DEN: Transisi Energi Harus Cepat Terealisasi

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto. (Foto DEN)

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengungkapkan transisi energi diharapkan bisa terealisasi secepat mungkin guna mencapai ketahanan energi domestik. Dengan begitu, upaya ini bisa menghindarkan pada tingginya ketergantungan impor minyak dan Liquified Petroleum Gas (LPG).

“Harapan transisi ini cepat terealisasi. Kalau lambat nanti impor LPG, impor bensin, dan juga impor crude (minyak mentah) sebagai bahan baku kilang akan makin besar,” kata Djoko dalam program Cerita Hangat dan Asik Tentang (CHAT) Transisi Energi ke-4 yang diselenggarakan oleh DEN di akun Instagram resmi mereka, Selasa (8/12).

Lebih lanjut, Djoko menjelaskan transisi energi sebagai paradigma baru dalam pengelolaan sektor energi dan sumber daya mineral di Indonesia. “Kalau paradigma (pengelolaan energi) memang sudah mulai terjadi perubahan. Dulu energi kita itu menjadi andalan devisa negara dan pendapatan di APBN kita. Sekarang menjadi andalan utama bagi pertumbuhan ekonomi dan sebagai alat pencipta lapangan kerja,” tegasnya.

Bonus demografi dan pertumbuhan ekonomi menggeser kebutuhan konsumsi energi. Djoko menandai pergeseran paradigma ini ditandai dengan ketidakseimbangan antara produksi dan konsumi. “Dulu produksi kita terutama minyak melebihi dari kebutuhan. Produksi bisa1,5 juta barrel per day (bpd). Sementara konsumsi kita cuman 800 bpd. Sehingga kita bisa ekspor sebagai penghasil devisa,” katanya.

Namun seiring perkembangan zaman, tingkat konsumsi semakin meningkat dan tidak dibarengi dengan tingkat produktivitas energi fosil yang terus mengalami deklanasi. “Sekarang kontribusi hulu migas (sebagai penghasil devisa) sejak 2016 di bawah 10% sekitar 5-6%,” ungkap Djoko.

Guna menjawab tantangan tersebut, Pemerintah melalui Kementerian ESDM tengah menyiapkan regulasi khusus untuk mempercepat pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT). “Kementerian ESDM telah mengirimkan draft Peraturan Presiden (Perpres) EBT sehingga diharapkan EBT bisa terjangkau bagi masyarakat dan investor,” ungkap Djoko.

Ia mengakui selama ini harga EBT ini sulit bersaing dengan harga energi fosil. Padahal di saat pandemi harga minyak terseret hingga ke level paling rendah, sementara harga EBT tidak mengalami fluktuasi. “Makanya ada Undang-undang EBT dalam proses final, terumasuk perpresnya dalam soal harga,” ungkap Djoko.

Djoko berharap dengan adanya regulasi tersebut akan mempermudah para investor dalam menyiapkan infrastruktur EBT sehingga mempermudah penciptaan lapangan kerja. “Lapangan pekerja kita terus bertambah, Salah satu syarat bisa menciptakan lapangan kerja adalah adanya investasi. Berbagai kemudahan baik dari segi perizinan, peraturan, insentif termasuk pemberian subsidi sehingga diharapkan mendatangkan investasi,” jelasnya.

Kendati begitu, Djoko menegaskan pergeseran pola konsumi tidak akan mengancam keberadaan industri energi fosil. “Makanya (industri) batubara ini kita konversi menjadi energi yang bersih seperti gas, dan produk petrokimia seperti metanol maupun DME,” ungkapnya.

Terakhir, Djoko berharap dukungan dari semua pihak termasuk masyarakat dalam mempercepat realisasi transisi energi sehingga ketahanan energi bisa tercapai. “Ketahanan energi kita ditandai dengan kita bisa memanfaatkan energi yang ada dalam negeri sendiri baik fosil maupun nonfosil, tidak lagi impor energi fosil,” pungkasnya. (*/001)

Tag: