Di Balik Heboh Ibu Kota Baru, 19,3% Balita di Kaltim Kurang Gizi, 30,6% Stunting

aa
Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga Provinsi Kaltim, Hj Norbaiti Isran Noor, A.Md, SH. (Foto Dok Humas Kaltim)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Kalimantan Timur termasuk provinsi penuh misteri. Banyak sekali hal-hal tidak terduga terjadi di provinsi yang lahir 9 Januari ini. Misalnya, tak ada yang membayangkan provinsi yang memiliki hutan jutaan hektar, dalam kurun waktu 30 tahun, hutannya lenyap. Taman Nasional Kutai saat ditinggalkan Belanda kondisinya sangat bagus, malahan hancur setelah Indonesia Merdeka, juga dalam tempo sangat singkat.

Misteri teranyar dan bikin heboh adalah, Presiden Joko Widodo memutuskan ibu kota negara dipindahkan ke Kalimantan Timur, tepatnya di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara. Padahal Presiden RI Pertama sekaligus Proklamator, Soekarno dulu lebih tertarik memindahkan ibu kota negara ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Dipindahkannya ibu kota negara ke Kaltim, hingga saat ini masih topik pembicaraan, baik dikalangan petinggi maupun rakyat jelata. Berita tentang desain ibu kota negara yang baru bersilewaran di berbagai media, cetak, televisi, radio, dan median online, walau belum begitu terang benderang efek positifnya didapat rakyat.

Dari rentetan peristiwa menghebohkan dalam beberapa bulan belakangan di Kaltim, termasuk soal sekretaris Provinsi Kaltim yang masih kosong karena Gubernur Kaltim Dr. H Isran Noor tidak cocok dengan H Abdullah Sani, minggu ini yang bikin heboh sebetulnya istri gubernur Kaltim, Hj Norbaiti, A.Md, SH yang tak lain adalah Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan  Kesejahteraan  Keluarga (TP-PKK) Kaltim.

aa
Wagub Kaltim, H Hadi Mulyadi membuka Workshop Pekan ASI (Air Susu Ibu) Seduni Dalam Kerangka Percepatan Penurunan Stunting Di Provinsi Kaltim Tahun 2019, 17 September lalu. (Foto Dok Humas Kaltim)

Saat membuka kegiatan Workshop Pekan ASI (Air Susu Ibu) Sedunia Dalam Kerangka Percepatan Penurunan Stunting Di Provinsi Kaltim Tahun 2019, 17 September lalu, Norbaiti merilis angka balita dengan gizi buruk dan stunting yang mengkhawatirkan.

Apa yang diungkap Norbaiti sungguh mencengangkan dan membuat miris, bahkan dapat dikatakan menyayat hati, kenapa tidak di provinsi kaya raya, APBD-nya dalam hitungan di atas Rp10 triliun, dan anggaran kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim Tahun 2018  sebesar Rp 1,199 triliun, hanya terserap sebesar Rp 1,061 triliun (88,50%) dana yang tersisa sebesar Rp 137,961 miliar, masih dililit masalah kurang gizi.

Norbaiti mengungkap apa yang selama ini tersembunyi. Menurutnya, saat ini Kaltim masih menghadapi beban gizi ganda (double burden), yaitu masalah kekurangan gizi (undernutrition) dan masalah kelebihan gizi (overnutrition).

Hasil pemantauan status gizi (PSG) di Kaltim, kata Norbaiti, tahun 2015-2017 menunjukkan trend atau kecenderungan perbaikan status gizi pada balita.

“Pada tahun 2015 balita kurang gizi di Kaltim sebesar 19,1%, meningkat pada tahun 2016 menjadi 19,8% dan turun menjadi 19,3% tahun 2017,” ungkapnya.

Untuk prevelensi balita kurus di Kaltim, pada tahun 2015 sebesar 11,9%, tahun 2016 menjadi 9,6% dan tahun 2017 tinggal 9,1%.

Namun prevelensi balita pendek mengalami kenaikan, hasil PSG tahun 2015 menunjukkan sebesar 26,6%, pada tahun 2017 naik menjadi 27,1%, dan tahun 2017 naik lagi ke angka 30,6%.

“Dapat disimpulkan bahwa balita stunting (pendek), perlu dilakukan percepatan pencegahannya dan intervensi stunting menjadi prioritas di Provinsi Kaltim,” kata Norbaiti.

Menurut Norbaiti, pemberian makan yang baik sejak lahir hingga anak berumur dua tahun merupakan salah satu upaya mendasar untuk menjamin pencapaian kualitas tumbuh kembang sekaligus memenuhi hak anak.

Mengutip hasil penelitian yang dilakukan WHO dan UNICEF, dikatakan, lebih dari 50% kematian anak balita terkait dengan keadaan kurang gizi dan 2/3 diantara kematian tersebut terkait dengan praktek pmberian makan yang kurang tepat pada bayi dan anak, seperti tidak dilakukan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) dan pemberian MP-ASI (Makanan Pendamping ASI) yang terlalu cepat atau terlambat diberikan.

“Keadaan demikian akan membuat daya tahan tubuh lemah, sering sakit dan gagal tumbuh. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah kekuarangan gizi pada bayi dan anak balita melalui pemberian yang makanan bayi dan anak yang baik dan benar, menjadi agenda penting demi menyelamatkan generasi masa depan,” kata Norbaiti.

Penulis : Intoniswan | Editor : Intoniswan