‘Indonesia Bisa Kolaps Jika Terus Bergantung pada Gandum Impor’

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, mengatakan harga mi instan bakal naik hingga tiga kali lipat menyusul melonjaknya harga gandum. Namun, Direktur PT Indofood, Franky Welirang, memastikan kalaupun ada kenaikan harga mi instan tidak akan semengerikan yang disebutkan Menteri Pertanian. (Foto HO/NET)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Indonesia disebut bakal “kolaps” jika tidak segera memperkuat diversifikasi pangan di tengah meningkatnya konsumsi masyarakat pada gandum yang berasal dari impor, bahan utama antara lain untuk mi.

Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa mengatakan konsumsi gandum di Indonesia dalam 30 tahun mendatang bisa mencapai 50% atau mengalahkan beras.

Anggota Komisi IV DPR dari partai PDI Perjuangan, Ono Surono, mengatakan kekhawatiran itu bisa saja terjadi jika pemerintah tidak segera bertindak.

Karenanya ia mendesak Kementerian Pertanian membuat rencana strategis pembangunan pertanian yang tujuannya mempopulerkan kembali tanaman pangan lokal Indonesia.

Pernyataan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, soal harga mi instan bakal naik hingga tiga kali lipat menyusul melonjaknya harga gandum akibat perang Rusia-Ukraina, membuat gusar masyarakat.

Di Indonesia gandum impor dipergunakan untuk pangan yang populer seperti mi instan, pasta, roti, biskuit, dan bakmi basah.

“Jadi hati-hati yang makan mi banyak dari gandum besok harga (naik) tiga kali lipat itu,” tutur Syahrul Yasin Limpo dalam diskusi webinar Selasa kemarin.

Seorang penjual bakmi di Cengkareng, Desvi, bahkan mengatakan mi sudah menjadi makanan sehari-hari layaknya nasi. Dalam sehari ia bisa menjual mi ayam 20 sampai 30 porsi.

Karena itulah, kenaikan harga bahan baku gandum bakal menyulitkan usaha keluarganya yang sudah dimulai 10 tahun silam.

“Kok bisa naik tiga kali lipat? Saya khawatir dong. Soalnya gandum, beras, itu sudah kebutuhan pokok,” ujar Desvi.

Akan tetapi Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Kasan, mengatakan dampak langsung perang Rusia-Ukraina tidak besar.

Sejauh ini klaimnya, pasokan gandum masih cukup aman lantaran banyak pelaku usaha yang mengalihkan impor gandumnya dari negara lain seperti Australia dan Amerika Serikat.

Pantauan Kemendag, harga gandum pada Juli 2022 sudah mulai turun atau kembali ke sebelum perang terjadi.

“Karena peak price sudah terlewati hampir semua komoditas,” katanya.

Adapun Direktur PT Indofood, Franky Welirang, memastikan kalaupun ada kenaikan harga mi instan tidak akan semengerikan yang disebutkan Menteri Pertanian.

“Harga mie instan bisa saja naik, bisa saja. Tapi kalau ada pernyataan yang mengatakan bisa 3 kali lipat, itu berlebihan. sangat-sangat berlebihan,” kata Franky seperti dilansir Detik.com.

Konsumsi pangan dari gandum meningkat terus

Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, mencatat angka konsumsi pangan lokal dari gandum di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.  Kalau pada 1970-an porsi pangan lokal dari gandum di bawah 5%, pada 2010 sudah di angka 18%.

 

Kenaikan harga bahan baku gandum dinilai bakal menyulitkan usaha bakmi, roti, dan berbagai kuliner lainnya. (Foto HO/Net)

Selang 10 tahun kemudian atau pada 2020, menurut data yang dimiliki Andreas, konsumsi gandum di masyarakat mencapai 26% dan tahun ini lebih dari 27%. Membesarnya tingkat konsumsi gandum ini, kata dia, disebabkan beberapa hal.

Pertama karena harganya murah. Sebelum konflik Ukraina dan Rusia meletus, harga tepung gandum berada di kisaran antara Rp8.500 – Rp9.000. Sementara tepung sorgum dan tapioka berkisar di antara Rp16.000 – Rp30.000 perkilogram.

Bahkan jika dibandingkan dengan beras kualitas medium, masih lebih murah.

“Lebih rendah dibanding beras medium yang harganya Rp10.400,” ujar Dwi Andras Santosa kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (11/08).

Kedua karena sesuai dengan selera orang Indonesia.

“Gandum ini mengubah selera dan pola makan. Itu dilakukan industri gandum puluhan tahun dengan mengeluarkan dana ratusan triliun. Anak sekarang disuruh makan pecel yang merupakan pangan lokal kita mau tidak? Tidak kan. Tapi kalau ditawari pizza, pasti langsung mau,” sambungnya.

Ketiga, tidak adanya diversifikasi pangan. Sejak kebijakan menjadikan beras sebagai makanan pokok nasional di masa pemerintahan Orde Baru, konsumsi bahan pangan lokal seperti sagu, jagung, dan sorgum menurun.

Namun belakangan, konsumsi beras nasional juga mulai turun dan telah tergeser oleh gandum.

“Pertumbuhan konsumsi pangan dari gandum di Indonesia tiap tahun naik 16,5% bisa dibayangkan?” ujarnya.

Itu mengapa Andreas memprediksi konsumsi gandum di Indonesia dalam 30 tahun mendatang bisa mencapai 50% atau mengalahkan beras.

Kondisi tersebut, katanya, bukan suatu hal yang baik mengingat selama tiga tahun berturut-turut Indonesia menjadi negara importir gandum terbesar di dunia.

Badan Pusat Statitik (BPS) mencatat angka kebutuhan impor gandum Indonesia pada 2019 sebesar 10,69 ton; kemudian pada 2020 mencapai 10,29 ton; dan tahun 2021 naik menjadi 11,17 ton.

Indonesia, menurut Andreas, bahkan bisa “kolaps” kalau harga gandum dunia meroket seperti sekarang atau jika negara yang memproduksi gandum memutuskan menghentikan ekspornya.

“Kalau ada goncangan harga gandum dunia, kolaps lah Indonesia.”

Apa yang bisa dilakukan pemerintah?

Untuk mengatasi besarnya ketergantungan Indonesia pada sumber pangan impor, Andreas mengatakan satu-satunya jalan adalah mulai dari sekarang melaksanakan kebijakan diversifikasi pangan dengan sungguh-sungguh. Sebab kalau menanam gandum tak cocok dengan iklim di Indonesia.

Gagalnya program diversifikasi pangan dinilai karena tidak adanya rencana strategis pembangunan pertanian yang dibuat oleh pemerintah.  (Foto Istimewa/Niaga.Asia)

Pengamatannya, program-program pengembangan pangan lokal yang menyasar komoditas seperti sagu, aneka umbi, hingga labu kuning kerap gagal lantaran masih tingginya ketergantungan terhadap beras.

Komisi IV DPR dari Partai PDI Perjuangan, Ono Surono, membenarkan pernyataan Andreas itu. Kata dia, gagalnya program diversifikasi pangan disebabkan tidak adanya rencana strategis pembangunan pertanian yang dibuat oleh pemerintah.

“Pemerintah harus punya blue print (cetak biru) pembangunan pertanian. Harus ada pola pembangunan berencana yang mengintegrasikan semua menjadi pegangan seluruh instansi pemerintah mulai dari pusat hingga desa,” jelas Ono Surono kepada BBC News Indonesia, Kamis (11/8).

Rencana strategis pembangunan pertanian itu, ujarnya, bisa dengan menyerahkan lahan mangkrak yang dikuasai korporasi untuk dikelola masyarakat menanam tanaman berbasis kearifan lokal. Ia mencontohkan sentra tanaman jagung bisa dibudayakan di Sulawesi dan sagu di Papua.

Dalam skala lebih kecil, mendorong pertanian berbasis pekarangan rumah. Yaitu memanfaatkan kelompok ibu-ibu di tiap desa untuk menanam tanaman pangan.

“Ini harus diintegrasikan semua kekuatan pemerintah. Termasuk TNI-Polri, masyarakat juga harus dilibatkan. Kadang masyarakat diberi program tanpa didampingi, dipaksa cetak sawah padahal air susah.”

“Sebab mau tidak mau, pangan menjadi kekuatan sebuah negara menghadapi ancaman ke depan. Kalau tidak diperhatikan, ya tidak akan kuat negara itu.”

Soal anggaran, Kementerian Pertanian memiliki anggaran Rp90 triliun rupiah. Dana sebesar itu dapat difokuskan untuk program-program pertanian.

“Tinggal sekarang apakah itu (program pertanian) kurang menjadi fokus pemerintah?”

Dirjen Tanaman Pangan Suwandi belum menjawab permintaan wawancara BBC News Indonesia.

Tapi untuk mencari alternatif pengganti gandum serta mengurangi ketergantungan impor terhadap produk pangan tersebut, pemerintah sedang mengembangkan sentra sorgum di Nusa Tenggara Timur.

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menargetkan pada tahun ini setidaknya terdapat 15.000 hektare lahan yang sudah ditanami sorgum.

**) Artikle ini berasal dari BBC News Indonesia yang sudah tayang dengan judul; Harga mi instan bakal naik, ‘Indonesia bisa kolaps jika terus bergantung pada gandum impor’

Tag: