Ilmuwan Indonesia dan Jerman Ciptakan Terobosan Pemetaan Gambut

gambut
Penebangan pohon di lahan gambut dilakukan di wilayah Kerumutan, Provinsi Riau, beberapa tahun silam. Pemetaan gambut dengan skala rinci harus dilakukan. (AFP/Getty Image)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Masih ingat kebakaran hutan dan lahan pada 2015 lalu? Gara-gara rangkaian peristiwa itu, 19 nyawa melayang, 100.000 jiwa terancam meninggal dunia secara dini, dan kerugian ekonomi mencapai Rp221 triliun. Di antara yang terbakar, lahan gambut merupakan kawasan paling banyak yang dilalap api.

Ini sangat membahayakan karena berdasarkan data World Resources Insitute, setiap hektare gambut tropis yang dikeringkan untuk pengembangan perkebunan mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton C02 setiap tahun, kurang lebih setara dengan membakar lebih dari 6.000 galon bensin.

Untuk melindungi lahan gambut, langkah pertama adalah memetakannya. Indonesia sebenarnya punya tiga peta gambut, yakni peta dari Program Prencanaan Fisik Regional untuk Transmigrasi (1989), Wetland Internasional (2004), Kementerian Pertanian (2011).

Masalahnya, skala pada ketiga peta itu terlalu kecil, yakni 1 banding 250.000. “1 banding 250.000 artinya 1 cm di peta setara dengan 2,5 kilometer di lapangan. Mungkin kalau perencanaan, masih oke. Tapi kalau keperluan yang lebih detil di level tapak, misalnya untuk restorasi, penentuan mana yang dibudidayakan, mana yang harus dikonservasi, kan repot kalau skala terlalu kecil. Salah tarik garis di lapangan nanti bermasalah,” papar Hasanuddin Abidin, Kepala Badan Informasi Geospasial.

Kebutuhan peta gambut yang lebih detil diamini Nazir Foead, kepala Badan Restorasi Gambut—badan yang ditugas Presiden Joko Widodo untuk memulihkan lahan gambut seluas dua juta hektare selama lima tahun sejak 2016. “Untuk keja restorasi gambut, kita butuh peta dengan skala sampai 1:2.500. Kita melakukan kajian pemetaan terakhir ini dengan foto udara dan LiDAR. Itu dibutuhkan sekitar US$5 per hektare,” kata Nazir.

Sepanjang 2016-2017, menurut Nazir, BRG telah memetakan hampir 900 ribu hektare dari target 2,4 juta hektare. Jika seluruh target lahan gambut dipetakan dengan biaya US$5 per hektare, biaya yang akan dihabiskan mencapai US$12 juta atau Rp162 miliar.

Lebih murah

Guna membuat peta gambut yang lebih detil, lebih cepat, dan lebih murah, Badan Informasi Geospasial membuat sayembara dua tahun lalu yang diikuti sejumlah tim ilmuwan baik dari Indonesia maupun mancanegara.

Pada 2 Februari lalu, sebuah tim yang terdiri dari ilmuwan Indonesia, Jerman, dan Belanda diumumkan sebagai pemenang.  Tim bernama International Peat Mapping itu beranggotakan Florian Siegert, Uwe Ballhorn, Peter Navtratil, Hans Joosten, Muh Bambang Prayitno, Bambang Setiadi, Felicitas von Poncet, Suroso dan Solichin Manuri.

gambut
Kebakaran yang diduga disengaja di Kabupaten Rokan Hulu, Kecamatan Rokan IV Koto, pada Sabtu (02/07). (Besta Junandi)

Berkat teknologi yang mereka kembangkan, pemetaan gambut bisa lebih rinci dengan skala 1 banding 50.000 atau 1 cm di peta setara dengan 500 meter di lapangan. Biayanya pun jauh lebih rendah.

Bambang Setiadi, salah satu anggota tim yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Riset Nasional, mengklaim metode pemetaan yang dikembangkan pihaknya, biaya yang diperlukan untuk memetakan lahan gambut mencapai US$0,65 hingga US$1,61 per hektare.

Tim tersebut mengombinasikan teknologi berbasis satelit, LiDAR (teknologi dengan cahaya laser untuk menciptakan peta permukaan bumi tiga dimensi), dan pengeboran di sejumlah titik di lapangan.

Metode ini pula yang membuat ongkos pemetaan menjadi lebih rendah, menurut Bambang Setiadi. “Karena kita tidak menggunakan pencitraan satelit yang menjangkau seluruh area. Kita hanya mengambil belahan di suatu lahan gambut dan melihat belahan itu menggunakan satelit. LiDAR memang ada kelemahan, kalau cakupannya luas, biayanya juga mahal,” terang Bambang.

Meski ongkosnya lebih rendah, kualitas pemetaan yang dihasilkan cukup tinggi.

Bahkan, tim tak hanya mengetahui lokasi gambut, tapi juga jenis tanaman yang menutupi lahan gambut, kedalaman gambut, dan kandungan air di dalamnya.

“Dengan teknologi yang kita tawarkan ini, kita bisa mengamati ketebalan gambut dan hal-hal yang terkait dengan air di dalam gambut. Sehingga kita bisa membuat rekomendasi-rekomendasi, misalnya berapa banyak bendungan yang bisa dibuat agar air tidak keluar dari lahan gambut,” katanya.

Siap digunakan

Dengan adanya metode pemetaan gambut yang dihasilkan Bambang Setiadi dan rekan-rekannya, Badan Restorasi Gambut siap menggunakannya. Namun, BRG masih menunggu teknologi itu mendapat Standar Nasional Indonesia (SNI).  “Kalau sudah distandarisasi dengan SNI, semua pihak harus menggunakan, pemerintah apalagi. Swasta juga bisa menggunakan,” cetus Kepala BRG, Nazir Foead.

Bagaimanapun, karena proses mengurus SNI cukup lama, Badan Informasi Geospasial akan mengeluarkan peraturan agar teknologi pemetaan gambut yang baru bisa digunakan.  “SNI itu kan lama, satu hingga dua tahun. Minimal 18 bulan. Biar cepat, saya akan mengeluarkan peraturan kepala BIG, mengikat BIG dan wali data-wali datanya,” tegas Kepala BIG, Hasanudin Abidin.

Penulis: Intoniswan

Editor: Intoniswan

Sumber: BBC Indonesia