
SAMARINDA.NIAGA.ASIA– Perubahan iklim dan degradasi sumber daya alam, akses terbatas terhadap teknologi dan inovasi, dan krisis regenerasi petani, menjadi tantangan pada usaha pertanian di Kalimantan Timur (Kaltim).
Demikian dilaporkan Bapadan Pusat Statistik (BPS) Kaltim dalam laporan berjudul “Analisis Isu Terkini Provinsi Kalimantan Timur 2025” yang dipublikasikan 19 Desember 2025.
Analisis Isu Terkini Provinsi Kalimantan Timur 2025 merupakan publikasi rutin tahunan Badan Pusat Statistik Provinsi Katim. Publikasi kali ini menyajikan beberapa topik pilihan terkait Sosial Ekonomi Pertanian di Kaltim. Tema pertama membahas tentang Potret Petani Kaltim. Tema ini diangkat untuk memberikan gambaran terkait karakteristik pekerja pertanian di Kaltim.
Menurut Kepala BPS Kaltim, Yusniar Juliana, meskipun berbagai faktor seperti tingkat kemiskinan yang relatif rendah, pemenuhan gizi, serta kepemilikan dan pengelolaan lahan dapat berkontribusi terhadap kesejahteraan petani di Kaltim, keberlanjutan kondisi tersebut tidak terlepas dari sejumlah dinamika dan tekanan yang dihadapi sektor pertanian.
“Ada tiga tantangan yang dapat menjadi perhatian Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan petani di Kaltim,” ujarnya.
Perubahan Iklim dan Degradasi Sumber Daya Alam
“Sebagai salah satu sektor dengan kontribusi tenaga kerja yang cukup tinggi di Kalimantan Timur, sektor pertanian sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian ekstrem, seperti banjir, kekeringan, serta serangan hama dan penyakit tanaman, memiliki kontribusi cukup tinggi terhadap penurunan produksi pangan,” papar Yusniar.

Perubahan iklim juga memengaruhi ketersediaan dan distribusi sumber daya alam yang menjadi faktor utama produksi pangan, terutama air dan lahan. Selain itu, degradasi dan erosi tanah yang menurunkan kualitas lahan berpotensi menghambat produktivitas pertanian.
“Kondisi tersebut menegaskan pentingnya penerapan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan serta upaya perlindungan lingkungan guna menjaga ketahanan pangan dalam jangka panjang,” kata Yusniar.
Akses Terbatas terhadap Teknologi dan Inovasi
Kemudian, lanjut Yusniar, upaya modernisasi sektor pertanian di Indonesia masih dihadapkan pada persoalan ketimpangan dalam pemanfaatan teknologi dan inovasi. Berbagai teknologi pertanian, seperti benih unggul, alat dan mesin pertanian, sistem irigasi modern, hingga pemanfaatan platform digital, belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh petani skala kecil.
Inovasi yang dihasilkan oleh lembaga penelitian sering kali tidak terdiseminasi secara optimal hingga ke tingkat petani, atau kurang sesuai dengan kondisi sosial dan kemampuan ekonomi mereka.

“Temuan Rachmawati (2021) menunjukkan bahwa tingkat penerapan teknologi pertanian berbasis digital di Indonesia masih tergolong rendah, terutama pada kelompok petani gurem dan petani lanjut usia,” sambungnya.
Menurut Ysuniar, rendahnya adopsi tersebut dipengaruhi oleh keterbatasan kemampuan literasi digital, tingginya kebutuhan biaya awal, serta minimnya dukungan pendampingan teknis.
“Akibatnya, kesenjangan penguasaan teknologi antara wilayah yang relatif maju dan daerah tertinggal semakin lebar, yang berdampak pada perbedaan produktivitas pertanian antarwilayah.
Krisis Regenerasi Petani
Regenerasi petani di Kaltim, kata Yusniar, merupakan tantangan penting yang dihadapi sektor pertanian di Kaltim. Berdasarkan struktur usia petani didominasi oleh kelompok usia lanjut, dengan proporsi terbesar berada pada usia di atas 60 tahun, sementara petani berusia di bawah 30 tahun hanya mencapai 19,56 persen.
Kondisi ini mencerminkan masih rendahnya ketertarikan generasi muda untuk terlibat dalam kegiatan pertanian. Profesi petani kerap dipersepsikan kurang memberikan prospek yang menarik, baik dari sisi pendapatan maupun pengakuan sosial, sehingga semakin sedikit generasi muda yang memilih untuk melanjutkannya.
“Dampak dari kondisi tersebut adalah terjadinya penuaan tenaga kerja pertanian yang berpotensi menurunkan dinamika dan produktivitas sektor pertanian. Selain itu, arus urbanisasi serta alih fungsi lahan ke kegiatan non-pertanian turut mempercepat penyusutan
lahan pertanian produktif, yang pada akhirnya memperbesar tantangan keberlanjutan pertanian di Kaltim,” tutup Yusniar.
Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan
Tag: Pertanian