Hilangnya Keanekaragaman Hayati Berdampak Negatif pada Ekosistem Bumi

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko. (Foto BRIN)

JAKARTA.NIAGA.ASIA – Hilangnya keanekaragaman hayati berdampak negatif pada ekosistem bumi, karena mengancam kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan manusia. Kondisi ini semakin memburuk dari waktu ke waktu akibat pemanfaatan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan dan bersifat irreversible.

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko mengatakan itu saat menyusun kerangka kolaborasi I Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama negara anggota G20 melalui pelaksanaan 2nd Research and Innovation Initiative Gathering (RIIG), pada 25 Agustus 2022 di Hotel JW. Marriott, Jakarta dengan mengusung  tema “Enhancing Collaboration on Research and Innovation through Sharing Facilities, Infrastructure and Funding”.

Laporan global menunjukan bahwa berkurangnya keanekaragaman hayati semakin menimbulkan ancaman bagi kelangsungan hidup, kesejahteraan, dan keamanan ekosistem manusia. Untuk memastikan keberlangsungan keanekaragaman hayati, kolaborasi antar periset dan optimalisasi infrastruktur bersama sangat diperlukan.

Membangun ekosistem penelitian dan inovasi yang kuat merupakan salah satu agenda penting presidensi G20 dalam merespon krisis dan tantangan global. Untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, negara anggota G20 perlu menunjukkan kepemimpinan dan kolaborasi yang kuat dalam riset dan inovasi sebagai penggerak dalam menemukan solusi untuk masalah global. Satu salah satu masalah global yang paling penting saat ini adalah hilangnya keanekaragaman hayati atau biodiversitas.

Menurut Laksana Tri Handoko, semakin memburuknya atas kondisi keanekaragaman hayati saat ini, menuntut semua pihak harus bertanggung jawab.

“Penduduk bumi perlu bertanggung jawab untuk mengambil sikap dalam memastikan penggunaan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan, serta mencari solusi untuk menekan hilangnya keanekaragaman hayati,” ujar Handoko.

Handoko berharap, melalui gelaran G20, riset dan inovasi dapat memberikan kontribusi ilmiah melalui inisiatif penelitian, penyusunan skema, kolaborasi dan inovasi untuk memperkaya kebijakan global lingkungan.

Dia menjelaskan, sebagai negara lahan gambut tropis terbesar di dunia, Indonesia telah melakukan konservasi dan restorasi dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati.

“Indonesia menjadi contoh bagi dunia untuk memulihkan 3,6 juta hektar ekosistem lahan gambut pada tahun 2020, dengan melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta dan masyarakat,” jelas Handoko.

“Namun riset dan inovasi dalam ilmu bioteknologi yang lebih maju masih diperlukan. Kondisi ini juga dirasakan oleh negara anggota G20 lainnya. Sehingga diperlukan inisiatif dalam pengembangan kapasitas dan kolaborasi penelitian untuk berbagi pengetahuan serta transfer teknologi antar negara,” tambahnya.

Pelaksanaan RIIG ini akan mengusung skema sharing infrastruktur, fasilitas, dan pendanaan untuk mengoptimalkan upaya dalam menjaga keanekaragaman hayati dan pemanfaatannya untuk ekonomi hijau dan biru.

Plt. Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi, Agus Haryono sekaligus menjabat sebagai Chair pada perhelatan RIIG mengatakan, saat ini terdapat beberapa kelompok atau institusi riset di bidang biodiversitas, yang dibentuk dengan beragam misi dan skema kolaborasi, seperti e Group of Senior Officials on Global Research Infrastructure (GSO on GRI), Global Research Collaboration for Infectious Diseases Preparedness (GLOPID-R), European Research Infrastructure (ERI), Global Biodiversity Information Facility (GBIF), dan ASEAN Center For Biodiversity (ACB).

“Namun institusi riset tersebut tidak secara khusus berfokus pada sharing infrastruktur, fasilitas, dan pendanaan untuk konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan,” ujar Agus.

Oleh karena itu, ungkap Agus, RIIG mengusulkan Global Biodiversity Research and Innovation Platform (GBRIP), sebuah platform kolaborasi yang memberikan peluang kepada negara maju dan negara berkembang untuk melaksanakan tanggung jawab dalam konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, serta pemanfaatan sumber daya alam yang adil dan merata.

RIIG juga merupakan peluang bagi Indonesia melalui BRIN, untuk menunjukan kapasitas kepemimpinan dalam menginisiasi program riset, inovasi, dan kelestarian lingkungan di tingkat internasional.

Dikatakan Agus, infrastruktur, fasilitas, dan pendanaan merupakan faktor penting dalam keberhasilan riset dan inovasi.

“Periset perlu mendapat akses luas terhadap faktor-faktor tersebut untuk menjamin kualitas penelitiannya agar dapat mengalir dari hulu ke hilir. Namun, ketersediaan infrastruktur dan fasilitas penelitian bervariasi di tiap negara. Sehingga diperlukan upaya agar celah kebutuhan riset dapat terkikis dan equal untuk seluruh negara dalam menghadapi tantangan global,” tutur Agus.

Sumber: Humas BRIN | Editor: Intoniswan

Tag: