Jejak Islamofobia di India

Sejumlah pemuka agama Hindu menyerukan kekerasan terhadap Muslim pada Desember lalu. (Facebook/DEVBHOOMI RAKSHA ABHIYAN)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Jejak Islamofobia atau prasangka buruk terhadap Islam dan pemeluk agama islam di India sudah cukup panjang dalam tujuh tahun terakhir. Misalnya pada April 2020, tuduhan bahwa acara keagamaan Jamaah Tabligh menyebabkan kluster penularan Covid-19 di India berubah menjadi persoalan Islamofobia, lapor wartawan BBC di Delhi, Soutik Biswas.

Ribuan penceramah dari dalam negeri dan luar negeri menghadiri pertemuan di Delhi yang diadakan oleh Jamaah Tabligh, gerakan dakwah berusia 100 tahun.

Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berhaluan nasionalis Hindu pimpinan Narendra Modi menyebut acara itu sebagai “acara penyebar super”.

Berbagai meme dan tagar Islamofobia menuding Jamaah Tabligh menyebarkan virus menjadi trending di media sosial, dan jaringan televisi berita menyiarkan judul-judul berita seperti “Selamatkan negara dari jihad Corona”.

Pihak berwenang mendakwa hampir 1.000 orang yang menghadiri acara itu karena melanggar peraturan karantina.

Sebagian besar pendakwah berasal dari Indonesia, mitra dagang India. Tidak mengejutkan jika Indonesia menyampaikan kegelisahan dalam pertemuan-pertemuan regional.

Sejumlah anggota parlemen mengatakan kontroversi itu digunakan untuk menciderai warga Muslim di India yang mayoritas penduduknya Muslim. Seorang mantan diplomat India mengatakan persoalan itu merupakan contoh “eksternalisasi” dari isu-isu dalam negeri.

Teranyar, Mei lalu,  ujaran tentang Nabi Muhammad yang dilontarkan Jurubicara Patai BJP, Nupur Sharma, baru India berusaha menangkal tuduhan Islamofobia. Namun bukan kali ini saja partai PM Narendra Modi atau pemerintahannya mendapat tuduhan Islamofobia.

Dua tahun lalu, anggota parlemen dari BJP, Tejasvi Surya mendapat kritikan bertubi-tubi ketika twitnya pada 2015 tentang perempuan Arab menjadi viral. Kecaman dilontarkan oleh kalangan pengusaha, pengacara dan komentator terkenal di Dubai dan Kuwait.

Dalam pertemuan terbuka pada 2018, Menteri Dalam Negeri India, Amit Shah mengatakan warga negara Bangladesh yang masuk ke India secara tidak resmi adalah “penyusup” yang telah “memangsa negara kita seperti rayap”.

Ini memicu keributan di Bangladesh yang berpenduduk mayoritas Muslim. Seorang menteri Bangladesh menggambarkan pernyataan pejabat paling berpengaruh kedua di India itu sebagai ujaran yang “tidak diinginkan dan kurang informasi”.

Dalam satu tahun terakhir, India diterjang tsunami ujaran kebencian yang dilakukan oleh para pemuka Hindu radikal sayap kanan yang mengenakan jubah berwarna safron. Ujaran itu ditujukan kepada 200 juta warga Muslim di India.

Sebagian dari mereka secara terbuka mendorong umat Hindu mengangkat senjata dan mereka juga membicarakan tentang genosida terhadap penduduk Muslim.

Di masa lalu, sayap kanan mendengung-dengungkan istilah seperti “jihad cinta”, teori konspirasi tanpa dasar yang menuduh pria Muslim menikahi perempuan Hindu agar berpindah agama.

Pemerintahan PM Modi biasanya mengendapkan masalah, lambat merespons atau menyalahkan “unsur-unsur pinggiran” atas aksi-aksi itu.

Semua ini tampaknya telah membuat warga Hindu dari kalangan biasa semakin berani menyampaikan pendapat di internet dan menyerang Muslim. Langkah tersebut telah menimbulkan dampak, sebagaimana dilaporkan wartawan BBC di Delhi, Soutik Biswas.

Pada 2018, juru masak terkenal yang berasal dari India dan bekerja di sebuah hotel di Dubai diberhentikan karena memposting twit anti-Islam.

Ketika warga India yang tinggal di Dubai beramai-ramai memposting twit anti-Jamaah Tabligh pada 2020, seorang pengusaha perempuan setempat yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga kerajaan mencuit bahwa “siapa pun yang secara terbuka bersikap rasis dan diskriminatif tinggal di Uni Emirat Arab akan dikenai denda dan diminta keluar”.

Tidak mengherankan kali ini pun penentangan yang disuarakan sangat keras. Setidaknya 15 negara, di antaranya Arab Saudi, Iran, Indonesia dan Qatar, telah menyampaikan protes kepada India.

Mengeluarkan pernyataan yang merendahkan tentang Nabi Muhammad jelas sudah “melewati garis merah”, kata mantan diplomat India Talmiz Ahmad.

BJP terpaksa mengeluarkan juru bicaranya Nupur Sharma sesudah pernyataan kontroversial tentang Nabi Muhammad memicu kemarahan di dunia Islam.

Seorang cendekiawan India, Pratap Bhanu Mehta mengatakan kasus itu merupakan pengingat bahwa “menyasar minoritas dengan impunitas, dan menangani ujaran kebencian dengan sanksi resmi, akan berdampak pada reputasi India di kancah dunia.”

Secara diam-diam, banyak pemimpin BJP meyakini kemarahan kali ini akan segera reda, dan semuanya akan normal lagi.

Pada akhirnya, India telah lama menjalin hubungan mendalam dengan negara-negara Teluk. Sekitar 8,5 juta warga India bekerja di enam negara Teluk. Jumlah itu dua kali lipat dari pekerja asal Pakistan yang bekerja di negara-negara tersebut.

Jumlah itu sekaligus menjadikan pekerja India di sana sebagai angkatan ekspatriat terbanyak.

Warga India juga tercatat sebagai komunitas ekspatriat terbesar di tiap-tiap negara Teluk. Mereka mengirimkan uang sekitar US$35 miliar per tahun yang menopang 40 juta keluarga di India.

Banyak di antara keluarga itu tinggal di negara-negara bagian yang paling miskin seperti Uttar Pradesh yang diperintah oleh BJP.

Irak adalan negara pengekspor minyak terbanyak ke India, disusul Arab Saudi. Adapun Qatar memasok lebih dari 40% kebutuhan gas India.

Perdana Menteri Narendra Modi sendiri menjadikan hubungan dengan negara-negara Teluk sebagai prioritasnya.

Para ahli meyakini kali pemerintah India tampak lambat dalam mengambil langkah, tapi tegas.

“Tampaknya ada pengakuan bahwa jika hal-hal ini dapat terjadi mala akan ada akibatnya. Politik dalam negeri dan politik luar negeri tidak terpisahkan. Pemerintah harus mengambil keputusan. Apakah pemerintah benar-benar ingin membangkitkan gerombolan pengacau?” kata Srinath Raghavan, guru besar sejarah dan hubungan internasional di Universitas Ashoka.

Sumber: BBC News Indonesia | Editor: Intoniswan

Tag: