Inilah Temuan Ombudsman Tentang Aktivitas Pertambangan Ilegal


Laode Ida. (Foto Ombudsman)

JAKARTA.NIAGA.ASIA– Ombudsman RI telah menyelesaikan kajian sistemik terkait pengawasan terintegrasi dalam rangka pencegahan dan penegakan hukum pertambangan ilegal. Adapun temuan Ombudsman RI adalah pertama, mengenai pola aktivitas pertambangan ilegal, kedua pengabaian kewajiban hukum oleh Pemerintah dalam tata kelola Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan ketiga masih lemahnya pengawasan pemerintah dan aparat penegak hukum terhadap pertambangan ilegal.

Hasil tinjauan lapangan Ombudsman RI menemukan beberapa Pola pertambangan illegal yang dilakukan diantaranya Pertambangan tanpa izin (PETI) oleh masyarakat, pertambangan tanpa izin oleh oknum kelompok masyarakat/ormas, pertambangan ilegal oleh Badan Usaha Pemilik IUP NonC&C, Pertambangan Ilegal di dalam kawasan hutan tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Terkait dengan maraknya aktivitas pertambangan illegal oleh masyarakat disebabkan karena sulitnya untuk mendapatkan akses legal terhadap Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

Anggota Ombudsman RI, Laode Ida menjelaskan  terdapat dua permasalahan pokok dalam penerbitan dan tata kelola IPR oleh Pemerintah baik pusat dan provinsi. Pertama, belum adanya peraturan di tingkat Pemprov yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan tata kelola IPR. Kedua, mengenai penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR).

“Banyaknya pertambangan ilegal yang dilakukan masyarakat karena WPR yang telah ditetapkan pemerintah tidak memiliki kandungan mineral dan batubara. Sehingga banyak yang menambang secara ilegal di wilayah yang memiliki potensi tambang, padahal di dalam ketentuan UU Minerba tepatnya di Pasal 24 dijelaskan bahwa Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR.” terang Laode Ida dalam Konferensi Pers daring di Kantor Ombudsman RI, Jalan HR Rasuna Said Jakarta Selatan, Rabu (15/7/2020).

Untuk itu, menurut Laode pemerintah perlu melakukan inventarisasi pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat dengan diikuti penetapan WPR oleh Menteri ESDM sebagaimana ketentuan Pasal 24 UU Minerba.

Selain itu perlu  penyederhanaan regulasi dengan mengutamakan kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh IPR. Dengan adanya  legalisasi, masyarakat memiliki kepastian dalam usaha serta berkontribusi terhadap pendapatan negara dan penyerapan tenaga kerja.

Maraknya aktivitas pertambangan ilegal juga terjadi karena belum adanya ketentuan mengenai mekanisme pencegahan pertambangan ilegal dalam peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan sektor kehutanan yang telah memiliki UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan.

Ombudsman juga menemukan lemahnya pengawasan pemerintah dan aparat penegak hukum terhadap pertambangan ilegal. Salah satu temuan Ombudsman di wilayah Molawe Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Terdapat beberapa perusahaan pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tetap melakukan aktivitas di lapangan, meskipun berstatus non-Clean and Clear (CnC) karena tidak memenuhi aspek kewilayahan.

“Sistem pengawasan dari pihak pemerintah dan aparat penegak hukum yang tidak terintegrasi menjadi penyebab utama kegiatan pertambangan ilegal. Kebijakan khusus pemerintah dirasa perlu dengan cara membentuk tim terpadu dalam rangka melakukan pengawasan secara terintegrasi. Pada saat yang bersamaan juga diperlukan penataan pertambangan untuk memenuhi hak rakyat lokal untuk menambang,” jelas Laode Ida.

Berdasarkan hasil kajian tersebut, Ombudsman menyampaikan saran kepada Presiden agar membentuk tim pencegahan dan penegakan hukum pertambangan ilegal terintegrasi baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang dikoordinir oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM yang terdiri dari unsur Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepolisian RI.

“Tim tersebut bertugas melakukan konsiliasi basis data terkait dengan kegiatan usaha pertambangan yang dimiliki oleh anggota tim, menyusun perangkat pengawasan aktivitas pertambangan berbasis teknologi informasi yang terintegrasi, menyusun langkah strategis dalam rangka pencegahan serta penanganan aktivitas pertambangan illegal serta langkah penegakan hukum,” tutupnya. (*/001)