Hasil Survei BPJS, Peserta Keluhkan Layanan Dokter

 

AA

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-“Tahun 2018, Indonesia merayakan hari kemerdekaan yang ke-73. Sayangnya, di usia yang semakin matang, belum sepenuhnya makna kemerdekaan yang rakyat Indonesia rasakan. Salah satunya dalam hal mendapatkan pelayanan berkualitas dari Jaminan Kesehatan Nasional, seperti BPJS. Masih banyak PR yang harus dibenahi oleh BPJS untuk mencapai target sebagai jaminan sosial yang memenuhi dan meningkatkan kesehatan masyarakat.”

Pernyataan tersebut menjadi kesimpulan sejumlah narasumber yang mengisi acara konferensi pers “Merdeka dari Sakit: Refleksi Jaminan Kesehatan Nasional” yang diadakan oleh Perkumpulan Prakarsa, sebuah institusi riset yang bergerak dalam bidang pembangunan dan kesejahteraan, Selasa (14/08) lalu.

Diskusi media ini dihadiri anggota DPR Komisi IX RI, Deputi Direksi Bidang Pembiayaan Kesehatan BPJS, Wakil Ketua Komisi Kebijakan DJSN, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan dari Kemenkes RI, serta Edi Haryadi selaku suami dari pasien BPJS yang melayangkan gugatan hukum terkait penghapusan pembiayaan obat trastuzumab, mengupas tuntas apa adanya tentang pencapaian serta kekurangan layanan BPJS yang masih harus dibenahi di Indonesia. Simak penjelasan selengkapnya.

Evaluasi Kinerja Direksi BPJS

“Per 1 Agustus 2018, total kepesertaan JKN-KIS di Indonesia mencapai 200.290.000 jiwa,” ungkap dr. Budi Mohamad Arief selaku Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan. Artinya, Universal Healthcare Coverage (UHC) di Indonesia baru mencapai sekitar 75% dari jumlah penduduk Indonesia. Dewan Jaminan  Sosial Nasional (DJSN) mengharapkan BPJS Kesehatan lebih meningkatkan mutu pelayanan, bila pemerintah Indonesia ingin mencapai target 100% kepesertaan JKN di tahun 2019.

Berbicara tentang hak-hak kesehatan yang selayaknya diterima penduduk Indonesia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menegaskan pentingnya implementasi pelayanan kesehatan nasional yang berkualitas sesuai kebutuhan, tanpa menyebabkan kesulitan keuangan bagi masyarakat di setiap negara.

Sayangnya, capaian kepersertaan BPJS di Indonesia belum merefleksikan kualitas layanan yang ditemukan di lapangan. Pelayanan kesehatan memang sudah berjalan cukup baik, namun belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip asuransi sosial-kesehatan nasional. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Perkumpulan Prakarsa tahun 2017 pada 1.343 peserta BPJS Kesehatan kelas III, baik peserta mandiri maupun Peserta Bantuan Iuran (PBI) di 11 kabupaten/kota di Indonesia, ditemukan sejumlah kendala. Berikut diantaranya:

Kurangnya Kepedulian Dokter

Sebanyak 51% peserta BPJS merasa bahwa dokter kurang peduli, 15% merasa bahwa tenaga kesehatan kurang berkenan dengan skema BPJS, dan 13% menyatakan bahwa dokter datang tidak tepat waktu sehingga pasien menunggu antrian semakin lama. Kondisi ini juga ditemui di layanan kesehatan swasta. Banyak pihak menginginkan ke depan, skema asuransi sosial yang diusung oleh BPJS, murni ditujukan sepenuhnya untuk pemenuhan hak-hak kesehatan warga negara.

Praktik Penyelewengan dalam Pelaksanaan JKN

Tidak sedikit penyedia layanan kesehatan, baik milik pemerintah maupun swasta, yang masih kerap melakukan kondisi moral hazard. Berikut ini sejumlah potensi fraud yang bisa dilakukan dari pengelolaan BPJS.

Dana kapitasi, yaitu pembayaran bulanan yang harus disetorkan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat pertama (FKTP) berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Seperti, manipulasi laporan medis. Manipulasi tindakan medis. Pelayanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien. Penyalahangunaan kartu BPJS, dan double claim.

Sistem Rujukan yang Birokratis

Sebesar 29,85% pasien menyatakan bahwa prosedur dan alur rujukan untuk memperoleh surat rujukan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) berbelit-belit, dan 23,88% pasien melaporkan tidak mendapatkan surat rujukan karena tidak diperkenankan oleh dokter di FKTP. Sementara 19,78% dari pasien yang telah mendapatkan surat rujukan, mengeluhkan keterbatasan waktu penggunaan surat rujukan.

Selain itu, menurut sekitar 68,33% pasien BPJS, lokasi FKTL cenderung jauh dari tempat tinggal mereka, sehingga pasien BPJS harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk membayar ambulan. Kondisi-kondisi inilah yang pada akhirnya mengurungkan niat warga untuk mengakses layanan kesehatan di FKTL.

Keterbatasan Obat

Obat merupakan komponen terpenting dalam pelayanan kesehatan. Sayangnya, keluhan akan ketiadaan obat, masih menjadi keluhan dari sekitar 41,76% pasien BPJS. Secara umum, situasi ini disebabkan oleh 2 hal, yaitu:

Kurang memadainya sistem penyediaan obat  di apotek, puskesmas, dan rumah sakit  setempat. Beberapa obat tidak dijamin oleh Kemenkes/JKN dan BPJS Kesehatan sehingga tidak ada pilihan bagi pasien BPJS selain, membeli obat sendiri.

Keterbatasan obat ini bahkan telah menyinggung ranah hukum. Salah satu contohnya, adalah kasus Juniarti (46), peserta BPJS yang didiagnosis kanker payudara HER2 stadium 3B. Pihak keluarga Juniarti telah mengajukan permohonan pada BPJS Kesehatan untuk tetap memberikan trastuzumab, obat kanker yang sebelumnya menurut Keputusan Menteri Kesehatan tentang Formularium Nasional 2018, diwajibkan dan dijamin ketersediaannya oleh BPJS Kesehatan bagi penderita kanker.

Namun permohonan tersebut ditolak. Per tanggal 21 Agustus 2018, bersama kuasa hukumnya, Juniarti akhirnya menjadwalkan sidang pertama terkait gugatan hukum kepada Direksi BPJS Kesehatan dan Presiden Joko Widodo atas penghapusan penjaminan obat lini pertama trastuzumab, bagi peserta BPJS. Gugatan ini dilayangkan agar kedepannya penderita kanker payudara di Indonesia bisa mendapatkan hak pengobatan yang semestinya.

Biaya Out of Pocket

Biaya out of pocket (OOP) dipahami sebagai kondisi ketika pasien BPJS harus menghabiskan sebagian besar pendapatan pribadinya untuk membiayai perawatan kesehatan. Menurut survei, aspek yang sering menjadi biaya out of pocket bagi pasien BPJS diantaranya obat, pelayanan darah, rawat inap, alat kesehatan, persalinan istri, biaya screening kesehatan, tindakan bedah atau non-bedah oleh dokter spesialis, rehabilitasi medis, pemeriksaan pasca persalinan, pelayanan jenazah, pemeriksaan kehamilan, dan layanan KB. Sekitar 50,5% – 71,9% pasien BPJS menyatakan bahwa biaya tambahan layanan kesehatan ini memengaruhi dan menyulitkan kondisi ekonomi rumah tangga mereka.

Mengutip Irma Suryani Chaniago, anggota Komisi IX DPR-RI, sudah semestinya BPJS menjadi program jaminan sosial kesehatan yang menguntungkan. Terutama bagi rakyat Indonesia yang sulit menyisihkan dana untuk berobat ke dokter. Karena itu tentunya wajar jika masyarakat Indonesia mengharapkan kinerja direksi, regulasi BPJS, dan komitmen APBN yang kurang optimal, kerap dievaluasi.

Pengurus BPJS harus mampu mengkoordinasikan penyelenggaraan layanan kesehatan dan menyingkirkan kepentingan-kepentingan egosektoral agar kualitas pelayanan kesehatan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia kian merata.

Sumber: Viva.co.id