Indonesia Gugat Uni Eropa ke WTO Atas Tuduhan ‘Diskriminasi Sawit’

Hasil produksi buah kelapa sawit PT Sebakis Inti Lestari (Foto : Humas Pemkab Nunukan/Niaga.Asia)

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Pemerintah Indonesia mengajukan gugatan melawan Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kebijakan-kebijakan yang dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.

Hal itu diungkapkan Kementerian Perdagangan dalam pernyataan tertulis mereka (15/12). Gugatan, yang diajukan melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss, menentang kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation yang diterapkan Uni Eropa.

Rencana penghentian pemakaian minyak sawit sebagai bahan bakar hayati di Uni Eropa pada 2030 tercantum dokumen Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II (RED II).

Pelarangan akan berlaku total mulai 2030 dan pengurangan dimulai sejak 2024. Negara-negara anggota Uni Eropa menyoroti masalah deforestasi alias perusakan hutan akibat adanya budidaya sawit yang masif.

Menurut Kemendag, kebijakan-kebijakan tersebut membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit sehingga berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar Uni Eropa. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan permintaan konsultasi, sebagai tahap inisiasi awal gugatan, telah dikirimkan pada 9 Desember 2019 kepada Uni Eropa.

“Keputusan ini dilakukan setelah melakukan pertemuan di dalam negeri dengan asosiasi/pelaku usaha produk kelapa sawit dan setelah melalui kajian ilmiah, serta konsultasi ke semua pemangku kepentingan sektor kelapa sawit dan turunannya,” ujarnya.  Menurut Mendag, gugatan itu menunjukkan keseriusan Pemerintah Indonesia dalam melawan dugaan diskriminasi yang dilakukan Uni Eropa.

‘Pemerintah Indonesia keberatan’

Lebih lanjut, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Indrasari Wisnu Wardhana, menjelaskan, melalui kebijakan RED II, Uni Eropa mewajibkan penggunaan bahan bakar yang dapat diperbarui di wilayah mereka mulai tahun 2020 hingga 2030.

Sementara, kata Wisnu, Delegated Regulation, yang merupakan aturan pelaksana RED II, mengelompokkan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi. Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan Uni Eropa.

“Pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak kelapa sawit oleh Uni Eropa,” ujar Wisnu.  “Selain akan berdampak negatif pada ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa, juga akan memberikan citra yang buruk untuk produk kelapa sawit di perdagangan global,” katanya.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Iman Pambagyo, mengatakan gugatan dapat dilakukan jika suatu negara menganggap kebijakan yang diambil negara anggota lain melanggar prinsip-prinsip yang disepakati dalam WTO.

Sebelumnya, kata Iman, Pemerintah Indonesia telah menyampaikan keberatan atas kebijakan Uni Eropa ini di berbagai forum bilateral, baik dalam Working Group on Trade and Investment Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) dan pertemuan Technical Barriers to Trade Committee di WTO.

“Namun, kita harus tetap mempertegas keberatan Indonesia terhadap kebijakan UE tersebut,” ujar Iman.

Dalam beberapa kesempatan, sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyoroti dampak budidaya sawit terhadap lingkungan.Greenpeace, misalnya, mengklaim sebuah perusahaan sawit telah menghancurkan 70.000 hektare hutan hujan di seluruh Asia Tenggara dalam dua tahun, termasuk di Indonesia.

Pegiat lingkungan Eropa menyebut pembukaan lahan yang terjadi akibat perluasan perkebunan sawit menyebabkan gas rumah kaca yang tidak dapat dinetralisir. Kampanye melawan sawit digaungkan agar negara-negara berhutan tropis seperti Indonesia dan Malaysia berhenti eksploitasi lahan untuk sawit.

Berdasarkan data GAPKI, pada 2018 ekspor sawit Indonesia ke Uni Eropa 4,7juta ton, 60% di antara digunakan untuk biofuel.  Jumlah itu mencapai 14% dari total ekpor sawit Indonesia.

Sumber: BBC News Indonesia

 

Tag: