Ini yang Perlu Diperhatikan UMK Agar Mudah Dapat Sertifikat Halal

Direktur Utama Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Ir. Hj. Muti Arintawati, M.Si (Foto SUARAISLAM.ID)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA-Selain informasi kewajiban sertifikasi halal belum merata dipahami oleh pelaku UMK (Usaha Mikro dan Kecil). Tantangan lain yang dihadapi dalam sertifikasi halal produk UMK adalah  persiapan halal supply chain dan sertifikasi halal rumah potong hewan dan unggas, serta penggilingan daging.

Produk halal hanya dapat dihasilkan jika tersedia bahan halal dan fasilitas produksi yang bebas dari cemaran bahan haram dan najis. Kehalalan bahan yang dihasilkan di hulu akan menentukan kehalalan produk yang dihasilkan UMK, yang umumnya terdapat dihilir.

“Setidaknya ada empat hal yang perlu menjadi prioritas agar UMK dapat dengan mudah menghasilkan produk halal dan sertifikat halal,” ungkap Direktur Utama Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Ir. Hj. Muti Arintawati, M.Si  terkait Sertifikasi Halal Produk Usaha Mikro dan Kecil di Indonesia.

Pertama, prioritas sertifikasi halal bahan-bahan terkategori kritis yang luas digunakan di kalangan UMK, seperti produk hewan sembelihan. Namun, jumlah rumah/tempat potong hewan/unggas (RPH/TPH/RPU/TPU) yang sudah bersertifikat halal masih rendah, hanya 14,5% dari total 1.329 RPH/TPH di seluruh Indonesia (kajian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah dan Pusat Kajian Sains Halal IPB University di Desember 2021).

“Data RPU/TPU tersertifikasi halal kemungkin besar lebih rendah lagi karena pemotongan ungah hanya memerlukan luas yang kecil, dari lingkungan perumahan sampai pasar,” kata Muti,  yang juga alumni IPB.

Rendahnya hasil sembelihan hewan yang belum bersertifikat halal tentunya menyulitkan ketertelusuran kehalalan bahan yang digunakan UMK. Ini memerlukan audit ke tempat penyembelihan sehingga memperpanjang proses sertifikasi dan juga menambah biaya.

“Kerjasama dengan pemerintah daerah dan Kementerian Pertanian sangat penting untuk menggerakkan sertifikasi halal fasilitas pemotongan hewan di tiap daerah,” ungkap Muti.

Ada juga produk hulu lain seperti gula, minyak, terigu, saus, tepung, dan perisa yang sangat luas digunakan UMK. Namun, bahan ini umumnya dihasilkan industri-industri besar dan saat ini sudah banyak yang disertifikasi selama 33 tahun LPPOM MUI berkiprah, sehingga UMK relatif mudah memperoleh bahan halal.

Tantangan kedua, kata Muti,  terkait pengawasan rantai distribusi daging. Hal ini sangat penting mengingat masih banyaknya kasus oplosan daging sapi dengan daging celeng, terutama menjelang Ramadhan.

“Distribusi daging oplosan umumnya tidak masuk ke jalur distribusi resmi, tapi masuk langsung ke pelaku usaha UMK seperti pedagang kaki lima, warung, dan katering. Pengawasan seharunya lebih baik dengan penegakan hukum yang tegas, untuk mengurungkan niat pelaku pengoplosan,” kata Muti.

Ketiga, pengaturan penjualan produk bahan tambahan yang dikemas ulang. Umumnya, kemasan ini tidak lagi mencantumkan nama produk dan produsen bahan baku asal pada kemasannya. Produk semacam ini muncul karena kemasan standar umumnya terlalu banyak volumenya dan relative mahal, sehingga pedagang eceran atau distributor mengemas ulang dalam kemasan-kemasan kecil.

“Dokumen sertifikat halal jarang disediakan pedagang atau distributor karena pembelian UMK hanya dalam jumlah kecil. Perlu breakthrough untuk memecahkan masalah ini, sehingga proses audit tidak terhambat,” papar Muti.

Keempat, mendorong sertifikasi jasa pengolahan produk berbahan hewani, khususnya fasilitas penggilingan daging. Pada umumnya pemilik fasilitas hanya memberi jasa penggilingan daging, sedangkan daging dibawa sendiri oleh masing-masing pelanggan tanpa ada usaha penyedia jasa gilingan untuk memastikan kehalalan daging tersebut.

Menurut Muti, tidak ada jaminan daging haram tidak akan menyusup diantara daging-daging yang digiling di satu fasilitas yang sama? Berapa banyak UMK pengguna jasa penggilingan daging yang akan tercemar produknya jika titik kritis di sini tidak dipastikan kehalalannya?

“Perlu penyuluhan dan gerakan sertifikasi jasa penggilingan daging untuk memenuhi kebutuhan daging giling halal. Pemerintah daerah kabupaten/kota bisa punya peran besar mewujudkan hal ini,” sarannya.

Tantangan di Sisi Pemeriksa Halal

Dalam proses sertifikasi halal UMK, pemeriksaan dilakukan oleh auditor Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) atau pendamping proses produk halal (PPH) untuk jalur self-declare. Pada hakekatnya keduanya memiliki tugas yang sama yaitu melakukan audit.

Dalam terminologi MUI, auditor adalah wakil dan saksi ulama. Auditor menjadi wakil dan saksi ulama untuk memastikan bahwa semua bahan yang digunakan dalam produksi halal telah memenuhi persyaratan kehalalan, fasilitas produksi yang digunakan bebas dari cemaran bahan haram dan najis serta memastikan bahwa pelaku usaha memahami kewajibannya dan mengetahui cara untuk menjaga kesinambungan produksi halal setelah sertifikat halal diperoleh.

Muti juga menjelaskan, dalam memproses sertifikasi halal, auditor tidak boleh salah sebab,  kesalahan yang dilakukan oleh auditor dalam memahami fakta dan data yang ditemukan akan menghasilkan kesimpulan hasil audit yang salah, sehingga Komisi Fatwa MUI akan menetapkan fatwa berdasarkan data yang salah. Kesalahan dalam memproses sertifikasi akan menghasilkan sertifikat halal yang tidak valid.

“Efek dominonya merugikan konsumen muslim harus dipertanggungjawabkan dihadapan hukum dan di akhirat kelak,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Muti,  LPH dan Lembaga Pendamping PPH memiliki tantangan besar untuk memberikan jaminan bahwa auditor dan pendamping PPH di bawah lembaganya memiliki kompetensi yang cukup.

“Kompetensi yang harus dimiliki setidaknya mencakup pengetahuan tentang fatwa-fatwa halal yang mendasari standar sertifikasi halal, pengetahuan tentang titik kritis keharaman bahan dan cara membuktikan kehalalannya, keterampilan mengumpulkan data dan informasi serta yang tidak kalah penting adalah attitude untuk mengutamakan kebenaran dan kejujuran dalam melakukan pekerjaannya,” paparnya.

Lembaga harus memiliki program yang secara terus-menerus dapat memastikan bahwa auditor dan pendamping PPH memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan dan dapat terus memeliharanya.

“Kompetensi auditor menjadi syarat yang tidak dapat ditawar lagi. Validitas hasil audit harus didasari kemampuan auditor menganalisa data dan fakta tidak bisa hanya berdasarkan asumsi dan prasangka baik,” kata Muti.

Sumber : LPPOM MUI | Editor : Intoniswan

Tag: