
NIAGA.ASIA – Kalimantan Timur memasuki fase kritis kerusakan ekologis. Deforestasi terbesar nasional, akumulasi konsesi ekstraktif melebihi luas wilayah, serta ledakan peristiwa banjir dan longsor dalam enam tahun terakhir menjadi indikator bahwa provinsi ini berada di ambang bencana sistemik.
Data terbaru menunjukkan tekanan ekologis Kaltim mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dari total luas daratan 12,7 juta hektare, izin konsesi industri ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan, dan kehutanan yang menutupi area 13,8 juta hektare, melampaui luas wilayah administrasi.
Situasi tersebut dinilai mempercepat krisis hidrologis dan meningkatkan risiko banjir besar seperti yang terjadi di Sumatera, yang dilanda banjir lumpur berskala besar akibat kehilangan tutupan hutan.
Data pemantauan lingkungan mencatat lonjakan tajam kehilangan tutupan hutan sepanjang 2024.
Angkat deforestasi Kalimantan Timur menurut Yayasan Auriga Nusantara seluas 44.483 hektare dan KLHK-BRIN (Landsat) ± 30.000 hektare.
Sementara itu, Simontini menghitung total deforestasi nasional mencapai 261.575 hektare, dengan 97 persen berada di area berizin dan 38.615 hektare merupakan kawasan tambang. Kaltim menempati urutan pertama dari 10 provinsi penyumbang kehilangan hutan terbesar.
Adapun 10 Provinsi Penyumbang Deforestasi Tertinggi 2024, sebagai berikut:
1. Kaltim – 44.483 ha
2. Kalbar – 39.598 ha
3. Kalteng – 33.389 ha
4. Riau – 20.812 ha
5. Sumsel – 20.184 ha
6. Jambi – 14.839 ha
7. Aceh – 8.962 ha
8. Kaltara – 8.767 ha
9. Babel – 7.956 ha
10. Sumut – 7.303 ha
Selama periode 2018-2024, BPBD Kaltim mencatat 980 kejadian banjir. JATAM menyebut pola tersebut selaras dengan hilangnya tutupan hutan dan ekspansi tambang.
“Ini bukan bencana rutin. Ini akibat obral izin, reklamasi minim, pembukaan lahan masif, dan lemahnya penegakan hukum,” tegas Windy Pranata, Kepala Divisi Advokasi & Database JATAM Kaltim.
Beberapa banjir besar yang dianggap alarm serius:
– Berau (Mei 2021) – banjir terbesar 20 tahun, 2.308 KK terdampak
– Kutai Timur (Maret 2022) – dua kecamatan lumpuh
– Mahakam Ulu (Mei 2024) – banjir lima kecamatan, akses transportasi terputus
Kawasan paling kritis izin tambang yakni di Kutai Barat seluas 1,43 juta ha (82% wilayah), Kutai Timur seluas 1,6 juta ha (46% wilayah), Kutai Kartanegara dengan luasan 1,10 juta ha (40% wilayah).
JATAM menilai situasi kian memburuk setelah perubahan UU Minerba 2009, yang menarik kewenangan perizinan ke pusat. Kini hanya 30 inspektur tambang mengawasi ribuan titik izin aktif.
Sanga-Sanga RT 24 banjir tahunan memburuk, lumpur dari lubang tambang terbuka menerjang rumah
Kemudian, dielurahan Jawa, Sanga-Sanga terjadi kekeringan sumber air bersih, diduga terkait aktivitas PT Adimitra Baratama Nusantara
JATAM Kaltim pun mekomendasikan beberapa catatan penting. Di antaranya, cabut izin perusahaan yang terbukti merusak, hentikan ekspansi industri ekstraktif di wilayah hulu & DAS kritis, audit lingkungan total dan bekukan operasi tambang selama proses, penegakan hukum transparan & tegas, pemulihan lubang tambang dan kerusakan hidrologis, hingga kembalikan pengelolaan ruang kepada masyarakat dan adat.
Windy menegaskan bahwa tanpa keputusan politik yang tegas, daftar korban banjir, longsor, dan krisis kemanusiaan hanya akan terus bertambah.
Penulis : Putri | Editor : Intoniswan.
Tag: kerusakan ekologis