Ini Sederet Keuntungan Pengembangan PLTS Atap

Direktur Jenderal, Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana.

JAKARTA.NIAGA.ASIA-Mendorong target bauran energi baru terbarukan (EBT), pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap menjadi salah satu perhatian Pemerintah. Bahkan Kementerian ESDM memasang target kapasitas terpasang pembangkit tersebut pada angka 3,6 Giga Watt (GW) di tahun 2025.

Direktur Jenderal, Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengungkapkan tingginya minat masyarakat kepada PLTS Atap akan memberikan peluang terhadap menurunnya konsumsi sumber energi fosil, yaitu batubara.

“Terjadi penghematan dari konsumsi batubara sekitar 3 juta ton (per tahun),” kata Dadan pada diskusi virtual bertajuk Green Talk: Gotong Royong Mendorong Energi Surya di Jakarta, Senin (25/8).

Berdasarkan laporan dari International Renewable Energy (IRENA), penggunaan energi bersih tersebut mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 121.500 orang dan penurunan potensi Gas Rumah Kaca sebesar 5,4 juta ton CO2.

“Ini akan ada investasi tambahan sekitar Rp45-64 triliun,” sambung Dadan.

Potensi bisnis lain yang bisa dihasilkan adalah mendorong terciptanya green product. “Di dalam sistem perdagangan internasional mulai ada mekanisme baru bahwa produk itu harus dibuat dengan proses-proses yang lebih bersih sehingga produknya dikategorikan green produk dan tidak terkena pajak tambahan,” jelas Dadan.

Pemerintah menyadari pengembangan PLTS atap yang semakin masif dapat mengurangi pertumbuhan pendapatan PT PLN (Persero).

“Yang pertama pasti terjadi pengurangan pendapatan. Ini tidak bisa dihindari. Kalau 3,6 GW ini terpasang, setahun berkurang sekitar Rp5,7 triliun,” Dadan menegaskan.

Namun di sisi lain, hal tersebut juga dapat menurunkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PLN.

“Potensi untuk menurukan BPP sebesar 12, 6 per kWh, mengurangi subsidi Rp0,9 triliun dalam satu tahun, termasuk kompensasi dari pemerintah Rp2,7 triliun,” ungkap Dadan.

Manfaat bisnis lain yang mampu dibangun adalah ekspor – impor (eksim) listrik. ” Pengadaan ekpor – impor diprediksi menghasilkan bisnis baru senilai Rp2 – 4 triliun,” ungkap Dadan.

Revisi Regulasi Tahap Persetujuan Presiden

Saat ini, pemerintah sendiri tengah mengkaji skema baru perhitungan ekspor impor listrik PLTS Atap. Nilai transaksi eksim akan ditingkatkan dari sebelumnya 60% ke 100%. Skema ini nantinya akan tertuang dalam regulasi baru, yakni Rancangan Revisi Permen PLTS Atap Nomor 49 tahun 2018 yang tengah selesai tahap harmonisasi.

“Cukup panjang prosesnya dari Januari 2021. Tanggal 18 Agustus 2021 baru keluar berita acara, harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM sudah selesai,” beber Dadan.

Dadan menegaskan, proses panjang aturan hukum PLTS Atap ini berdasarkan kebijakan bahwa semua aturan – aturan hukum termasuk Peraturan Menteri yang sifatnya strategis diharuskan mendapat izin Presiden RI.

“Menteri ESDM sudah mengirim surat ke Presiden tanggal 29 Juni 2021 melalui Sekretariat Kabinet. Sekarang kami sedang berproses untuk memastikan izin Presidennya keluar. Biasanya tidak lama,” tegas Dadan.

Poin penting lain dalam aturan baru tersebut adalah jangka waktu proses perizinan pemasangan PTLS Atap diatur menjadi 5 hari dan mengatur juga mekanisme pelayanan berbasis aplikasi. Ketentuan lain yang direvisi adalah terkait reset deposit sisa saldo kWh PLTS Atap. Ketentuan yang berlaku bila jumlah energi listrik yang diekspor lebih besar dari jumlah energi listrik yang diimpor, selisih lebih diakumulasikan paling lama 3 bulan akan diperpanjang menjadi 6 bulan.

Dadan menambahkan bahwa revisi Permen PLTS atap ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen di 2025 dan target penurunan gas emisi rumah kaca. Program ini juga tengah didorong untuk menjadi proyek strategis nasional.

“Kalau kita menunjukkan market 500 MW, industri hulu akan masuk. Kita ciptakan pasar, investasi akan masuk,” pangkas Dadan.

Sumber : Humas Kementerian ESDM | Editor : Intoniswan

Tag: