GAPKI: Perdagangan Sawit Masih Positif, Ekspor Tembus Rp440 Triliun

Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjono (niaga.asia/Nur Asih Damayanti)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) melaporkan nilai ekspor kelapa sawit di Indonesia yang berhasil dicapai pada 2024 sebesar USD 27,76 miliar atau sekitar Rp440 triliun.

Demikian dsampaikan dalam rapat kerja cabang GAPKI Cabang Kalimantan Timur, di Hotel Aston Jalan Pangeran Hidayatullah, Samarinda, Kamis 31 Juli 2025.

Ketua Umum GAPKI diwakili Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjono menerangkan, di tahun 2022, industri kelapa sawit Indonesia mencatat rekor devisa ekspor sebesar USD39 miliar atau sekitar Rp600 triliun.

“Sejauh ini neraca perdagangan sawit masih positif (terjaga),” kata Mukti.

Selain itu, implementasi bahan bakar nabati alternatif terbarukan atau biodiesel pada tahun 2023 berhasil menghemat devisa negara hingga Rp120,54 triliun.

Diterangkan, industri kelapa sawit ini juga banyak menyerap tenaga kerja lokal, dan juga berkontribusi dalam penyediaan bahan pangan, sumber energi terbarukan, sekaligus mendorong pertumbuhan perekonomian pada masing-masing daerah, khususnya Kaltim.

“Saya kira seperti Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Kutai Barat dan Paser menjadi contoh nyata transformasi ekonomi berbasis kelapa sawit, yang sebelumnya wilayah tersebut fokusnya sektor kehutanan,” ujar Mukti.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan Kaltim 2025, dari 263 perusahaan perkebunan di Kaltim hanya 30 persen perusahaan perkebunan yang bergabung sebagai anggota GAPKI.

“Baru 79 perusahaan yang bergabung dalam ke anggotaan GAPKI,” sebut Mukti.

“Sebagai mitra strategis pemerintah dalam mewujudkan tata kelola industri kelapa sawit berkelanjutan, maka diharapkan seluruh perusahaan di Kaltim bisa bergabung dalam keanggotaan GAPKI,” tambahnya.

Meskipun industri kelapa sawit cukup menjanjikan, namun masih terdapat beberapa tantangan yang dihadapi perusahaan sawit di lapangan, di antaranya rendahnya hasil produksi kepala sawit, hingga penyelesaian permasalahan perkebunan sawit yang masuk dalam kawasan hutan.

Selain itu, maraknya pencurian tanda buah segar (TBS) sawit dan keberadaan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) tanpa kebun dan berondolan sawit, merujuk pada perjanjian kerja sama (PKS) yang tidak memiliki kebun sendiri, dan hanya mengandalkan pasokan TBS serta berondolan dari pihak lain.

Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif seperti persaingan tidak sehat, dan juga penurunan mutu TBS.

“Meskipun begitu, kita tetap harus optimistis karena permintaan dalam negeri dan luar negeri terhadap kelapa sawit untuk kebutuhan pangan, kebutuhan energi dan kebutuhan industri masih tinggi,” demikian Mukti Sardjono.

Penulis: Nur Asih Damayanti | Editor: Saud Rosadi

Tag: