Izedrik Emir Moeis Angkat Kembali Marhaenisme sebagai Ideologi Perjuangan Rakyat Kecil

Izedrik Emir Moeis luncurkan buku karyanya Marhaenisme: Visi Sosialisme Indonesia di Samarinda, Senin (11/8) malam. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Marhaenisme, ideologi yang lahir dari cita-cita luhur untuk membela dan memperjuangkan kehidupan rakyat kecil agar dapat hidup lebih sejahtera, kembali disuarakan Izedrik Emir Moeis lewat buku yang ditulisnya berjudul ‘Marhaenisme: Visi Sosialisme Indonesia’ .

Di dalam buku berwarna merah-putih yang dilaunching perdana pada Senin (11/8/2025) malam, ideologi yang digali Bung Karno itu ditegaskan politisi PDI-P ini sebagai jalan perjuangan untuk menentang keserakahan kaum kapitalis yang hanya mengutamakan keuntungan segelintir orang.

“Buku ini lahir dari keperhatinan saya terhadap generasi muda yang selama 32 tahun era Orde Baru di Indonesia terus disuapi sejarah dan politik menyimpang. Generasi muda banyak yang tidak menyadari ajaran dan ideologi politik Soekarno,” ujarnya.

Izedrik Emir Moeis mengurai prinsip-prinsip dasar ajaran tersebut secara sistematis. Ia mengatakan bahwa selama puluhan tahun, pemerintah Orde Baru terus melakukan de-Sukarnoisasi terhadap ajaran Bung Karno.

“Soekarno diagungkan sebagai pahlawan, sebagai bapak proklamator, tapi pemikirannya, ideologi dan ajaran-ajaran politiknya, justru disingkirkan. Padahal, Pancasila yang selama ini menjadi dasar negara, juga bersumber dari marhaenisme,” jelasnya.

Meski kerap disamakan dengan paham Partai Komunis Indonesia (PKI), Izedrik Emir Moeis menegaskan bahwa tudingan tersebut sama sekali tidak benar. Marhaenisme jelas berbeda dengan PKI.

“Dekat dengan PKI itu di mananya. Bahkan marhaenisme mengadopsi beberapa prinsip dari liberalisme dan tetap memegang teguh sistem demokrasi,” tegasnya.

Ia menjelaskan, marhaenisme adalah ideologi khas Indonesia yang berpijak pada nilai-nilai kerakyatan dan kedaulatan rakyat, bukan produk ideologi asing. Marhaenisme tidak menolak demokrasi, dan justru menempatkan partisipasi rakyat sebagai pilar utamanya.

Menurut Emir, stigma negatif ini lahir karena faktor sejarah. Marhaenisme digagas Bung Karno, sosok yang kemudian dimusuhi oleh kekuatan kapitalis internasional. Waktu itu, mereka ingin menguasai kekayaan Indonesia, seperti nikel, tambang freeport, dan berbagai sumber daya lainnya.

“Soekarno dikudeta, jatuh dari kekuasaan, dan ajarannya ikut dibusukkan,” terangnya.

Propaganda tersebut, lanjut Emir, diperkuat pada masa Orde Baru yang menanamkan persepsi bahwa segala sesuatu yang berbau Bung Karno dekat dengan komunisme.

“Lucunya, Pancasila selalu diagung-agungkan, tapi penggalinya (Soekarno) justru dinyatakan pengkhianat bangsa lewat TAP MPRS Nomor 33. Itu enggak bener. Masa kita punya ideologi negara yang digali dari seorang yang disebut pengkhianat. Yang bener saja,” paparnya.

Emir menilai, tudingan ini hanyalah alat politik untuk menghapus pengaruh Bung Karno dan melemahkan ideologi marhaenisme yang sangat potensial menggerakkan rakyat.

“Kalau marhaenisme dipahami secara benar, ia justru menjadi kekuatan besar untuk mewujudkan keadilan sosial dan melindungi kedaulatan bangsa dari dominasi kapitalis,” tandasnya.

Ketika ditanya wartawan apakah kelahiran buku ini dilatarbelakangi oleh kondisi Negara Indonesia yang memprihatinkan, Izedrik Emir Moeis menampik anggapan itu.

Menurutnya, masalah utama justru terletak pada semakin sedikitnya masyarakat yang menyadari betapa Indonesia memiliki kekayaan luar biasa, baik sumber daya alamnya maupun kekayaan ideologis.

“Yang memprihatinkan itu bukan keadaan kita sekarang yang seolah-olah terpuruk, tapi ketidaktahuan banyak orang bahwa kita ini bangsa yang sangat kaya dan punya suatu ideologi yang sangat hebat,” imbuhnya.

Emir menegaskan, keyakinannya terhadap marhaenisme bukanlah bentuk percaya diri yang berlebihan atau sikap chauvinistis. Ia bahkan berani menempatkan marhaenisme setingkat lebih tinggi dibandingkan liberalisme dan marxisme.

“Keyakinan saya sampai di situ. Kalau diadu dengan ahli-ahli pikir dari kaum liberalis dan kaum marxis, saya siap. Saya sudah betul-betul memahami isi dan roh marhaenisme,” katanya.

Bagi Emir, marhaenisme memiliki keunggulan karena lahir dari realitas sosial Indonesia, bukan teori impor dari barat atau timur. Ia menggabungkan semangat kebebasan, keadilan, dan kedaulatan rakyat dengan nilai-nilai gotong royong serta kebudayaan bangsa.

“Inilah yang membuat marhaenisme istimewa, ia berdiri di atas tanahnya sendiri dan bicara untuk rakyatnya sendiri,” tambahnya.

Dengan buku Marhaenisme: Visi Sosialisme Indonesia ini, Emir berharap generasi muda bisa mengerti bahwa bangsa Indonesia tak kekurangan gagasan besar.

“Yang kita butuhkan sekarang adalah kemauan untuk menjalankannya, bukan sekadar mengagumi ideologi asing,” pungkasnya.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan

Tag: