Ini Rangkaian Ketidakadilan yang Diterima Dosen UWGM Samarinda Sri Evi Newyearsi

Dosen UWGM yang dinonaktifkan Sri Evi Newyearsi (kanan), bersama kuasa hukumnya Titus Tibayan Pakalla. (Foto Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Penonaktifan sementara Sri Evi Newyearsi, yakni salah satu dosen di Universitas Widya Gama Mahakam (UWGM) Samarinda menuai keberatan keras dari pihak kuasa hukum.

Melalui Kantor Hukum TTP & Partner Law Office, kuasa hukum Titus Tibayan Pakalla, menyatakan langkah universitas tersebut tidak hanya merugikan kliennya, tetapi juga menyesatkan dan berpotensi mencemarkan nama baik.

“Ini fitnah mencemarkan nama baik klien kami,” ujarnya pada Rabu siang (6/8).

Dalam keterangannya kepada wartawan, ia menjelaskan rangkaian kronologinya. Pada bulan September 2024, Sri Evi yang sejak tahun 2016 menjabat sebagai Kepala UPT Laboratorium Fakultas Kesehatan Masyarakat di UWGM tiba-tiba diberhentikan dari jabatan strukturalnya.

Sri Evi menerima surat non-job tanpa adanya evaluasi atau diskusi terlebih dulu dari pihak kampus. Saat mencoba meminta klarifikasi, ia hanya diberi alasan yang dianggap subjektif, yakni ‘karena jenuh’.

“Jenuh dalam artian apa, kalau bisa alasan itu berdasarkan aturan,” jelasnya.

Tidak puas dengan jawaban itu, ia kemudian melaporkan permasalahan tersebut ke Dinas Tenaga Kerja Kota Samarinda. Sri Evi menilai pemberhentian tidak berdasar dan mencurigai adanya pelanggaran ketenagakerjaan oleh UWGM, terutama terkait besaran upah yang diterimanya selama menjabat.

Proses mediasi pun akhirnya ditempuh, mulai dari bipartit hingga tripartit. Bahkan dilakukan hingga lima kali mediasi, yang menurut Sri Evi benar-benar menandakan tidak adanya iktikad baik dari pihak kampus.

Disnaker Kota kemudian menyarankan untuk melanjutkan ke Disnakertrans Provinsi Kaltim, karena muncul dugaan pelanggaran ketentuan upah minimum.

“Jika ada pertanyaan kenapa baru sekarang bicara soal upah, klien saya juga enggak tahu kalau upahnya dibawah UMK/UMR,” sebutnya.

Hasil pemeriksaan dari pihak pengawas ketenagakerjaan provinsi menyimpulkan bahwa telah terjadi kekurangan pembayaran upah kepada Sri Evi sejak 2016. Penetapan itu pun menjadi dasar hukum untuk melanjutkan perkara ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Samarinda.

Namun, dalam sidang PHI, muncul putusan sela yang menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa perkara tersebut. Kuasa hukum Sri Evi kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hingga saat ini, proses hukum masih berjalan di tingkat kasasi.

Tak lama berselang, pada 1 Agustus 2025, Sri Evi menerima surat penonaktifan sementara sebagai dosen UWGM. Surat tertanggal 30 Juli 2025 itu diterima melalui email. Dalam surat ini disebutkan bahwa ia dinonaktifkan karena sedang menjalani proses hukum di ‘Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur’, yang menurut kuasa hukumnya merupakan kekeliruan fatal.

“Klien saya tidak pernah berperkara di Pengadilan Tinggi Kaltim. Saat ini proses hukum ada di Mahkamah Agung, bukan di Pengadilan Tinggi,” tegasnya.

Ia menyebut bahwa narasi tersebut berpotensi memfitnah dan mencemarkan nama baik dari kliennya. Penonaktifan ini dinilai tidak hanya merugikan Sri secara pribadi dan profesional, tapi juga berdampak langsung kepada para mahasiswa.

Sebagai seorang dosen pembimbing skripsi dan pengampu KKN, Sri Evi Newyearsi pun mengaku banyak mahasiswa bimbingannya kini kehilangan arah.

“Mahasiswa masih terus menghubungi saya hanya untuk minta tanda tangan, untuk maju pendadaran, dan konsultasi KKN. Saya harus menjelaskan satu per satu bahwa saya tidak bisa membimbing lagi karena dinonaktifkan,” tutur Sri Evi.

Disebutkannya, ada sekitar 10 mahasiswa bimbingan dan satu kelompok KKN, yakni Kelompok 27, yang kini telah terhenti proses akademiknya. Ia juga menyayangkan tidak adanya pemberitahuan resmi dari pihak kampus kepada mahasiswa.

“Yang membuat surat kampus, tapi saya yang harus meminta maaf dan menjelaskan kepada mahasiswa. Itu sangat tidak adil,” keluhnya.

Selain menyurati LLDIKTI Wilayah XI Kalimantan pada tanggal 4 Agustus sebagai bentuk keberatan resmi, kuasa hukum Sri Evi juga berencana mengirim somasi pada pihak UWGM dalam waktu dekat.

Mereka menilai isi surat penonaktifan tidak akurat, mencemarkan nama baik, dan benar-benar menyudutkan kliennya seolah-olah sedang menghadapi perkara hukum berat.

Di sisi lain, Sri Evi juga menyoroti dampak administratif atas penonaktifan ini. Ia turut menyebut tidak bisa menyelesaikan pelaporan BKD (Beban Kinerja Dosen) yang dibutuhkan untuk proses jabatan fungsional sebagai lektor.

“Di bulan September 2025, saya seharusnya mengurus jabatan fungsional. Tapi dengan status nonaktif, semua data tidak bisa saya isi,” terangnya.

Mengakhiri pernyataannya, ia mengungkapkan bahwa proses hukum yang ditempuh selama ini murni untuk mencari keadilan atas hak-haknya sebagai seorang pekerja, bukan bentuk pelanggaran etik maupun kriminal.

“Saya tetap hadir di kampus membimbing, menguji, mendampingi mahasiswa PBL, saya tidak pernah membuat keributan. Tapi saya justru dinonaktifkan tanpa dasar yang kuat,” pungkasnya.

Hingga berita ini diturunkan, pihak Universitas Widya Gama Mahakam belum memberikan pernyataan resmi terkait penonaktifan dosen atas nama Sri Evi Newyearsi.

Media Niaga.Asia sejak Rabu (6/8) dari pukul 17.23 hingga Kamis (7/8) pukul 11.53 masih berusaha menghubungi Rektor UWGM Samarinda Husaini Husman. Namun tidak ada respon terhadap kasus penonaktifan ini.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan

Tag: