Hermanus Barus: Pedagang Bakso Bayar Pajak Rp150 Juta/Bulan

barus
Hermanus Barus; “Baru 39 persen masyarakat membayar PBB”. (intoniswan)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Pendapatan asli daerah (PAD) Kota Samarinda membaik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017 realisasinya menembus Rp519 miliar. Jauh meningkat dibandingkan tahun 2016 yang baru Rp391 miliar.

“Di dalam PAD itu termasuk pajak restoran yang menjual bakso, menyetor sampai Rp150 juta per bulan. Artinya omset baksonya sekitar Rp1,5 miliar per bulan,” kata Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Samarinda, Hermanus Barus dihadapan peserta Musrenbang RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) Samarinda Tahun 2019 di Ball Room Kantor Bankaltimtara, Rabu (21/3).

Dalam lima tahun terakhir karena terpengaruh gejolak ekonomi yang turun naik, PAD Samarinda juga naik turun. Tahun 2013 PAD Samarinda Rp338 miliar, tahun 2014 Rp435 miliar, tahun 2015 turun lagi menjadi Rp408 miliar, dan tahun 2016 Rp391 miliar. “Tahun 2017 kembali naik ke angka Rp519 miliar,” kata Barus.

Menurut Barus, kendala paling besar dihadapi meningkatkan pendapatan pajak adalah budaya tak sadar pajak di masyarakat dan model usaha masyarakat yang masih tradisional, tanpa pembukuan, serta ada yang mengelak dari kewajiban membayar pajak dengan berbagai cara.

Untuk meningkatkan pendapatan pajak restoran, sudah dilakukan dengan menggunakan teknlogi digital dan tersambung ke internet, tapi hasilnya belum maksimal, karena wajib pajak mengubah printer yang dipakainya di mesin kasir, sehingga tidak konek secara online ke Bapenda. “Mereka tukar-tukar alat dari yang kita rekomendasikan,” ujarnya.

Kemudian restoran yang dikelola secara kekeluargaan (tradisonal) juga tak maksimal membayar pajak, jauh dibawah taksiran Bapenda. Restoran tradisional itu tanpa pembukuan, tanpa dilengkapi mesin kasir, sehari-hari berjualan tanpa nota. Bahkan yang menjalankan restoran juga berganti-ganti tiap minggu dari anak ke anak pemiliknya. “Kondisi demikian juga menyulitkan,” katanya.

Tapi hal yang baru ditemukan di lapangan, lanjut Barus, anak muda (kaum milineal) yang menjalankan usaha restoran malahan sangat taat pajak, tidak ada merasa keberatan diwajibkan mengeluarkan 10% dari produk yang dijualnya. “Ada restoran penjual bakso membayar pajak Rp150 juta per bulan, mereka bayar,” terangnya.

Budaya taat membayar PBB, kata Barus, juga masih rendah, ada sekitar 216 ribu persil tanah wajib membayar PBB tiap tahun, tapi yang membayar hanya sekitar 39% setiap tahunnya. “Jadi kita perlu kampanye sadar pajak besar-besaran,” katanya.

Disebutkan Barus,  rasio PAD Samarinda terhadap PDRB sesama kota di Indonesia, Samarinda pada angka 0,68%, atau berada diurutan keenam setelah kota Bandung, Jakarta, Bogor, Bandung, dan Surabaya. “Rasio yang dicapai itu cukup bagus karena penduduk Samarinda masih dibawah satu juta jiwa,” ungkapnya.

PAD Samarinda Rp519 miliar dibandingkan pendapatan transfer dan dana perimbangan sebesar Rp1,252 triliun, rasionya pada angka 41,49 persen. “Masih tergolong dalam kelompok rendah,” kata Barus. “Meski demikian, potensi yang belum tergarap masih cukup besar. Untuk lebih maksimal lagi perlu kampanye sadar pajak besar-besaran dan dukungan teknologi,” tambahnya.

Rincian PAD Samarinda tahun 2017 bersember dari PPJ (Pajak Penerangan Jalan) Rp99,139 miliar, BPHTP (Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan) Rp56,6 miliar, pajak restoran Rp44,947, PBB-P2 (Pajak Bumi dan Bangunan-Perkotaan-Pedesaan) Rp38,749, pajak hotel Rp25,757 miliar, pajak hiburan Rp19 miliar, pajak reklame Rp6,804 miliar, pajak parkir Rp7,742 miliar, kemudian pajak yang dalam hitungan jutaan adalah pajak air bawah tanah Rp46 juta, pajak mineral (galian C) Rp13 juta, dan sarang burung walet Rp5 juta. (001)