalah di Kabul, tetapi sekarang banyak orang beralih ke sabu, narkoba yang lebih murah tapi sama bahayanya.

“Saat pertama kali saya mulai mengonsumsi, sabu belum terlalu umum,” kata Khudadad. “Tapi selama beberapa tahun terakhir, semakin banyak orang yang mulai mengonsumsinya.”

Sebuah laporan yang dirilis pada Selasa (24/11) memperingatkan bahwa Afghanistan kini menjadi produsen metamfetamin yang signifikan secara global. Ladang opium negara itu sudah menjadi sumber mayoritas heroin dunia, dan sekarang, laporan oleh Pusat Pemantauan Eropa untuk Narkoba dan Kecanduan Narkoba (EMCDDA), memperingatkan bahwa sabu terus berkembang dan diproyeksikan akan menjadi industri yang sama besar nilainya.

Lonjakan popularitas ini berkat hasil temuan para pengedar narkoba, bahwa sejenis tanaman yang biasa ditemukan tumbuh liar di beberapa bagian Afghanistan, yaitu ephedra, dapat digunakan sebagai komponen kunci sabu: efedrin.

“Ketika mereka sadar bahwa mereka bisa membuat metamfetamin dari tanaman liar dari pegunungan, ini mengubah segalanya,” kata David Mansfield, seorang pakar industri narkoba Afghanistan dan penulis utama laporan tersebut.

Laboratorium narkoba di Afghanistan sekarang memproduksi sabu dari tanaman yang biasa ditemukan di alam liar

Mansfield mengatakan para penyelundup narkoba sebelumnya mengekstrak efedrin dari obat-obatan impor yang lebih mahal. Tetapi, sekarang mereka dapat menggunakan alternatif yang jauh lebih murah ini, beserta beberapa “bahan kimia sederhana”.

Tanaman ephedra telah digunakan untuk membuat sabu di sejumlah tempat lain di dunia, meski tidak pada skala seperti yang ditemukan di Afghanistan. Dengan menggunakan citra satelit, serta wawancara dengan produsen-produsen narkoba di Afghanistan, Mansfield dan tim peneliti telah memetakan lebih dari 300 tempat yang dicurigai dipakai untuk laboratorium efedrin.

Jumlah signifikan itu hanya di satu distrik saja di Afghanistan barat, yaitu Bakwa. Daerah tersebut telah menjadi pusat perdagangan sabu di negara itu, tetapi Mansfield juga mulai mengidentifikasi laboratorium-laboratorium di sejumlah tempat lain.

Tim itu menemukan bahwa produksi metamfetamin adalah “proses dua tingkat”, dengan efedrin yang relatif mudah dibuat bahkan oleh orang-orang di rumah tangga miskin, yang kemudian menjualnya ke “juru masak sabu” yang lebih terspesialisasi.

Para peneliti dapat mengidentifikasi gambar-gambar letak laboratorium efedrin melalui limpahan air limbah dan tanaman efedra kering yang tersisa dari proses pembuatan dan dibuang di luar bangunan.

Efedra, tumbuhan yang mudah ditemukan, digunakan untuk memproduksi sabu.

Amerika Serikat di masa lalu telah melakukan serangan udara terhadap lokasi-lokasi di Afghanistan yang diduga adalah lobaratorium-laboratorium, dan mengebom 68 titik dalam satu hari pada Mei 2019. Tetapi kombinasi antara korban sipil, serta kemudahan membangun kembali pabrik-pabrik buatan itu menyebabkan program tersebut dihentikan.

Sementara, Taliban membebankan pajak kepada para pengedar narkoba. Laporan EMCDDA memperkirakan Taliban dapat memperoleh lebih dari $4 juta, atau sekitar Rp 56,7 miliar, dalam satu tahun dari distrik Bakwa saja, dengan jumlah akhir yang tergantung pada jumlah efedrin dan metamfetamin yang diproduksi.

Kelompok tersebut mengumpulkan pajak atas berbagai macam industri di wilayah yang berada di bawah kendalinya, meskipun mereka menyangkal kaitannya dengan perdagangan narkoba.

Dengan syarat anonimitas, seorang penyelundup Afghanistan mengatakan kepada BBC bahwa pajak dibebankan oleh pemberontak baik pada petani yang memanen tanaman ephedra, dan juga pada siapa pun yang mengangkut obat itu untuk dijual. “Ada pos pemeriksaan Taliban di mana-mana,” katanya, “jadi tidak bisa menyembunyikannya dari mereka.”

Ketika ditanya mengapa Taliban, mengingat ideologi Islam yang mereka anut, tidak menentang penjualan narkoba tersebut, penyelundup itu menjawab bahwa Taliban berkata, “kami sedang dalam perang, jadi tidak apa-apa, tetapi ketika waktu yang tepat tiba, kami akan melarangnya.”

Ada sekitar 300 tempat yang dicurigai sebagai laboratorium ditemukan oleh para peneliti di kabupaten Bakwa.

Sebagian sabu yang diproduksi di Afghanistan dikonsumsi di dalam negeri, atau di wilayah seberang perbatasan, yakni Iran. Namun, kini tampaknya sabu dari Afghanistan diperdagangkan lebih jauh lagi.

Tahun ini, ratusan kilogram narkoba yang bernilai puluhan juta dolar dan diduga berasal dari Afghanistan, ditemukan tersembunyi di dalam kapal kargo saat operasi pencarian oleh Angkatan Laut Sri Lanka, serta oleh pasukan-pasukan internasional yang berpatroli di Laut Arab. Ada kekhawatiran bahwa metamfetamin bisa masuk Eropa juga, melalui rute heroin yang sudah terbentuk dari Pakistan dan Iran dan kemudian menelusuri Afrika Timur.

Andrew Cunningham, seorang penulis laporan EMCDDA lain, mengatakan kepada BBC bahwa saat ini konsumsi metamfetamin di Eropa tidak “meluas”, tetapi menambahkan, “ada kemungkinan besar sabu akan melanjutkan perjalanannya ke Eropa pada suatu saat.”

Pihak berwenang di Australia telah memantau peningkatan penyitaan metamfetamin yang terkait dengan Afghanistan dan negera tetangga Iran dalam beberapa tahun terakhir, termasuk sejumlah besar narkoba yang dilarutkan dalam air mineral botolan yang mencakup beberapa peti pada April lalu. Nilai dari sitaan itu diperkirakan mencapai lebih dari $50 juta, atau sekitar Rp709 miliar.

Andrew Parkinson, yang mengetuai sebuah tim di Kepolisian Federal Australia yang melakukan analisis forensik narkoba yang dicegat, mengatakan kepada BBC bahwa hasilnya menunjukkan bahwa narkoba itu, “berasal dari bentuk alami efedrin, yang menunjukkan kepada kami produk awalnya adalah tanaman efedra.”

“Itu memberi kami amunisi untuk memberi dampak terhadap kelompok kejahatan terorganisir yang memproduksi metamfetamin ini dan mengirimkannya ke Australia,” katanya.

Meskipun sabu Afghanistan kemungkinan diekspor ke seluruh dunia, dampaknya dirasakan paling utama dan parah di jalanan-jalanan Kabul.

Kembali ke jembatan yang telah menjadi tempat berlindung bagi mereka yang kecanduan narkoba, seorang pria memberi tahu kami bahwa dia menghabiskan waktu berbulan-bulan mencari adik laki-lakinya, seorang pengguna sabu. “Ibu kami meninggal karena stres,” katanya.

Dengan ketidakstabilan yang terus berlanjut di negara itu, jumlah metamfetamin yang diproduksi dan jumlah nyawa yang dirusak olehnya sepertinya akan terus meningkat. “Bisnis tidak pernah semaju ini,” kata seorang penyelundup sambil tertawa.@

Tag: