Hari Antikorupsi, KPK Ingatkan PNS Tak Jual-Beli Jabatan dan Uang Ketok Palu

aa
Ketua KPK, Agus Rahardjo saat memantau aktifitas penambangan dan lalulintas batubara di Sungai Mahakam, Samarinda. (Foto Istimewa)

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahadjo menggunakan momen Hari Antikorupsi 2018 untuk mengingatkan pegawai negeri sipil (PNS) atau penyelenggara negara menghindari perilaku koruptif.

Agus mengatakan kasus-kasus yang masih sering ditemukan di kalangan PNS, khususnya di pemerintah daerah, adalah jual-beli jabatan. “Sering terjadi teman-teman di SKPD (satuan kerja perangkat daerah) yang mau naik jabatan, promosi, mutasi, bayar, itu juga enggak boleh. Dilaporkan saja kalau ada yang seperti itu,” kata Agus saat ditemui usai menghadiri peringatan Hari Antikorupsi 2018 di depan Kantor Wali Kota Bekasi, Jawa Barat, Minggu (9/12).

KPK: Hentikan Tindakan Korup di Penambangan dan Perdagangan Batubara

KPK Gagas Pembentukan Komite Advokasi Daerah Antikorupsi

Selain itu, kata Agus, ada dua jenis korupsi yang biasanya dilakukan kalangan PNS, yaitu suap dan mark-up pengadaan barang. Ia mengatakan dua hal itu terjadi karena masih ada mental koruptif abdi negara. Agus mengatakan selama ini KPK memiliki keterbatasan dalam menangani korupsi di kalangan PNS. Biasanya KPK mendapat suntikan bantuan dari laporan-laporan masyarakat, khususnya orang dekat pelaku korupsi.

“Saya beri contoh yang paling manjur, paling akurat, laporan dari orang sekitarnya. Jadi kenapa kami bisa menangkap, karena yang melaporkan bisa sekdanya, bisa kepala dinasnya. Malah ada satu daerah di Jawa Timur yang melaporkan istrinya,” tambah dia.

Sebab itu, Agus meminta masyarakat dan juga PNS berperan aktif jika menemukan hal mencurigakan terkait korupsi, kolusi, dan nepotisme di instansi pemerintah. “Arah kita untuk pencegahan. Saya menangkap orang tidak bergembira. Dalam hati saya juga menangis, sama seperti keluarga. Karena itu partisipasi bapak dan ibu sangat kami harapkan,” tutur Agus.

Uang Ketok Palu

Sementara Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarief mengaku heran dengan istilah uang pokok pikiran alias pokir dan uang ketok palu di kalangan oknum lembaga legislatif. Padahal untuk kasus uang pokok pikiran, Laode mengatakan menyampaikan gagasan kepada eksekutif (pemerintah pusat dan daerah) dalam rancangan penyusunan anggaran dan uu merupakan tugas legislator (DPR, DPRD dan DPD). Seharusnya penyusunan anggaran tersebut tidak perlu menggunakan uang pokir lantaran sudah menjadi tugas mereka selaku legislator.

“Seharusnya kalau mendiskusikan sesuatu dia harus berpikir kan tidak boleh tidak berpikir, tapi sekarang itu harus dibayar khusus ada uang pokok pikiran, memang seperti itu agak aneh,” ujar Laode dalam sebuah diskusi di Taman Suropati, Jakarta Pusat, Minggu (9/12).

Sementara uang ketok palu yang biasanya digunakan untuk mengesahkan penyusunan anggaran oleh oknum legislatif rawan. Laode menjelaskan uang pokir dan uang ketok palu sudah menjadi satu rangkaian dalam penyusunan dan pengesahan anggaran.

Apabila uang pokir dan uang ketok palu ini tidak dipenuhi niscaya penyusunan anggaran menjadi terhambat. “Mereka meminta sesuatu mulai dari awal tidak akan disetujui anggaran kabupaten, provinsi atau bahkan kementerian, lembaga kalau tidak ada uang ketok palu,” paparnya.

Salah satu kasus yang akrab dengan istilah uang ketok palu adalah korupsi suap Gubernur Jambi nonaktif Zumi Zola.  Dia menyuap sejumlah anggota DPRD Provinsi Jambi agar menyetujui Rancangan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi Jambi tahun anggaran 2017-2018. Jumlah uang yang direalisasikan mencapai Rp13,09 miliar dan Rp3,4 miliar.

Sumber: CNN Indonesia