Ini Akar Masalah Jual-Beli LKS di SDN 017 Sungai Pinang Samarinda

Buku LKPD kelas 2 di SDN 017 Sungai Pinang, yang jumlahnya belum mencukupi kebutuhan seluruh siswa. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Keresahan salah satu orang tua kelas 2B, Shanty Ramadhania, terkait adanya dugaan praktik jual-beli buku LKS senilai Rp140 ribu di SDN 017 Sungai Pinang langsung mendapat respon dari pihak wali kelas, kepala sekolah dan Disdikbud Kota Samarinda.

Berdasarkan penelusuran Niaga.Asia, Sabtu (27/9) saat pertemuan TWAP Samarinda, Disdikbud Samarinda dan pihak sekolah. Rupanya penjualan buku LKS berawal dari keterbatasan distribusi buku Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) yang disediakan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda.

Jumlah LKPD yang dicetak tidak sebanding dengan total keseluruhan siswa, sehingga kelas 2 tercatat belum mendapatkan buku hingga September ini. Atas dasar kondisi itu, sebagian orang tua meminta adanya buku lain sebagai referensi untuk anak-anak mereka.

Dijelaskan Kepala SDN 017 Sungai Pinang, Dahlina, bahwa sebenarnya, sejak awal pihak sekolah sudah menyampaikan keterbatasan distribusi LKPD gratis. Khususnya untuk kelas 2 yang hanya memiliki dua rombongan belajar (rombel) dengan total 56 siswa.

“Buku LKPD untuk kelas 2 baru 30, sehingga kurang karena siswa kelas 2 ada 56 orang. Akhirnya buku itu belum kami bagikan, karena khawatir adanya kecemburuan bagi mereka yang belum dapat. Makanya, 2 kelas ini ganti-gantian menggunakan buku yang ada,” ujarnya.

Tidak hanya karena keterbatasan distribusi, penjualan LKS ini juga berawal dari adanya permintaan sebagian orang tua yang ingin memiliki buku tambahan untuk mengajari anaknya belajar di rumah.

“Wali murid kelas 2 melaporkan ada orang tua yang minta buku sebagai referensi untuk anak-anak bisa belajar di rumah, berupa LKS yang materinya nyambung dengan LKPD. Orang tua juga sempat galau itu, karena sudah setengah semester hanya belajar buku HET. Lalu saya katakan, kita tidak boleh jual buku,” jelasnya.

Namun, pertimbangan kemudian muncul saat orang tua tetap meminta solusi agar tersedia buku dengan harga terjangkau, berbeda dari buku-buku yang umumnya dijual di pasaran dengan harga mahal. Buku LKS ini dianggap hanya sebagai pelengkap, bukan kewajiban di sekolah. Penggunaannya juga terbatas hanya sebagai kebutuhan belajar mandiri anak di rumah.

“LKS ini tidak dibawa ke sekolah, hanya untuk pembelajaran di rumah masing-masing. Untuk mempermudah orang tua mengajarkan anak-anaknya. Karena kadang, ada yang anaknya itu paham di sekolah, tapi ketika sampai di rumah, lupa sudah. Nah orang tua ini kan mau mengajarinya bingung bagaimana. Makanya mereka minta buku referensi,” terangnya.

Kepala SDN 017 Sungai Pinang Dahlina dan Wali Kelas 2B SDN 017 Sungai Pinang Umi Maulidah. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

Di tempat yang sama, Wali Kelas 2B SDN 017 Sungai Pinang Umi Maulidah memberikan penjelasan terkait dugaan praktik jual-beli buku LKS. Menurutnya, isu ini berawal dari komunikasi di grup WhatsApp paguyuban orang tua kelas 2B.

“Memang ada orang tua yang menanyakan soal buku LKS di grup, ini orang tua pindahan dari sekolah swasta ke negeri. Setelah itu juga japri ke saya. Tapi saat itu belum sempat saya balas, pesan tersebut sudah ditarik kembali oleh yang bersangkutan. Jadi saya pikir nanti saja saya balas saat suasana lebih tenang. Tapi setelah saya mau jawab, chat itu sudah tidak ada lagi,” paparnya.

Tak lama berselang, Shanty datang langsung ke sekolah pada tanggal 25 September untuk menanyakan hal tersebut. Di situ, Umi kembali menegaskan bahwa keberadaan LKS ini tidak wajib dibeli, melainkan permintaan sebagian orang tua. Permintaan ini juga ada sebelum anak dari Shanty Ramadhania pindah ke SDN 017 Sungai Pinang.

“Ibu ini bertanya kenapa ada pengadaan buku. Saya katakan begini, sebelumnya memang ada permintaan orang tua untuk pendamping belajar di rumah. Bukan atas semerta-merta kami yang mengadakan buku tersebut. Sudah saya jelaskan bahwa buku itu agar sebagian orang tua mudah mengajari anak-anaknya di rumah,” bebernya.

Menurut Umi, sejumlah orang tua merasa kesulitan ketika mendampingi anaknya belajar di rumah tanpa buku pegangan. Sebab tidak semua siswa bisa langsung mengingat kembali materi yang disampaikan guru di sekolah.

“Anak-anak kan berbeda-beda pemahaman saat menangkap pelajaran. Ada yang cepat tangkap, ada yang begitu sampai rumah lupa lagi. Nah, LKS ini dianggap bisa membantu orang tua dalam mengajarkan ulang materi,” katanya.

Terkait harga, Umi menyebutkan bahwa LKS ditawarkan seharga Rp20 ribu per buku untuk tujuh mata pelajaran, sehingga totalnya Rp140 ribu. Namun ia kembali menegaskan bahwa pembelian LKS tidak pernah dipaksakan.

“Ini murni atas dasar permintaan orang tua. Tidak ada kewajiban untuk membeli. Bahkan buku itu tidak dipakai di kelas, hanya untuk pegangan belajar di rumah,” tegasnya.

Kabid Pembinaan Sekolah Dasar Disdikbud Kota Samarinda Ida Rahmawati. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

Menanggapi keresahan itu, Kabid Pembinaan Sekolah Dasar Disdikbud Kota Samarinda, Ida Rahmawati, yang hadir langsung di SDN 017 Sungai Pinang menyampaikan hasil dari kunjungannya tersebut.

“Dari hasil pertemuan ini, kita coba untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Sudah jelas bahwa terjadinya penjualan buku di sini bukan atas kemauan sekolah, tapi atas permintaan orang tua sebagai bahan referensi belajar di rumah. Bahkan, tidak semua orang tua membeli LKS tersebut, hanya sebagian kecil saja,” ungkapnya.

Ida menjelaskan bahwa Pemkot Samarinda sebenarnya telah menyalurkan LKPD gratis, namun keterbatasan data jumlah siswa-siswi di Samarinda membuat distribusi tahun ini tidak sesuai kebutuhan riil di lapangan.

Data yang digunakan oleh Disdikbud adalah pendataan November 2024, sementara pada tahun ajaran 2025 jumlah siswa mengalami penambahan karena adanya mutasi dari sekolah swasta ke negeri serta tambahan rombongan belajar (rombel).

“Penganggaran kita kan sistemnya sebelum tahun berjalan ya, baru kita menganggarkan. Kita input diakhir tahun, sedangkan SPMB lewat tahun. Jadi kita tidak tahu prediksi siswa itu bertambah atau berkurang. Nggak mungkin kita mengubah Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), otomatis mengadakannya di perubahan,” imbuhnya.

Pihak SDN 017 Sungai Pinang menerima kunjungan TWAP Samarinda dan Disdikbud Samarinda untuk menindaklanjuti polemik dugaan praktik jual-beli buku LKS. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

Disdikbud Samarinda pun sudah menyiapkan solusi dengan mencetak tambahan LKPD untuk menutup kekurangan tersebut. Kira-kira, Minggu depan sudah ada tambahan buku yang akan disalurkan ke sekolah-sekolah.

“Kami sedang lengkapi administrasi serah terima, semoga minggu depan bisa segera didistribusikan,” katanya.

Ditegaskannya kembali larangan bagi sekolah memperjualbelikan buku dalam bentuk apa pun. Namun, ia mengakui bahwa kasus ini viral karena adanya miskomunikasi, kurangnya pemahaman publik bahwa inisiatif pembelian LKS datang dari permintaan orang tua, bukan dari sekolah.

“Orang mungkin tahunya ada penjualan, padahal faktanya itu permintaan orang tua. Mereka merasa harga buku di toko-toko terlalu mahal, ada yang Rp70 ribu sampai Rp80 ribu. Jadi mereka meminta solusi ke sekolah. Tapi sekali lagi, itu sifatnya sukarela, tidak diwajibkan, dan hanya untuk kelas 2 saja. Kelas lain 1,3,4,5,6 tidak ada,” tuturnya.

“Teman-teman TWAP juga sudah konfirmasi ke sekolah-sekolah, ke orang tua yang ada di sekitar sini, dan memang kondisi seperti itu atas kemauan mereka. Termasuk bu RT juga sudah ditanyakan. Jadi kami minta orang tua bersabar, karena buku LKPD tambahan sudah tersedia. Ke depan, kami juga akan lebih teliti dalam pendataan agar tidak terjadi lagi kekurangan distribusi,” tutupnya.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan

Tag: